Terapi Psikoproblem Melalui Shalat-00220324-Khoirul Amin (004)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

Suatu tulisan tidak dapat diikuti dengan tepat dan sempurna sesuai dengan maksud penulisnya apabila tidak ada kesepakatan tentang makna atau pengertian peristilahan yang dipakai dalam tulisan tersebut. Oleh karena itu, selalu diperlukan batasan tentang pengertian-pengertian tersebut demi menghindarkan salah tafsir termaksud, maka pada bagian awal karya ini diberikan batasan pengertian istilah-istilah yang dipakai.

1. Terapi

Terapi dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit; pengobatan penyakit; perawatan penyakit.[1] “therapy” dalam bahasa Yunani berarti merawat atau mengasuh. Sedang terapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berarti “mengatasi” dan “mencegah”.

2. Psikoproblem

Psikoproblem terdiri dari dua kata; yakni psikis (Psyche) yang berarti berhubungan dengan jiwa[2] dan problem yang berarti masalah, persoalan.[3] Jadi psikoproblem bisa diartikan sebagai persoalan atau masalah yang dihadapi manusia yang berhubungan dengan jiwa[4] atau permasalahan-permasalahan psikologis. Persoalan-persoalan yang dimaksudkan di sini adalah kecemasan dan keresahan yang berangkat dari masalah-masalah seperti kehidupan rumah tangga (gangguan komunikasi antara suami istri, kekecewaan terhadap partner, perselingkuhan dll), lingkungan kerja (lapangan pekerjaan, relasi atasan dan bawahan, suasana kerja, dll), dan masalah kepribadian (proses perkembangan dan pendewasaan pribadi) dipandang dari sisi psikologis.

Terminologi “terapi psikoproblem” dalam penelitian ini berbeda dengan terminologi “psikoterapi” yang dikenal dunia terapi dalam psikologi. Kalau dalam psikoterapi merupakan cara pengobatan gangguan kejiwaan dengan mempergunakan kekuatan batin dokter/psikoterapis atas jiwa penderita melalui metode sugesti, nasihat, menghibur, atau hipnotis.[5] Sedangkan penyusun menggunakan terminologi “terapi psikoproblem” adalah lebih pada dataran pembedaan istilah. Sehingga diharapkan akan memberikan istilah tersendiri dalam dunia terapi psikis.

3. Shalat

Shalat secara bahasa berarti berdo’a. dengan kata lain, shalat secara bahasa mempunyai arti mengagungkan. Sedangkan pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan al-Qur’an, takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat.[6] Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy shalat yaitu beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.[7]

Yang dimaksudkan shalat dalam penelitian ini adalah tidak hanya sekedar shalat tanpa adanya penghayatan atau berdampak sama sekali dalam kehidupannya, akan tetapi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah shalat fardlu yang didirikan dengan khusyu’ yakni shalat yang nantinya akan berimplikasi terhadap orang yang melaksanakannya. Pengertian shalat yang dimaksudkan lebih kepada pengertian shalat menurut Ash Shiddieqy[8] dari ta’rif shalat yang menggambarkan ruhus shalat (jiwa shalat); yaitu berharap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ dihadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdo’a dan memuji.

Inilah ruh atau jiwa shalat yang benar dan sekali-kali tidak disyari’atkan shalat karena rupanya, tetapi disyari’atkan karena mengingat jiwanya (ruhnya).

Khusyu’ secara bahasa berasal dari kata khasya’a-yakhsya’u-khusyu’an, atau ikhta dan takhasysya’a yang artinya memusatkan penglihatan pada bumi dan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika shalat.[9] Khusyu’ secara bahasa juga bisa diartikan sungguh-sungguh penuh penyerahan dan kebulatan hati; penuh kesadaran hati.[10] Arti khusyu’ itu lebih dekat dengan khudhu’ yaitu tunduk, dan takhasysyu’ yaitu membuat diri menjadi khusyu’. Khusyu’ ini dapat terjadi baik pada suara, badan maupun penglihatan. Tiga anggota itulah yang menjadi tanda (simbol) kekhusyu’an seseorang dalam shalat.

Khusyu’ menurut istilah syara’ adalah keadaan jiwa yang tenang dan tawadhu’ (rendah hati), yang kemudian pengaruh khusyu’ dihati tadi akan menjadi tampak pada anggota tubuh yang lainnya.[11] Sedang menurut A. Syafi’i khusyu’ adalah menyengaja, ikhlas dan tunduk lahir dan batin; dengan menyempurnakan keindahan bentuk/sikap lahirnya, serta memenuhinya dengan kehadiran hati, kesadaran dan pengertian (penta’rifan) segala ucapan bentuk/sikap lahir itu.[12]

Jadi secara utuh yang dimaksudkan oleh penyusun dalam judul penelitian ini adalah mengatasi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan psikis sehari-hari seperti masalah rumah tangga, perkawinan, lingkungan kerja, sampai masalah pribadi dengan membiasakan shalat yang dilakukan dengan khusyu’. Dengan kata lain dalam penelitian ini akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis, karena shalat merupakan kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam.

