Analisis Hubungan Kausalitas Granger Antara Tingkat Imbal Jasa Agregat Dengan Tingkat Pembiayaan Perbankan Syariah Dan Tingkat Kredit Perbankan Konvensional Di Indonesia (010)


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Seorang manusia pada umumnya tak bisa terlepas dari perilaku yang bersifat kemasyarakatan atau sosial baik dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup ataupun dalam hal bergaul, oleh karena itulah kemudian Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya yang lain di dalam kehidupan.

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sikap dan perilakunya masing-masing. Sikap dan perilaku ekonomi manusia senantiasa distimulus dan didorong oleh 2 faktor utama (Rahman, 2004). Faktor pertama merupakan faktor internal yaitu motif ekonomi. Serangkaian motif bisa mendorong manusia, sebagai pelaku ekonomi, untuk melakukan tindakan ekonomi tertentu seperti motif untuk memperoleh laba (profits) dan motif untuk memperoleh pengakuan ataupun penghargaan dari masyarakat (social rewards). Faktor lainnya adalah faktor eksternal yaitu lingkungan dan habitat ekonomi yang menjadi tempat hidup seseorang atau suatu komunitas dalam melaksanakan kehidupan ekonominya.

Keberadaan manusia dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan motif ekonomi inilah yang kemudian melahirkan seperangkat pranata yang dapat memudahkannya, diantaranya adalah hadirnya lembaga intermediasi keuangan yaitu instirusi atau lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang menabung atau kelebihan dana dan sebaliknya melakukan peminjaman kepada mereka yang membutuhkan (Mishkin, 2001). Lembaga intermediasi keuangan yang paling umum dan sering dipergunakan jasanya oleh masyarakat hingga saat ini adalah perbankan.

Bank sendiri menurut UU No. 7 tahun 1992 adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Landasan hukum sistem perbankan di Indonesia mula-mula adalah UU No. 11 tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia dan PP No.1 tahun 1955 tentang pengawasan terhadap urusan kredit yang diumumkan dalam lembaran negara No.2 tahun 1955.

Kebijakan perbankan sebelum 1 juni 1983 ditandai oleh pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk memungkinkan perbankan memberikan kredit dengan unsur subsidi yang besar kepada masyarakat hal ini ternyata mempunyai pengaruh inflatoir terhadap perkembangan moneter, yang akhirnya memberi tekanan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sehingga untuk mengatasi dampak negatif ini pemerintah mengeluarkan kebijakan 1 juni 1983[1]

Upaya membangun sektor keuangan dilanjutkan dengan dikeluarkannnya paket kebijakan 29 januari 1990 yang menyempurnakan sistem perkreditan yang semula mengandalkan kredit likuiditas Bank Indonesia. Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia dimana jumlah bank bertambah dengan bermacam-macam pola pelayanan yang ditawarkan bank maka keluarlah UU no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang turut pula menyisipkan bank dengan kategori bagi hasil.

Sejak awal kelahirannya hingga sekarang bank syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam Modern: neorevivalis dan modernis, tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini, tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir

Berdirinya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada awal periode 1980-an bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki..

Pada praktiknya perkembangan bank syariah dipelopori oleh Pakistan, pada tahun 1979 sistem bunga dihapuskan, pada tahun 1985 seluruh sistem perbankan Pakistan dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu sistem perbankan syariah. Sedangkan di Mesir bank syariah pertama yang didirikan adalah Faisal Islamic Bank pada tahun 1978, sementara di Malaysia, Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan tahun 1983 merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara.

Di Indonesia sendiri bank syariah pertama kali didirikan pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Pada awal berdirinya keberadaan bank syariah belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Kemudian setelah UU No.7/1992 diganti dengan UU No.10 tahun 1998 yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, maka bank syariah mulai menunjukkan perkembangannya. Undang-undang ini pula memberikan arahan bagi bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau mengkonversikan diri menjadi bank syariah.

Perkembangan perbankan syariah dapat kita lihat dari banyaknya pertambahan jumlah bank dengan landasan operasi syariah dimana tahun 2000 baru ada 2 bank umum; 3 unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang tersebar; serta 79 BPRS. Diakhir tahun 2004 jumlah bank syariah telah mencapai delapan belas buah.dan BPRS sebanyak 88 buah. (lihat tabel 1.1)

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah Bank Perbankan Syariah

Kelompok Bank

2000

2004

KP/UUS

KPO/KC

KCP

KK

KP/UUS

KPO/KC

KCP

KK

Group of Banks

HO/IBU

HOO/BO

SBO

CO

HO/IBU

HOO/BO

SBO

CO

Bank Umum Syariah Islamic Commercial Banks

2

21

8

26

3

92

40

131

1.PT Bank Muamalat Inddo

donesia

1

13

3

26

1

40

9

78

2. PT Bank Syariah Mandiri

1

8

5

0

1

50

31

53

3. PT Bank Syariah Mega

Indonesia

-

-

-

-

1

2

0

0

Unit Usaha Syariah Islamic Banking Unit

3

7

0

0

15

56

18

0

1. PT Bank

IFI

1

1

0

0

1

1

0

0

2. PT Bank Negara Indonesia

1

5

0

0

1

14

8

0

3. PT Bank Jabar

1

1

0

0

1

4

0

0

4.PT Bank Rakyat Indonesia

-

-

-

-

1

16

2

0

5. PT Bank Danamon

-

-

-

-

1

7

3

0

6. PT Bank Bukopin

-

-

-

-

1

3

0

0

7. PT Bank

Internasional

Indonesia

-

-

-

-

1

3

0

0

8. HSBC, Ltd.

-

-

-

-

1

0

1

0

9. PT Bank DKI

-

-

-

-

1

1

0

0

10. BPD Riau

-

-

-

-

1

1

0

0

11. BPD Kalsel

-

-

-

-

1

1

0

0

12. PT Bank Niaga

-

-

-

-

1

1

4

0

13. BPD Sumut

-

-

-

-

1

2

0

0

14. BPD Aceh

-

-

-

-

1

1

0

0

15. Bank Permata

-

-

-

-

1

1

0

0

Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Islamic Rural Banks

79

0

0

0

88

0

0

0

TOTAL

86

49

16

52

106

148

58

131

Sumber : Statistik Perbankan Syariah Desember 2004, Bank Indonesia

Ket :