B. Latar Belakang Masalah

Dunia modern dengan mobilitas yang cukup tinggi telah mengukir kisah sukses secara materi. Namun, agaknya kamakmuran secara materi itu tidak cukup membuat makmur kehidupan spiritualnya, ini akibat dari keterlepasan dunia modern terhadap nilai-nilai etika, moral, tradisi, dan agama yang telah dianggap usang. Manusia modern telah kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung sangkar materi.

Modernisme gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya manusia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Mereka goyah dan pada akhirnya akan runtuh.

Manusia dengan seluk beluk dan kompleksnya kebutuhan hidup ini sering menemui berbagai kendala dan persoalan. Karena memang hidup ini penuh dengan kegembiraan, kesenangan, gemerlapan yang fatamorgana yang semuanya akan menipu manusia itu sendiri, bahkan akan menjadikan traubeling dalam kehidupannya tatkala manusia tidak mampu menerima atau memanajnya dengan baik.

Persoalan yang manusia hadapi dari waktu ke waktu tampaknya makin lama makin kompleks, baik persoalan yang berhubungan dengan pribadinya, keluarganya, pekerjaan, dan masalah kehidupan secara umum. Kompleksitas masalah itu telah mengarahkan sebagian dari manusia mengalami konflik dan hambatan dalam memenuhi apa yang manusia harapkan, bahkan sampai dapat menimbulkan tekanan yang sangat mengganggu. Kompleksitas masalah demikian inilah yang diantaranya menuntut adanya media yang dapat membantu mengatasi segenap permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.[13]

Sejumlah rasa pesimis dan takut dalam menghadapi hidup melanda kebanyakan masyarakat, beriringan dengan persoalan hidup yang kian rumit dan senantiasa berubah bentuk dan coraknya.[14]

Tanpa pegangan apapun dan hanya mengandalkan materi belaka, manusia semakin kehilangan arah dalam kehidupannya dan kehilangan arti dan tujuan hidup[15] dengan membawa sejuta persoalan psikologisnya. Hal ini membuat ketidakseimbangan dalam kepribadiannya[16] sehingga rentan dan mudah terserang penyakit kehidupan yang akhirnya banyak manusia yang mengalami gangguan kejiwaan.

Lalu bagaimana dengan psikoterapi yang merupakan ilmu terapan yang membantu mengatasi gangguan kejiwaan pada diri manusia, dimana psikoterapi merupakan bagian dari ilmu kesehatan jiwa yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepribadian dan perbaikan jiwa (mental) yang terganggu kesehatannya akibat problem emosional semacam kecemasan, rasa tertekan, dan gangguan-gangguan kejiwaan yang lain. Psikoterapi juga digunakan untuk menumbuhkan kepribadian dan aktualisasi diri.[17]

Banyak lagi teori-teori psikoterapi yang ditelorkan oleh sarjana-sarjana Barat ahli psikologi dalam rangka membantu dan memecahkan persoalan psikologis manusia, seperti yang tertuang dalam buku: Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi, karya Gerald Corey, dimana Corey membuat ikhtisar model-model konseling dan psikoterapi kontemporer yang di tuangkan dalam beberapa bab dalam bukunya.[18]

Terapi Psikoanalitik yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1959) dan figur-figur lain seperti; Jung, Adler, Sullivan, Rank, Fromm, Horney, Erikson. Secara historis merupakan sistem psikoterapi pertama. Psikoanalisis adalah suatu teori kepribadian, sistem filsafat, dan metode psikoterapi. Dalam psikoterapi yang menggunakan teori psikoanalisis, ahli jiwa perlu mengetahui seluruh pengalaman yang telah dilalui oleh penderita. Itulah sebabnya perawatan dengan cara ini memakan waktu yang agak lama, terutama apabila penderita tidak mau berterus terang atau menolak menceritakan segala sesuatu yang pernah dialami.[19]

Para terapis yang berorientasi psikoanalitik dapat menggunakan metode-metode penafsiran mimpi, asosiasi bebas, analisis resistensi-resistensi dan transferensi. Juga menangani hubungan masa lampau kliennya, pada saat yang sama mereka bisa menggabungkan sumbangan-sumbangan dari aliran-aliran lain, khususnya dari para neo-Freudian yang menekankan faktor-faktor sosial budaya dalam perkembangan kepribadian.[20]