KP = Kantor Pusat

UUS = Unit Usaha Syariah

KC = Kantor Cabang

KCP = Kantor Cabang Pembantu

KK = Kantor Kas

Sejalan dengan perkembangan kelembagaan, selama tahun 2004 volume usaha industri perbankan syariah juga mengalami peningkatan yang signifikan yakni sebesar 88,6%. Hingga bulan November 2004, jumlah aset perbankan syariah telah mencapai Rp14,0 triliun sehingga pangsa terhadap total asset perbankan nasional mencapai 1,1%, meningkat dibandingkan pada bulan yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 0,7%.

Selama periode laporan besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah mengalami peningkatan 100,8% menjadi sebesar Rp10,9 triliun. Dari segi jenisnya, pertumbuhan pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan mudharabah dan musyarakah ternyata melebihi pertumbuhan pembiayaan berbasis jual beli, sehingga per November 2004 pangsa pembiayaan bagi hasil telah mencapai 28,3% dibandingkan posisi setahun sebelumnya yang baru mencapai 19,9%.4*

Grafik 1.1

clip_image002Perkembangan Aset Perbankan Syariah

Sumber : Statistik Perbankan Syariah, 2004

Sementara itu dari segi profitabilitas[2], pada tahun 2004 secara keseluruhan bank syariah mencatat tingkat keuntungan sebesar Rp173,5 miliar dengan ROA yang cukup baik yakni 1,6%. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dengan laba sebesar Rp48,5 miliar dan ROA 0,9%, tingkat profitabilitas bank syariah tersebut menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi, terlebih lagi jika menimbang kondisi perkembangan industri yang masih dalam tahapan ekpansi (LPPS BI, 2004).

Tabel 1.2

Indikator Utama Perbankan Syariah

INDIKATOR Trw IV ‘03 Trw I ’04 Trw II ’04 Trw III ’04 Trw IV ‘04

Asset

7,858.9

9,498.8

11,023.3

12,719.6

14,035.6

Pembiayaan yang Diberikan

5,530.2

6,415.9

8,356.2

10,131.1

10,978.6

Dana Pihak Ketiga

5,724.9

7,022.8

8,315.9

9,675.7

10,559.0

Laba (Rugi) thn berjalan

42.7

38.3

85.3

132.0

173.5

FDR

96.6%

91.4%

100.5%

104.7%

104.0%

NPF

2.3%

2.6%

2.4%

2.8%

2.8%

Sumber : Statistik Perbankan Syariah Desember 2004, Bank Indonesia

Perkembangan perbankan secara umum di Indonesia pasca krisis keuangan pada tahun 1998 mulai mencapai kestabilan di tahun 2000 dengan perbaikan pada nilai tukar dan penurunan tekanan inflasi, hal ini kemudian memungkinkan Bank Indonesia untuk melakukan kebijakan yang akomodatif dan hati-hati melalui penurunan suku bunga SBI secara bertahap. Penurunan ini juga diikuti oleh penurunan suku bunga kredit untuk investasi dan modal kerja, meskipun relatif lebih lambat apabila dibandingkan penurunan suku bunga SBI.

Perkembangan kegiatan usaha Bank Umum sampai dengan akhir tahun 2004 menunjukkan kondisi yang membaik. Kegiatan penyaluran dana Bank Umum selama tahun 2004 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun lalu. Penyaluran kredit posisi Desember 2004 mengalami peningkatan sebesar Rp 118,97 triliun atau 27% dari periode yang sama tahun lalu.

Tabel 1.3

Indikator Kinerja Bank Umum

Indikator

2000

2001

2002

2003

2004

Total Aset

1.039,9

1.099,7

1.112,2

1.213,5

1.272,1

Dana Pihak Ketiga

699,1

797,4

835,8

888,6

963,1

Kredit

320,4

358,6

410,3

477,2

595,1

LDR (%)

33,4

33,0

38,2

43,5

50,0

NPL - gross (%)

18,8

12,1

8,1

8,2

5,8

NPL - net (%)

5,8

3,6

2,1

3,0

1,7

Modal

53,5

62,3

93,0

110,8

118,6

CAR (%)

12,5

19,9

22,4

19,4

19,4

Laba (rugi) sebelumPajak

10,5

13,1

22,0

26,4

41,1

ROA (%)

1,6

1,5

2,0

2,6

3,5

Net Interest Income

22,8

37,8

42,9

49,5

65,8

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Desember 2004, Bank Indonesia

Peningkatan jumlah penyaluran kredit ini juga didukung oleh penurunan jumlah Non Performing Loan (NPL)[3], pada bulan Desember 2004 jumlah NPL sebesar Rp 25,17 triliun. Jumlah NPL ini turun sebesar Rp 4,6 triliun atau sebesar 15,7% dibandingkan bulan Desember 2003 yang sebesar Rp29,87 triliun. Seiring dengan peningkatan jumlah kredit dan penurunan jumlah NPL, rasio NPL bulan Desember ini turun sebesar 2,8 point dari tahun lalu menjadi 4,5%

Grafik 1.2

clip_image004Perkembangan Aset, DPK, dan Kredit

Sumber : Tabel 1.2.