Teori lain mengenai psikoterapi dikenal dengan Client-Centered Psycotherapy oleh R. Carl Rogers.[21] Pada awalnya pendekatan Rogers ini dikenal dengan Non Directing Therapy.[22] Perbedaan teori ini dengan teori sebelumnya ialah bahwa teori ini tidak mementingkan penganalisaan terlebih dahulu terhadap semua pengalaman yang telah dilalui penderita. Teori ini mengakui bahwa tiap-tiap individu mampu menolong dirinya, apabila ia mendapatkan kesempatan untuk itu.[23]

Teori-teori lain yang mendapat sambutan hangat khususnya di A.S. yaitu; Behavior Therapy. Tokoh-tokoh utama teori ini antara lain seperti: Wolpe, Eysenck, Lazarus, Salter. Terapi ini adalah penerapan aneka ragam dan teknik prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar pada penyelesaian gangguan-gangguan tingkah laku yang spesifik.[24] Jadi pada dasarnya teori ini diarahkan pada tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan.

Dari teori-teori tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa psikoterapi merupakan perawatan psikologis yang membutuhkan waktu dan usaha yang sungguh-sungguh guna mengurangi atau menghilangkan beban jiwa yang berasal dari kehidupanm emosional dan semua itu bertujuan untuk membentuk kepribadian yang positif.[25]

Berbagai teori yang dikemukakan diatas menunjukkan keterbatasan manusia dalam memikirkan masalah kejiwaan dan perawatannya. Karena tidak satupun dari teori tersebut yang menyinggung aspek spiritual, yang sebenarnya esensi dasar kehidupan manusia.[26]

Begitulah keberhasilan para ahli psikolog dan psikiater dalam merumuskan teori dan metode pengobatan tidak diikuti oleh hasil-hasil yang menggembirakan. Karena mereka tidak melihat manusia secara utuh sebagai mahluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani-rohani), tetapi hanya melihat manusia sebagai mahluk bio-psiko-sosial semata. Padahal spiritual merupakan kebutuhan dasar manusia.

Kalau kita tarik dalam kehidupan sekarang yang bermunculan biro-biro konsultan bahkan tidak sedikit media massa baik elektronik mapun cetak yang membuka rubrik konsultasi psikologi mengatasi masalah psikoproblem sehari-hari ditawarkan, akan tetapi hasilnya kurang begitu memuaskan bagi kliennya. Sebagai contoh rubrik konsultasi psikologi dalam majalah Matra yang diasuh langsung oleh Imam Santoso[27] – selanjutnya di rangkum dalam Sebuah buku – yang menerima berbagai pertanyaan dan keluhan seputar tentang psikoproblem sehari-hari.

Dalam usahanya menganalisis inti persoalan yang diajukan atau dihadapi klien, mas Tos panggilan akrab Imam Santoso tidak jarang menguraikan garis besar teori psikologi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.[28] Akan tetapi ini tidak menjawab secara tuntas persoalan yang dihadapi klien. Ini dibuktikan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan baru yang senada dengan persoalan-persoalan sebelumnya.

Sementara itu Islam telah lebih awal dahulu memulai dengan penawaran ajarannya yang dapat menentramkan kehidupan rohani manusia[29]. Maka dari itu keagamaan dalam membantu mengatasi persoalan gangguan jiwa sangat signifikan, mengingat bahwa persoalan tidak hanya bersifat psikologis saja tetapi juga spiritual.

Al-Qur’an al-Karim diturunkan sebagai dasar pedoman manusia untuk mengajak manusia kepada ajaran tauhid, mengajarkan manusia nilai dan sistem baru ideologi maupun kehidupan, menuntut mereka kepada perilaku positif dan benar yang memuat kebaikan individu mapun kemaslahatan sosial dan mengarahkan mereka kepada cara-cara yang benar mengenai pendidikan maupun pemeliharaan jiwa secara sitematis menuju pencapaian kesempurnaan insani yang akan merealisasikan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.[30]

Selanjutnya menyadari akan pentingnya psikoterapi yang bernafaskan Islam, terutama bagi yang beragama Islam, dimana kebutuhan manusia terhadap ketentraman hidup kadang-kadang sulit dicapai, karena adanya kendala dari dalam diri dan dari luar yang sukar dihindarkan[31]. Ajaran Islam mengandung banyak petunjuk (bimbingan) dalam segala bidang kehidupan, maka untuk menjaga agar mereka jangan sampai mengalami penderitaan yang lebih jauh, bimbingan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapat digunakan oleh setiap orang yang memahami dan dapat pula dimanfaatkan oleh para ahli di bidang psikoterapi islami.[32]

Ada beberapa teknik psikoterapi islami sebagaimana yang di jelaskan oleh Zakiah Daradjat dalam psikoterapi islaminya.[33] Yaitu sabar, taubatan nasuha, dan tawakkal kepada Allah. Zakiyah belum menyentuh wilayah shalat secara khusus dalam teknik terapinya. Ia hanya mengungkap sekilas yang ada hubungannya dengan sabar. Akan tetapi yang dibahas oleh penyusun dalam skripsi ini adalah terapi psikoproblem melalui shalat. Bahasan shalat dan implikasinya terhadap jiwa akan dibahas secara mendalam.

Pelajaran inti dan terpenting dalam ajaran Islam adalah ibadah shalat. Shalat merupakan kunci ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Shalat sekaligus menjadi barometer ketaatan dan penginsyafan seorang hamba kepada sang khaliq.[34] Penyusun sendiri berkeyakinan bahwa diperintahkannya manusia menjalankan shalat secara khusyu’ bukan semata agar manusia terhindar dari siksa neraka atau agar manusia masuk surga, tetapi ada hikmah yang perlu kita gali dan kita fahami yaitu untuk kelangsungan hidup manusia itu sendiri tatkala manusia hidup bermasyarakat di dunia yang fana ini.

Allah memerintahkan kepada umatnya untuk menegakkan Shalat[35] sehari semalam lima kali pasti memiliki hikmah yang besar. Disamping hikmah dari frekuensi manusia dianjurkannya shalat lima kali sehari semalam juga hikmah yang terkandung didalam gerakan-gerakan shalat dan bacaan-bacaan disetiap rukun shalat. Bukankah Rasul sendiri pernah bersabda:

ارايتم لوان نهارا بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مرات هل يبقى من د رنه شيء ؟ قالوا: لا يبقى من درنه شيء. قال: فذالك مثل الصلوات الخمس يمحوالله بهن الخطايا

Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, kemudian dia mandi lima kali setiap hari, apakah masih tersisa kotoran darinya?. Para sahabat menjawab: ‘tidak akan tersisa sedikitpun kotoran darinya’ Beliau besabda: ‘itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah akan menghapus dosa-dosa dengan shalat lima waktu’.” [36]

Dari sinilah kemudian menjadi sangat penting untuk ditelaah lebih lanjut apa hikmah tatkala manusia melakukan shalat lima waktu secara khusyu’ dan dihubungkan dengan terapi psikoproblem. Apakah memang benar ketika memberikan terapi kepada seorang klien dalam mengatasi masalah psikologis sehari-hari dengan pembiasaan perilaku shalat khusyu’ ini mampu mengungkap dan mengatasi permasalahannya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada deskripsi latar belakang di atas, maka studi tentang terapi psikoproblem melalui shalat merupakan kajian yang sangat signifikan. Oleh karena itu penulis bermaksud mengkaji masalah tersebut lebih dalam lagi. Untuk lebih mengoperasionalkan dan memudahkan pembahasan selanjutnya, pembahasan pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

● Bagaimana shalat mampu mengatasi masalah psikologis ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas, secara teoritis penelitian ini mempunyai tujuan: mendeskripsikan tentang terapi psikoproblem melalui shalat.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan rekomendasi kepada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam terutama mengenai psikoterapi Islami - yang sekarang dalam tahap membangun paradigma keilmuan tersebut - dan disisi lain penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat kepada setiap individu untuk melakukan terapi mandiri terhadap persoalan-persoalan psikisnya dengan membiasakan shalat khusyu’.

Disamping itu secara formal penelitian ini bertujuan sebagai salah satu syarat akhir untuk mendapat gelar sarjana sosial Islam di lingkungan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi umat Islam, khususnya yang terjun dalam dunia konseling.

E. Tinjauan Pustaka

Secara spesifik-komperhensif kajian dengan tema sentral semacam ini menurut pengamatan dan penelusuran penyusun belum pernah dibahas dan ditelaah dalam pustaka utuh dan terperinci. Namun bahasan tentang psikoterapi islami secara umum sudah mulai banyak dikaji dalam sebuah buku; seperti Konseling dan Psikoterapi Islami karya M Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi Islami karya Zakiah Daradjat, Psikoterapi dalam al-Qur’an karya Dr. Muhammad ‘Utsman Najati dalam bukunya Jiwa Manusia, Integrasi Psikoterapi dan ajaran Islam karya Siti Nurul Indiyati dalam skripsinya. Bahasan-bahasan dari karya tersebut baru berupa bagian-bagian (bab atau sub-bab) didalamnya dan belum menyentuh wilayah shalat sebagai mediatornya untuk mengatasi masalah-masalah psikologis serta merupakan langkah awal dalam rangka menemukan sebuah madzhab baru dalam dunia psikologi yakni diharapkan ditemukannya psikologi islami.