Sementara itu di dalam upaya pengembangan sistem perbankan syariah pada dual banking system yang sehat dan mampu menjawab tantangan masa depan, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” (Biro Perbankan Syariah BI, 2002). Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011 tersebut memuat :

- Terpenuhi prinsip syariah dalam operasional ;

- Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah;

- Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien, serta

- Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan masyarakat luas.

Dalam upaya mewujudkan sasaran tersebut, Bank Indonesia mencanangkan langkah-langkah strategis yang pelaksanaanya dibagi dalam empat focus area, yakni : mendorong kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah secara konsisten, menyempurnakan regulasi dan sistem pengawasan yang sesuai dengan karakteristik perbankan syariah, mendukung terciptanya efisiensi operasional dan daya saing bank syariah, serta meningkatkan kestabilan sistem, peran, dan kemanfaatan perbankan syariah bagi perekonomian secara umum.

Seperti layaknya perbankan pada umumnya, perbankan syariah juga bergantung pada depositor yang menyimpan uangnya di bank. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai perbankan syariah, tingkat bagi hasil menjadi salah satu insentif depositor untuk menyimpan uangnya di bank syariah. Berdasarkan itu pulalah kemudian Ahmad Kaleem & Mansor Md Isa (2003) melakukan penelitian hubungan kausalitas antara tingkat return di Malaysia.

Di Indonesia sendiri imbal jasa atau return di duga kuat menjadi salah satu faktor yang mempunyai keterkaitan langsung terhadap kecenderungan perbankan baik syariah maupun konvensional untuk menyalurkan dananya baik dalam bentuk pembiayaan ataupun kredit kepada masyarakat. Jikalau hal ini benar, maka secara bisnis baik perbankan syariah ataupun konvensional mempunyai kemiripan di dalam mempertimbangkan tingkat imbal jasa dalam pemberian pembiayaan ataupun kredit mereka, namun kemiripan ini bukanlah sebuah permasalahan karena bagaimanapun juga kedua-duanya merupakan sebuah unit usaha yang berusaha mencari profit dimana masing-masing bergerak dengan tataran filosofi yang berbeda orientasi.

Dari penjelasan-penjelasan yang ada di atas maka penting kiranya untuk mengetahui pula ada atau tidaknya hubungan antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh perbankan dalam hal ini biasa disebut dengan pembiayaan bagi bank syariah dan kredit bagi perbankan konvensional dengan tingkat return atau imbal jasa secara agregat.

Atas latar belakang kondisi diatas penulis mencoba memberanikan diri untuk melakukan penelitian tentang hubungan kausalitas antara tingkat return atau imbal jasa dengan pinjaman perbankan secara agregat di Indonesia, untuk itu penulis mengambil judul :

Analisis Hubungan Kausalitas Granger Antara Tingkat Imbal Jasa Agregat Dengan Tingkat Pembiayaan Perbankan Syariah Dan Tingkat Kredit Perbankan Konvensional di Indonesia Periode 2001.I-2004.XII”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan kepada hal-hal tersebut di atas, maka penulis mengidentifikasi permasalahan yang ada sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hubungan kausalitas antara tingkat bonus SWBI dengan pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ?

2. Bagaimanakah hubungan kausalitas antara tingkat suku bunga SBI yang merupakan interest rate dengan kredit pada perbankan konvensional di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara tingkat bonus SWBI dengan pembiayaan bank syariah di Indonesia, serta untuk mengetahui apabila terjadi hubungan kausalitas maka hubungan kausalitas apa yang terjadi.

2. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara tingkat suku bunga dengan kredit bank konvensional di Indonesia dan menentukan jenis hubungan kausalitas seperti apa yang terjadi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Bagi praktisi dan pembuat kebijakan serta masyarakat umum yang mempunyai kepudulian terhadap perbankan syariah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atas pertanyaan yang terkait dan juga sebagai bahan dalam mengevaluasi dan menentukan kebijakan perbankan yang harus dikembangkan ke depannya. Sedangkan bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi untuk penelitian sejenisnya, pemasyarakatan ilmu ekonomi syariah dan memacu motivasi untuk melakukan penelitian sejenis.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Tingkat Suku Bunga

Di dalam konsep time value of money tingkat suku bunga secara umum diartikan sebagai jumlah tambahan yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai kompensasi kesediaan meminjamkan. Besarnya tingkat suku bunga ini sangat tergantung pada besarnya principal ( pinjaman pokok )dan panjangnya waktu peminjaman.

Pada bank terdapat tiga pihak, yaitu pihak bank, deposan (penyetor dana dalam hal ini adalah pihak ketiga), dan kreditur atau peminjam. Deposan menempatkan uangnya di bank dengan motif yang bermacam-macam dan biasanya sebagai timbal balik atas hal tersebut maka bank akan memberikan return yang berbentuk tingkat suku bunga.

Kemudian bank melakukan fungsi intermediasi perbankan dengan melakukan penyaluran dana ini kepada yang membutuhkan sebagai pinjaman dengan return atau imbalan tingkat suku bunga kepada bank yang lebih tinggi dari suku bunga yang ia berikan kepada deposan. Tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh bank terhadap dana yang ia pinjamkan disebut dengan loan rate (suku bunga pinjaman) dan tingkat suku bunga yang ia janjikan kepada deposan dikenal dengan interest rate (tingkat suku bunga pinjaman).

Perbedaan antara loan rate dengan interest rate umumnya dikenal dengan spread, lembaga keuangan atau financial institution selalu menjaga spread ini bernilai positif. Pergerakan tingkat suku bunga sangat penting bagi perbankan untuk menentukan margin keuntungan secara kompetitif.

Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi loan rate, semakin senang bank untuk memberikan pinjaman. Di pihak lain, loan rate (pada perbankan konvensional) dan bagi hasil (pada perbankan syariah) yang diberlakukan terhadap peminjam atau kreditur mempengaruhi keputusan kreditur untuk melakukan pinjaman, kreditur akan lebih memilih meminjam pada tingkat loan rate yang lebih rendah.

1.5.1.1 Tingkat Suku Bunga Menurut Klasik dan Keynes

Ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa suku bunga dan tabungan saling berkaitan. Oleh karena suku bunga adalah salah satu faktor terpenting yang mengatur volume tabungan, maka makin tinggi suku bunga, makin besar pula imbalan menabung, dengan demikian makin tinggi pula kecenderungan untuk menabung dan sebaliknya. Artinya, pada tingkat bunga yang lebih tinggi, masyarakat terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk konsumsi guna menambah tabungan (Nopirin, 1992). Sedangkan bunga adalah ”harga” dari (penggunaan) loanable funds, atau bisa diartikan sebagai dana yang tersedia untuk dipinjamkan atau dana investasi, karena menurut teori klasik bunga adalah ”harga” yang terjadi di pasar investasi.

Analisis klasik itu ditolak oleh Keynes. Keynes dalam teorinya menyebutkan bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran uang. Menurut teori ini, ada tiga motif mengapa seseorang bersedia untuk memegang uang tunai, yaitu motif transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi (Budiono,1982). Tiga motif inilah yang merupakan sumber timbulnya permintaan uang yang diberi istilah liquidity preference, artinya permintaan akan uang menurut teori Keynes berlandaskan pada konsepsi bahwa umumnya orang menginginkan dirinya tetap liquid untuk memenuhi tiga motif tersebut.

Keynes ragu-ragu terhadap kemanjuran suku bunga dalam mempengaruhi volume tabungan. Dengan tegas dikemukakannya bahwa sebenarnya volume tabungan tergantung pada volume investasi yang dilakukan oleh masyarakat bisnis. Suku bunga yang tinggi cenderung mengurangi volume investasi dari masyarakat bisnis.

1.5.2 Teori Permintaan Uang

1.5.2.1 Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Konvensional

Menurut Marshall-Pigou, uang adalah stock concept sehingga berfungsi sebagai salah satu cara menyimpan kekayaan. Dalam hal ini, manusia memiliki pilihan individu untuk memelihara asetnya, apakah dalam bentuk obligasi, saham, uang dan lain-lain. Dalam teori moneter, konsep Marshall-Pigou dijabarkan oleh keynes. Ia mengatakan bahwa pilihan individu untuk permintaan uang dipengaruhi oleh tiga motif, yaitu:

  1. Permintaan akan uang untuk transaksi ( money demand for transaction)
  2. Permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (money demand for precautionary)
  3. Permintaan akan uang untuk spekulasi (money demand for speculation)

Bagi Boumol-Tobin, money demand for precautionary tidak saja ditentukan oleh tingkat pendapatan, namun juga oleh tingkat suku bunga.

Secara matematis dirumuskan:

Mdtr = f (Y) Y > 0

Mdpre = f (Y, i ) Y > 0 ; i < 0

Mdsp = f (i) i > 0

Baik Marshall-Pigou, Keynes, maupun Boumol-Tobin berbicara tentang stock concept uang. Muncul kemudian teori Fisher. Setelah ditinggalkan cukup lama, teori Fisher dianalisis oleh Milton Friedman. Teori Fisher tidak lagi berbicara tentang nominal interest rate tetapi tentang differential interest rate antara interest rate bonds, interest rate money, expected inflation, dan lain-lain.

1.5.2.2. Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Islam

Dalam ekonomi Islam, hanya dikenal dua motif permintaan akan uang, yaitu motif transaksi dan motif berjaga-jaga. Karena dalam ekonomi Islam melarang tindakan spekulasi, instrumen moneter tidak menggunakan variabel yang mengarah kepada motif spekulasi . Penggunaan instrumen pengganti suku bunga dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang penting dan mendesak serta mendorong investasi yang produktif dan efisien (Karim, 2002)

Pemikiran dalam ekonomi islam dibagi dalam tiga mazhab yaitu mazhab iqtishad (ekonomi kita), mainstream economic, dan mazhab alternatif.

1.5.2.2.1 Permintaan Uang Mazhab Iqtishaduna

Permintaan uang ditujukan hanya untuk memenuhi dua tujuan pokok, yaitu untuk transaksi atau berjaga-jaga. Secara matematis diformulasikan dengan:

Md = Md trans + Md prec

Permintaan uang untuk transaksi merupakan fungsi tingkat pendapatan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendapatan, prmintaan akan uang untuk memfalisitasi transaksi barang dan jasa juga meningkat.

Fungsi permintaan akan uang untuk motif berjaga-jaga (meliputi juga permintaan akan uang untuk investasi dan tabungan ) ditentukan oleh besar kecilnya harga barang tangguh untuk pembelian barang tidak tunai.

Setiap fungsi permintaan akan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga dapat dituliskan sebagai berikut:

Md trans = f ( Y )

Md prec = f ( Y, Pt /Po ) ,

Pt / Po adalah rasio harga antara harga bayar tangguh (future price) dengan harga bayar kini (present price) .

Md = f (Y, Pt/Po)

Dalam formula permintaan uang di bawah terlihat bahwa variabel bebas pendapatan mempunyai koefisien yang positif dan harga bayar tangguh mempunyai koefisien negatif. Y > 0 ; Pt/Po < 0

Grafik 1.3

Kurva Permintaan Uang Dalam Mazhab Iqtishaduna

clip_image005

a

clip_image006

b

clip_image007

Sumber : Adiwarman Karim (2002)

1.5.2.2.2 Permintaan Uang Mazhab Mainstream

Seperti mazhab pertama, mazhab ini berpendapat permintaan akan uang dalam Islam hanya dikenal untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga. Perbedaannya terletak pada perilaku permintaan akan uang untuk berjaga-jaga dan variabel yang mempengaruhi.