Tulisan-tulisan lain yang sangat dekat dengan tema dalam skripsi ini adalah buku Menjernihkan batin dengan shalat khusyu’, karya Misa Abdu yang diterjemahkan oleh Jujuk Najibah Ardianingsih. Buku ini mencoba membukakan rahasia kepada kita bagaimana cara menggapai shalat yang khusyu’ dengan menyempurnakan bacan-bacaan dan gerakan dalam shalat. Dalam buku ini dibahas tentang pengertian shalat, faktor yang membantu kekhusyu’an, pentingnya shalat khusyu’ dan hukumnya dalam al-Qur’an serta pengaruhnya dalam jiwa.[37] Buku ini kurang banyak meneropong sisi psikologisnya, kecuali dalam beberapa bahasan kecil saja yakni sebagai pengantar ke shalat yang khusyu’, selebihnya unsur fiqh sangat dominan dalam setiap pembahasannya.

Kemudian buku Shalat menjadikan hidup bermakna karya Zakiah Daradjat tidak jauh berbeda dengan buku karangan diatas yakni memandang shalat dari segi maknanya saja. Buku ini menggambarkan makna dan manfaat ajaran agama dalam kehidupan nyata. Disana dijelaskan juga tentang masalah ibadah, peranan dan pengaruhnya bagi kehidupan kita sehari-hari.[38]

Selanjutnya wilayah penelitian yang akan dikaji oleh penyusun pada kesempatan ini adalah mengkaji tentang shalat dan dimensinya serta shalat sebagai salah satu mediator dalam mengatasi persoalan-persoalan psikologis sehari-hari (shalat dan implikasinya terhadap jiwa). Dengan kata lain dalam penelitian ini akan dibahas tema shalat sebagai mediator untuk mengatasi segala permasalahan manusia sehari-hari yang berhubungan dengan psikis. Perbedaan dengan bukunya Misa dan Zakiah diatas adalah terletak pada pembahasan yang jauh dan mendalam dalam dimensi psikologi shalat dan implementasinya terhadap pencegahan dan mengatasi masalah-masalah psikis.

F. Kerangka Teoritik

Kemajuan dunia terapi psikoproblem (psikoterapi) sekarang sejalan dengan kamajuan masyarakat. Pekerjaan di masyarakat kita sudah terdiferensiasi kearah yang lebih baik. Pekerjaan-pekerjaan yang semula satu jenis, kini mulai terbagi menjadi bagian-bagian yang amat spesifik, misalnya konseling sebagai salah satu hubungan pemberian bantuan yang profesional. Dalam perkembangan terakhir ini kita ketahui bahwa konseling ini begitu sangat pesat baik dari segi riset-riset yang dilakukan maupun teknik-teknik yang dikembangkan.

Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan konseling adalah psikologi, bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi, terutama jika dilihat dari tujuan , teori yang digunakan, dan proses penyelenggaraan.[39] Dalam penyelenggaraan konseling dan psikoterapi tersebut seorang konselor atau psikoterapis menggunakan berbagai model pendekatan. Menurut Geral Corey ada delapan model konseling dan psikoterapi dari hasil seleksinya yang dimasukkan dalam tiga kategori.[40]

Kategori pertama adalah pendekatan psikodinamika yang berlandaskan terutama pada pemahaman, motivasi tak sadar, serta rekontruksi kepribadian dan merupakan terapi psikoanalitik. Kategori kedua adalah terapi-terapi yang berorientasi eksperiensial dan relasi yang berlandaskan psikologi humanistik, meliputi terapi-terapi eksistensial, terapi client-centered, dan terapi Gestalt. Kategori ketiga adalah terapi-terapi yang berorientasi pada tingkah laku rasional-kognitif dan ‘tindakan’, yang mencakup Analisis Transaksional, terapi-terapi tingkah laku, terapi rasional-emotif, dan terapi realitas.[41] Selanjutnya Corey membuat ikhtisar model-model konseling dan psikoterapi kontemporer sebagai berikut:

Terapi Psikoanalitik, figur utama adalah Freud, figur-figur lainnya adalah Jung, Adler, Sullivan, Rank, Fromm, Horney, Erikson. Secara historis merupakan sistem psikoterapi pertama. Psikoanalisis adalah suatu teori kepribadian, sistem filsafat, dan metode psikoterapi. Tehnik-tehnik utama adalah penafsiran, analisis mimpi, asosiasi bebas, analisis resistensi, dan analisis transferensi. Kesemua teknik tersebut dirancang untuk membantu klien memperoleh jalan masuk ke dalam konflik-konflik tak sadar yang mengarah kepada pemahaman dan asimilasi material baru oleh ego. Diagnosis dan pengetesan sering digunakan. Pertanyaan-pertanyaan digunakan untuk mengembangkan suatu kasus sejarah.