Landasan filosofis teori dasar permintaan akan uang adalah arahan Islam agar sumber-sumber daya dimanfaatkan maksimum dan efisien. Dalam hal ini, hoarding money atau penimbunan kekayaan merupakan kejahatan penggunaan uang.

Strategi utama mazhab mainstream adalah pengenaan pajak terhadap aset produktif yang menganggur (dues of iddle cash) dengan tujuan mengalokasikan sumber dana pada kegiatan usaha produktif. Semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap aset produktif yang dianggurkan, permintaan terhadap aset ini akan berkurang. Kebijakan ini berdampak pada pola permintaan akan uang untuk motif berjaga-jaga.

Secara matematis, permintaan uang untuk mazhab kedua ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


Md = Md trans Mdprec

Mdtrans = f (Y)

Mdprec & trans = f (Y, μ)


Grafik 1.4

clip_image009Kurva Permintaan Uang Mazhab Mainstream

Sumber : Adiwarman Karim (2002)

1.5.2.2.3 Permintaan Uang Mazhab Alternatif

“ Keberadaan uang pada hakikatnya adalah representasi volume transaksi yang ada dalam sektor riil “. Permintaan uang dalam mazhab ini erat kaitannya dengan konsep endogenous uang dalam Islam. Teori ini menjembatani pertumbuhan uang di sektor moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di sektor riil.

Permintaan uang adalah representasi keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil (M.A Choudhury, 1997). Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil, semakin meningkat permintaan akan uang. Variabel yang mempengaruhi permintaan permintaan akan uang adalah variabel sosio-ekonomi (X), kebijakan pemerintah dalam regulasi ekonomi (Y), dan informasi objektif masyarakat akan kondisi riil perekonomian, tidak seperti teori exogenous uang dalam literatur konvensional, mazhab alternatif berpendapat, permintaan akan uang dan penawaran akan uang dipengaruhi oleh besarnya pembagian keuntungan (profit sharing) atau tingkat kentungan yang diharapkan (expected rate of profit). Tinggi rendahnya expected rate of profit merupakan representasi prospek pertumbuhan aktual ekonomi.

Expected rate of profit merupakan harapan perolehan keuntungan dari investasi uang disektor rill. Jika investasi meningkat permintaan uang tunai menurun. Apabila expected rate of profit meningkat, penawaran investasi juga akan meningkat artinya, peningkatan expected rate of profit akan meyakinkan orang bahwa pemegangan uang secara berlebih akan menghilangkan kesempatan mendapatkan keuntungan bisnis.

Secara matematis M.A Choudhury (1997), memformulasikan permintaan akan uang sebagai berikut:

clip_image011

clip_image013

clip_image015

Ket:

y = Pendapatan riil,

rb = rasio profit sharing,

S = total pengeluaran nasional

p = Tingkat harga atau inflasi ,

b = lembaga keuangan,

R = reserve requirement


Formula diatas memperlihatkan hubungan antara variabel-variabel yang ada terhadap permintaan uang dan penawaran uang. Variabel bebas y, pendapatan riil yang dimiliki oleh seorang individu akan berhubungan secara positif dengan banyaknya permintaan akan uang. Variabel p, inflasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan banyaknya permintaan akan uang. Variabel pengeluaran nasional S, berhubungan secara positif dengan permintaan akan uang sedangkan X, dan Y adalah variabel untuk sosio-ekonomi dan kebijakan pemerintah. clip_image017adalah induced-knowledge , pengetahuan masyarakat akan kondisi objektif tiap-tiap variabel, kualitas pengetahuan ini juga akan berpengaruh terhadap besaran permintaan akan uang yang diinginkan oleh seorang pelaku ekonomi.

1.5.3 Kredit Perbankan

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunanai credere yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu dasar kredit adalah kepercayaan. Kredit yang diberikan oleh suatu lembaga kredit dalam hal ini perbankan, merupakan intermediasi yang didasarkan pada pemberian kepercayaan. Bank hanya menyalurkan simpanan masyarakat kepada nasabah dalam bentuk kredit hanya jika unsur keamanan (safety) dan keuntungan (profitability) dapat dipenuhi.

Pada perbankan konvensional bentuk penyaluran kredit berupa kredit konsumtif dan produktif dengan tingkat suku bunga di awal, sementara pada bank syariah tidak dikenal istilah kredit (loan) tetapi pembiayaan ( financing) yang terdiri atas beberapa jenis transaksi dan dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu :

1. Pembiayaan dalam bentuk jual beli.

2. Pembiayaan dalam bentuk Bagi Hasil.

1.5.4 Keterkaitan Antara Tingkat Suku Bunga Dengan Penawaran Kredit Perbankan (Mishkin, 2001: 232-250)

Hubungan teoritis antara interest rate dan supply of loan ( penawaran kredit ) melihat bahwa ketika bank sentral menjual sekuritas pemerintah kepada publik melalui bank umum, reserve atau cadangan bank sebenarnya tengah di debet oleh bank sentral, apanila reserve bank berada di bawah reserve requirment yang ditetapkan oleh bank sentral, sistem perbankan secara keseluruhan harus mengurangi deposit yang ia pegang

Gambar 1.1

Ilustrasi T-Account Bank Umum

Assets

Liabilities

Reserves Rp 10 juta

Deposits Rp 10 juta

Sumber : Frederich Mishkin, 2001

Gambar 1.2

T-Account Bank Umum dengan Penyaluran Kredit

Sumber : Frederich Mishkin, 2001

Assets

Liabilities

Reserves Rp 1 juta

Loans Rp 9 juta

Deposits Rp 10 juta

Gambar 1.3

T-Account Bank Umum dengan Bantuan Likuiditas Bank Sentral

Assets

Liabilities

Reserves Rp 9 juta

Loans Rp 90 juta

Securities Rp 10 juta

Deposits Rp 90 juta

Discount Loans

From Central Banks Rp 9 juta

Bank Capital Rp 10 juta

Sumber : Frederich Mishkin, 2001

Dari gambar di atas dengan menggunakan konsep akuntansi ( T-account bank ), asset harus selalu sama dengan liabilities di tambah equity. Maka daripada itu ketika deposit berkurang, loan supply harus pula dikurangi. Hal ini akan meningkatkan loan rates yang berarti biaya untuk meminjam ke bank semakin mahal, selanjutnya akan mempengaruhi pembelanjaan dalam perekonomian.

1.5.5 Dual Banking System di Indonesia

Dalam praktiknya beberapa tahun ini bank dengan prinsip syariah telah menjadi salah satu pilihan bagi para nasabah terutama yang merasa mempunyai keterkaitan dengan prisip ini (captive market) sehingga mulai muncullah keinginan bank-bank umum non syariah untuk memperluas pasar mereka ke perbankan syariah. Keinginan ini direspon positif oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 23 tahun 1999 yang memberikan keleluasan bagi bank umum non syariah untuk membuka cabang syariah tanpa perlu untuk mengkonversi diri seluruhnya menjadi bank syariah. Berdasarkan UU tersebut, perbankan di Indonesia mulai beralih dari sistem konvensional menjadi dual banking system (KPPS Bank Indonesia, Februari 2001) yang mengakomodir baik sistem perbankan konvensional maupun sistem perbankan syariah yang tidak menggunakan suku bunga dalam bertransaksi.

Bank Indonesia dapat mengimplementasikan manajemen moneter tanpa menggunakan suku bunga. Sesuai dengan amanah UU No. 23 tahun 1999, yaitu dengan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia nomor 9/PBI/2000 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia no 6/7/PBI/2004 Salah satu alasan munculnya SWBI sebagaimana diuraikan dalam Peraturan BI tersebut, adalah sebagai pengendalian moneter dari perbankan syari’ah sebagaimana halnya SBI sebagai pengendali moneter dari perbankan konvensional (Syamsuddin, 2005)

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Ruang lingkup Penelitian

Penelitian dalam hal ini terbatas pada pembuktian variabel mana yang memiliki pengaruh yang kuat sebagai variable bebas (independent) maupun variabel tidak bebas (dependent) antara variabel tingkat return dengan pembiayaan perbankan syariah dan kredit perbankan konvensional dengan menggunakan uji kausalitas granger.

1.6.2 Metode Pengumpulan Data dan Analisis

Adapun data-data yang di perlukan dalam penelitian ini diperoleh dari Bank Indonesia (Statistik Ekonomi Keuangan Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, dan Laporan Direktorat Perbankan Syariah), referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, makalah, dan bahan-bahan lain yang diperoleh dari perpustakaan Unpad, perpustakaan Bank Indonesia Jakarta dan Bandung, internet, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dan deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan alat bantu ekonometrika yaitu program eviews 3.1 , sedangkan analisa deskriptif berdasarkan data sekunder yang diperoleh oleh penulis.

1.6.3 Model Ekonometrika

1.6.3.1 Uji Kausalitas Granger

Pengujian dengan menggunakan metode granger[4] adalah untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang secara teori memiliki hubungan. Dengan tes ini akan diketahui variabel mana yang menjadi variabel independent atau bebas dan variabel mana yang menjadi variabel tidak bebas atau dependent.

Model dasar yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model kausalitas granger yang digunakan oleh Ahmad Kaleem & Mansor Md Isa (2003) dalam penelitiannya mengenai hubungan kausalitas antara instrumen perbankan Islam dan konvensional di Malaysia.

Int = clip_image019+ clip_image021Xt-j + et

Ist = clip_image023+ clip_image025 Yt-j + et

Keterangan : Int : Perubahan pada deposit returns di bank konvensional

Ist : Perubahan pada deposit returns di bank syariah

Jika dalam suatu penelitian ada dua variabel yang akn diteliti hubungannya yaitu Yt dan Xt, maka dengan menggunakan tes kausalitas sederhana Granger akan diketahui apakah variabel Xt yang ditentukan oleh variabel Yt atau sebaliknya, atau bahkan kedua variabel tersebut saling menentukan atau saling mempengaruhi. Uji kausalitas yang dikembangkan granger berdasarkan model regresi sebagai berikut :

clip_image027Yt = clip_image019[1]+ clip_image021[1]Xt-j + ut

Xt = clip_image023[1]+ clip_image025[1] Yt-j + Vt

Keterangan :

Yt = Tingkat kredit bulanan t

Xt = Tingkat Suku Bunga SBI Bulan t

Yt-1 = Tingkat Kredit Bulanan t-1

Xt-1 = Tingkat Suku Bunga SBI bulanan t-1

Ut dan Vt = error term

Ada beberapa kondisi yang mungkin akan terjadi dalam pengujian kausalitas sederhana Granger ini (Gujarati, 2003) :

Ø X dikatakan mempengaruhi Y apabila Ho : clip_image029 = 0 ditolak

Ø Y dikatakan mempengaruhi X apabila Ho : clip_image031 = 0 ditolak

Ø Hubungan timbal balik terjadi apabila Ho : clip_image029[1] dan Ho : clip_image031[1]

ditolak

Ø Tidak ada hubungan timbal balik terjadi apabila Ho : clip_image029[2] dan

Ho : clip_image031[2] diterima.