Terapi eksistensial- humanistic, Figur-figur utama adalah May, Maslow, Frankl, Jourard. ‘Kekuatan ketiga’ dalam psikologi ini dikembangkan sebagai reaksi melawan psikoanalisis dan behaviorisme yang dianggap tidak berlaku adil dalam mempelajari manusia. Hanya sedikit teknik yang dikembangkan oleh terapi ini, sebab pendekatan ini mendahulukan pemahaman alih-alih teknik. Terapi ini bisa meminjam teknik-teknik dari pendekatan lain. Diagnosis, pengetesan, dan pengukuran-pengukuran eksternal tidak dipandang penting. Pendekatan bisa menjadi sangat konfrontatif.

Terapi client-centered, pendiri: Carl Rogers. Semula adalah pendekatan nondirektif yang dikembangkan pada tahun 1940-an sebagai reaksi melawan pendekatan psikoanalitik. Berlandaskan pada pandangan subjektif atas pengalaman manusia, terapi client-centered menaruh kepercayaan dan meminta tanggung jawab yang lebih besar kepada klien dalam menangani masalah-masalah. Pendekatan ini menggunakan teknik-teknik, tetapi menitikberatkan sikap-sikap terapis. Teknik-teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan, menjelaskan, dan ‘hadir’ bagi klien. Dukungan dan pemberian keyakinan bisa digunakan jika layak. Pendekatan ini tidak memasukkan pengetesan diagnosis, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi.

Terapi Gestalt, pendiri: Fritz Perls. Sebagian besar merupakan terapi ekperiental yang menekankan kesadaran dan integrasi, yang muncul sebagi reaksi melawan terapi analitik, serta mengintegrasikan fungsi jiwa dan badan. Berbagai teknik dirancang untuk mengintensifkan, mengalami, dan untuk mengintegrasikan perasaan-perasaan yang berlawanan. Teknik-teknik yang mencakup konfrontasi, dialog dengan polaritas-polaritas, permainan peran, tetap dengan perasaan-perasaan, menembus jalan buntu dan menghidupkan kembali serta mengalami ulang urusan yang tak selesai berupa dendam dan rasa bersalah. Penanganan mimpi sangat berguna. Diagnosis dan pengetesan formal tidak dilakukan.

Analisis Transaksional, pendiri Eric Berne. Suatu model terapi kontemporer yang cenderung kearah aspek-aspek kognitif dan behavioral, dan dirancang untuk membantu orang-orang dalam mengevaluasi putusan-putusan yang telah dibuatnya menurut kelayakan sekarang. Analisis skenario atau kuisioner digunakan untuk membantu klien menyadari perintah-perintah masa dini yang telah diterimanya. Banyak teknik ini yang bisa dikombinasikan dengan teknik-teknik Gestalt yang mendatangkan hasil. Beberapa bentuk diagnosis bisa digunakan untuk menaksir sifat masalah. Klien berpartisipasi secara aktif dalam diagnosis dan penafsiran-penafsiran dan diajari membuat penafsiran-penafsiran dan penilaian-penilaian sendiri. Bertanya adalah bagian dari teori ini.

Terapi tingkah laku, tokoh-tokoh utama: Wolpe, Eysenck, Lazarus, Salter. Suatu model terapi yang merupakan penerapan prinsip-prinsip belajar pada penyelesaian gangguan-gangguan tingkah laku yang spesifik. Hasil-hasilnya merupakan bahan bagi eksperimentasi lebih lanjut. Terapi tingkah laku secara sinambung berada dalam proses penyempurnaan.

Terapi-rasional-emotif, pendiri: Albert Ellis. Suatu model terapi yang sangat didaktik, berorientasi kognitif-tindakan, serta menekankan peran pemikiran dan sistem-sistem kepercayaan sebagai akar masalah-masalah pribadi. Pendekatan ini menggunakan prosedur yang beragam seperti mengajar, membaca, ‘pekerjaan rumah’, dan penerapan metode ilmiah logis bagi pemecahan masalah. Teknik-teknik dirancang untuk melibatkan klien kedalam evaluasi kritis atas filsafat hidupnya. Diagnosis yang spesifik dibuat. Terapis menafsirkan, bertanya, menggali, menantang, dan mengkonfrontasikan klien.