1.6.3.1.1 Pengujian Kausalitas Granger Antara Tingkat bonus SWBI Dengan Tingkat Pembiayaan Perbankan Syariah

Pengujian ini ingin melihat hubungan kausalitas antara variabel SWBI dengan tingkat pembiayaan perbankan syariah, dilakukan dengan menggunakan dua persamaan umum Granger :

LnFSyt = clip_image033LnFSyt-i + clip_image035LPS t-j + Ut

LPS t = clip_image033[1]LnFSyt-i + clip_image035[1]LPS t-j + Vt

Keterangan :

LnFSyt = Financing Supply (pembiayaan) perbankan Syariah bulan t

LPSt = Loss Profit Sharing (Tingkat bonus SWBI) bulan t

LnFSyt-i = Financing Supply perbankan Syariah bulan t-i

LPSt-j = SWBI bulan t-j

Ut dan Vt = error term

1.6.3.1.2 Pengujian Kausalitas Granger Antara Tingkat Suku Bunga SBI Dengan Tingkat Kredit Perbankan Konvensional

Pengujian ini ingin melihat hubungan kausalitas antara variabel tingkat suku bunga dengan tingkat kredit perbankan konvensional, dilakukan dengan menggunakan dua persamaan umum Granger :

LnLSt = clip_image033[2]LnLSt-i + clip_image035[2]IR t-j + Ut

IR t = clip_image033[3]LnLSt-i + clip_image035[3]IR t-j + Vt

Keterangan :

LnLSt = Loan Supply (kredit) perbankan Konvensional bulan t

IRt = Interest Rate (Tingkat Suku Bunga SBI)bulan t

LnLSt-i = Loan Supply perbankan Konvensional bulan t-i

IRt-j = SBI bulan t-j

Ut dan Vt = error term

1.6.4 Pengujian Statistik

Dalam pengujian kausalitas Granger, ada beberapa pengujian statistik yang harus dilakukan. Pengujian tersebut meliputi: uji stasioneritas untuk mendeteksi kestabilan data time series, uji F untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti, uji Autokorelasi untuk menguji kelayakan lag yang digunakan dalam estimasi, dan perbandingan nilai Akaike Iinformation Criterion (AIC) untuk membandingkan nilai yang paling baik yang dapat menjelaskan hubungan kausalitas tersebut. Model yang paling baik adalah model dengan nilai AIC paling kecil.

1.6.4.1 Uji Stasioneritas (Gujarati, 2003: 814 - 817)

Pengujian stasioner tidaknya data di dalam penelitian ini akan digunakan uji akar unit melalui uji Dickey-Fuller (DF-Test) untuk mengetahui apakah data time series[5] yang digunakan memiliki masalah akar unit atau data tidak stasioner.

Jika suatu data time series tidak stasioner pada order nol, I(0), maka stasionaritas data tersebut bisa dicari melalui berbagai order sehingga diperoleh tingkat stasionaritas pada order ke-n (first difference atau I(1), atau second difference atau I(2), dan seterusnya).

Prosedur pengujian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

Tanpa intercept

clip_image037 atau

clip_image039

Dengan intercept

clip_image041

Dengan Intercept dan tren waktu

clip_image043

Dimana :

Δ = first difference dari variabel yang digunakan

clip_image045 = koefisien variabel Y pada saat t-1

t = variabel tren

clip_image047 =clip_image049, jika clip_image051 maka terdapat unit root, data tidak stasionar

Hipotesis untuk pengujian ini adalah :

H0 : δ = 0 (terdapat unit root, data tidak stasionar)

H1 : δ ≠ 0 (tidak terdapat unit root, data stasionar)

Apabila nilai τ(tau)-statistic yang diperoleh berkaitan dengan koefisien regresi model ini lebih kecil dari tabel Dickey-Fuller pada tingkat signifikansi tertentu, null hipotesis ditolak.

1.6.4.2. Uji Kointegrasi

Uji ini dikembangkan berdasarkan adanya persepsi model data yang tidak stasioner dapat terjadi kointegrasi jangka panjang antara tiap variabel yang diuji. Pada penelitian ini uji kointegrasi dilakukan untuk menentukan model yang akan digunakan untuk melihat nilai Akaike Information Criterion (AIC).Uji kointegrasi ini menggunakan Engle-Granger Test dengan langkah :

Langkah Pertama :

Estimasi tiap parameter dari persamaan regresi dengan menggunakan model Ordinary Least Square (OLS) dari X terhadap Y dan peroleh nilai residualnya.

Yt = α0 + α1 Xt1 + α2 Xt2 + ut

Langkah Kedua :

Lakukan uji stasionaritas (Unit Root Test) pada nilai residual menggunakan ADF critical value.

Δut = ρut-1 + vt

Apabila hipotesis unit root ditolak maka disimpulkan bahwa Y dan X terkointegrasi dan apabila hipotesis unit root tidak ditolak, maka kointegrasi tidak terjadi.

1.6.4.3. Pengujian Alternatif Model Dengan Akaike Information Criterion (AIC) (Gujarati, 2003:537)

Dalam uji kausalitas Granger maka salah satu hal yang terlebih dahulu harus dilakukan ialah mencari model lag yang memberikan hasil estimasi terbaik, dalam hal ini berarti harus di uji dari beberapa model lag alternatif mana model lag yang terbaik.