Terapi realitas, pendiri: William Glasser. Suatu model terapi yang dikembangkan sebagai reaksi melawan terapi konvensional. Terapi realitas adalah terapi jangka pendek yang berfokus pada saat sekarang, menekankan kekuatan pribadi, dan pada dasarnya merupakan jalan dimana para klien bisa belajar tingkah laku yang lebih realistik dan karenanya bisa mencapai keberhasilan. Pendekatan ini pada dasarnya adalah terapi yang aktif, direktif, dan dikdaktif. Terapis sering menggunakan kontrak dan apabila kontrak selesai, terapi diakhiri. Terapi realitas tidak mengikuti diagnosis dan evaluasi model medis.[42]

Itulah beberapa model konseling dan psikoterapi kontemporer yang digunakan oleh konselor dan psikoterapis dalam membantu kliennya dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Sekarang permasalahannya adalah apakah dengan pendekatan-pendekatan tersebut diatas sudah mencapai keberhasilan yang maksimal, karena kalau penyusun lihat pendekatan yang digunakan hanya semata melihat manusia sebagai mahluk bio-psiko-sisial saja tanpa melibatkan spiritual, yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasar manusia.

Dapat kita simak pendapat William James seorang ahli psikologi dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa tidak diragukan lagi, bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan jiwa adalah kimanan kepada Tuhan. Menurutnya keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak harus dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidup ini. Ia melanjutkan bahwa antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak terputus, apabila manusia menundukkan diri di bawah pengarahannya, cita-cita dan keinginan manusia akan tercapai. Manusia yang benar-benar relegius akan terlindung dari keresahan dan selalu terjaga keseimbangannya dan selalu siap untuk menghadapi segala malapetaka yang terjadi.[43]

Bahkan menurut Ar-nold Toynbee; sejarawan asal Inggris, krisis yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa pada zaman modern ini adalah disebabkan oleh karena ‘kemiskinan spiritual’ sehingga jalan untuk menyembuhkannya adalah tiada lain kembali kepada agama.[44]

Agama Islam yang ajarannya sangat kompleks telah memberikan bimbingan terhadap hamba-Nya untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yang kesemuanya terangkum dalam praktik ibadah shalat. Karena shalat merupakan inti dalam ajaran Islam.

Shalat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (khusyu’) mewujudkan ubudiyah yang benar-benar karena Allah, ikhlas, pasrah, rendah diri terhadap dzat yang maha tinggi. Di dalam shalat; mereka meminta segala sesuatu kepada Allah dan meminta dari-Nya hidayah untuk menuju jalan yang lurus, dan Allah-lah maha kaya lagi mulia.

Shalat pada hakikatnya merupakan sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan memperbaharui semangat dan sekaligus sebagai pensucian akhlak. Bagi pelakunya sendiri, shalat itu merupakan tali penguat yang dapat mengendalikan, ia adalah pelipur lara dan mengamankan dari rasa takut dan cemas, juga memperkuat kelemahan, dan senjata bagi yang merasa terasing.[45]

Dengan shalat kita dapat memohon pertolongan atas ujian zaman, tekanan orang lain dan kekejaman para durjana. Shalat juga sebagai pencegahan dan pengobatan bagi gangguan kejiwaan.[46]

Allah SWT berfirman:

واسْتَعِيْنوابا لصبر َوالصلوةِ وانها لكبيرة الا على الخشعينَ

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ ” (QS. Al-Baqarah (2): 45)

يآايهاالذين امنوااستعينو ا با لصبر والصلوة ان الله مع الصبرين

“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah (2): 153)

يآايهاالناس قدجاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لمافىالصدور وهدى ورحمة للمؤ منين

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus (10): 57)

و من كان في هذه اعمى فهو فىالاخرة اعمى واضل سبيلاً

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. Al-Isra’ (17): 72[47]

Dari penjelasan ayat tersebut, secara tegas dijelaskan bahwa dalam agama terdapat sistem terapeutik yang signifikan terhadap gangguan kejiwaan manusia, namun bagaimana pelaksanaan dari proses terapeutik tersebut harus dilihat berdasarkan sejauhmana seseorang mengamalkan ajaran agama itu dengan sungguh-sungguh (dalam hal ini sholat khusyu’), sehingga shalatnya berdampak terhadap kesehatan rohaninya.

G. Metodologi Penelitian

Dalam sebuah penelitian ilmiah metodologi memiliki peran yang sangat penting, karena dengan metodologi ini – yang benar-benar sesuai dengan jenis penelitian – akan dihasilkan sebuah karya tulis yang benar-benar memiliki nilai ilmiah yang tinggi. Secara ringkas dapat dikatakan metodologi ialah pengetahuan tentang apa saja yang merupakan cara untuk menerangkan atau meramalkan variabel konsep maupun definisi konsep yang bersangkutan dan mencari konsep secara empiris.[48]

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Library Research (penelitian Pustaka). Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif yang berkeinginan memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang terapi psikoproblem melalui shalat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Oleh karena jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka, maka teknik yang digunakan dalam pengumpulan datanya adalah dengan mengkaji dan menelaah literatur yang ada relevansinya dengan pembahasan studi ini. Adapun cara yang digunakan oleh penyusun adalah:

1. Menyusun bibliografi

Dalam tahap ini penyusun menyiapkan karangan atas dasar bacaan-bacaan perpustakaan yang berhubungan dengan tema, yaitu buku Menjernihkan hati dengan shalat khusyu karya Misa Abdudan Shalat menjadikan hidup bermakna karya Zakiah Daradjat dan buku lain yang relevan. Penyusun membaca dan membuat catatan serta membuat ihtisar yang sistematik. Ini semua sebagai usaha penyelidikan ekploratik sebagai persiapan untuk penyelidikan yang lebih mendalam.