Pada penelitian ini digunakan Akaike Information Criterion (AIC)[6]. Kriteria informasi ini telah umum digunakan dalam data time series untuk menentukan lag mana yang tepat bagi sebuah model regresi.

clip_image053AIC dirumuskan sebagai :

Keterangan :

e = natural logaritma ( e ~ 2,7183)

n = Total jumlah observasi sampel

k = jumlah variabel dalam model, termasuk intercept

clip_image055 = sample Residual Sum of Square (RSS)

Dari beberapa model alternatif lag, masing-masing dihitung nilai AIC nya. Semakin rendah angka perhitungan AIC semakin baik performance dari model tersebut.

1.6.4.4 Uji F-Statistik (uji signifikansi simultan) (Gujarati, 2003:254-259)

Menunjukkan apakah semua variable bebas yang terdapat dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variable terkait.

Hipotesa yang digunakan adalah :

H0 : β0 = β1 = β2 = β3 = β4 = 0 , Semua variabel bebas secara bersama-sama

tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya.

H1 : Salah satu βn ≠ 0 ,Semua variabel bebas secara bersama-sama

berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya

Dengan tingkat keyakinan = α dan df = (k-1) (N-k)

Hasil pengujian akan menunjukkan :

- Apabila F-hitung < F-tabel, maka Ho diterima ; artinya variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya.

- Apabila nilai F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak ; artinya setiap variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya.

1.6.4.5 Uji Autokorelasi (Gujarati, 2003: 441-490)

Autokorelasi[7] adalah korelasi diantara anggota observasi. Masalah autokorelasi dalam model menunjukkan adanya hubungan korelasi antara variabel gangguan (error term) dalam suatu model, ketidakberadaan masalah autokorelasi penting karena merupakan salah satu asumsi CLRM (Classical Linear Reggression Model). Autokorelasi dapat terjadi karena beberapa faktor :

1. Kelembaman (Inertia).

2. Terjadi bias dalam spesifikasi karena beberapa variabel penting tak tercakup.

3. Terjadi bias dalam spesifikasi karena bentuk fungsi yang dipergunakan tidak tepat.

4. Fenomena sarang labah-labah (Cobweb Phenomena).

5. Beda kala (Time lags).

Adanya manipulasi data (Manipulation of data).

Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya Autokoralasi adalah uji Durbin-Watson. Secara spesifik, untuk uji Durbin-Watson terdapat lima himpunan daerah untuk nilai d, yaitu :

clip_image056
clip_image057
clip_image058 clip_image058[1] clip_image058[2]

Daerah Daerah Tidak Daerah Daerah

kritis ketidak- menolak ketidak- kritis

pastian H0 pastian

(inconclusive) (inconclusive)

Tolak Tidak ada Tolak

H0 Autokorelasi H0

clip_image059

0 dL dU 2 (4 – dU) (4 - dL)

· Jika d lebih kecil daripada dL atau lebih besar daripada (4 – dL), maka hipotesis nol ditolak, dengan pilihan pada alternatif yang berarti terdapat Autokorelasi

· Jika d terletak antara dU dan (4 – dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti tidak ada Autokorelasi.

Namun, jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4 – dU) dan (4 – dL), maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti (inconclusive). Untuk nilai-nilai ini, tidak dapat (pada suatu tingkat signifikansi tertentu) disimpulkan adanya otokorelasi di antara faktor-faktor gangguan.

Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah :
H0 : tidak terdapat Autokorelasi positif

H1 : tidak terdapat Autokorelasi negatif

1.6.5. Deskripsi Variabel

1.6.5.1 Tingkat Bonus SWBI

Variabel tingkat bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) digunakan sebagai proxy loss profit sharing atau bagi hasil. Data yang digunakan adalah data bulanan tingkat bonus SWBI dari tahun 2001.I-2004.XII

1.6.5.2 Tingkat Suku Bunga SBI

Variabel tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) digunakan sebagai proxy interest rate. Data yang digunakan adalah data bulanan tingkat suku bunga SBI dari tahun 2001.I-2004.XII.

1.6.5.3 Pembiayaan Perbankan Syariah

Pembiayaan perbankan syariah merupakan jumlah total pembiayaan atau pinjaman yang disalurkan perbankan syariah kepada individu dan perusahaan dengan presentase bagi hasil tertentu. Data yang digunakan ialah data bulanan pembiayaan perbankan syariah tahun 2001.I-2004.XII

1.6.5.4 Kredit Perbankan Konvensional

Kredit perbankan konvensional merupakan jumlah total kredit atau pinjaman yang disalurkan oleh bank konvensional kepada individu dan perusahaan dengan tingkat suku bunga tertentu. Data yang digunakan adalah data berbasis bulanan tingkat posisi kredit bank umum tahun 2001.I-2004.XII


[1] Kebijakan ini antara lain menghapuskan pagu kredit Bank Indonesia, memberikan kebebasan kapada bank umum untuk menentukan suku bunga deposito maupun suku bunga kredit, dan mengurangi pemberian kredit likuiditas.

[2]Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan modal yang digunakan dan dinyatakan dalam persentase.

[3] Adalah resiko tidak terbayarnya kredit yang telah diberikan. Keberadaan NPl dalam jumlah banyak dapat menimbulkan kesulitan sekaligus penurunan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan

[4] Metoda lain untuk menguji kausalitas oleh Sim dan Pierce&Haugh, mengenai perbedaan dan persamaan antara kausalitas granger dan Sims

[5] Data yang secara kronologis disusun menurut waktu pada suatu variable tertentu. (Kuncoro, M. Metode riset untuk ekonomi dan bisnis 2003)

[6] Selain AIC, metode yang popular juga dan umum digunakn ialah Schwartz Information Criterion (SIC) yang juga digunakn untuk mengetahui dari beberapa alternative model manakah yang memberikan sample performance terbaik

[7] Pada data Cross Section disebut spatial autocorrelation


dapatkan file lengkapnya

klik disini

Sponsor

Pengikut