Dalam penyelidikan eksploratik penyusun mencari sumber-sumber sebanyak mungkin, semuanya dicatat dalam satu daftar atau dalam kartu-kartu. Selanjutnya penyusun mulai meneliti lebih dalam sumber-sumber itu dan menetapkan mana diantara sumber itu yang fungsional dan mana yang tidak. Kemudian penyusun mendaftar segala data yang diperlukan seperti; nama penulis, nama sumber, tahun dan tempat penerbitan.

2. Membuat catatan

Dalam membuat catatan dari sumber perpustakaan, penyusun berusaha seselektif mungkin, karena melalui bacaan penyusun sekaligus menetapkan manakah diantara bahan-bahan itu yang benar-benar diperlukan dalam analisa dan pembahasan masalah.

Catatan yang dibuat adalah yang berhubungan dengan masalah dan mengambil data yang utama serta secara ringkas, bukanlah banyaknya atau panjangnya kutipan yang penting tetapi mutu dan urgensinya. Selanjutnya penyusun membuat catatan-catatan secara teratur dan menurut satu sistem yang memungkinkan penyusun memperoleh hasil sebaik-baiknya, sistem itu adalah:

a. Kartu Ihtisar

Dalam tahap ini penyusun membuat ringkasan dari buku Menjernihkan Batin dengan Shalat Khusyu’ dan Shalat menjadikan hidup Bermakna, serta sumber-sumber lain yang relevan seringkas mungkin dan memuat hanya garis besarnya saja serta pokok karangan dan juga mewakili pendapat asli penulisnya.

b. Kartu Kutipan

Penyusun membuat kutipan-kutipan tentang shalat sebagai media terapi psikoproblem yang teliti mengenai isi dan bentuk karangan yang asli, tidak merubah sama sekali dari sumber aslinya.

c.Kartu Ulasan

kartu ini digunakan penyusun sebagai reaksi terhadap sumber yang penyusun baca. Reaksi ini dapat bersifat menambah atau menjelaskan catatan bacaan, dapat pula berupa kritik, kesimpulan, saran, komentar, dan lain-lain yang bersifat pribadi.[49]

3. Sumber Data

Adapun data primer dalam penelitian ini diambil dari buku Menjernihkan Batin dengan Shalat Khusyu’ karya Misa Abdu, dan Shalat Menjadikan Hidup Bermakna karya zakiah Daradjat.

Untuk menunjang data primer tersebut, datum-datum dalam penelitian ini juga digali dari buku-buku lain, seperi Konseling dan Psikopterapi Islam karya M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi Islami karya Zakiah Daradjat, dan artikel , serta sumber lainnya yang relevan dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisa Data

Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode yang meliputi proses-proses penyusunan penjelasan atau penafsiran terhadap data yang ada, kemudian dianalisa (metode ini disebut juga “metode analitik”)[50] Dalam proses analisa data penyusun menggunakan metode analisis isi (Content Analysis), yaitu suatu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dilakukan secara objektif dan sistematis.[51]

Dengan demikian analisis disini ialah melakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam teks, kemudian dilakukan pengelompokan, maupun analisis terhadap makna-makna dari teks tersebut dan selanjutnya disusun secara logis dan sistematis.

Dengan metode ini penyusun berusaha untuk menelusuri shalat sebagai mediator dalam terapi psikoproblem, sehingga dapat diharapkan memberikan sumbangan teoritik yang kemudian diimplementasikan bagi terapi psikoproblem.

Disamping itu juga digunakan analisis kualitatif, dengan menggunakan cara berfikir deduktif dan induktif.

a. Induktif, yaitu penulis menganalisa data yang berupa pendapat-pendapat para ahli dalam psikoterapi (islami), kemudian dari hasil analisis tersebut penulis akan menarik kesimpulan dalam bentuk pernyataan yang bersifat umum.

b. Deduktif, yaitu penyusun menganalisis data yang berupa pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, dan kemudian hasil analisis tersebut dipergunakan untuk menguji persoalan-persolan yang bersifat khusus, dalam hal ini pendapat para ahli tentang shalat sebagai mediator dalam terapi psikoproblem.

5. Pendekatan Masalah

Pendekatan berarti suatu sudut pandang atau cara yang digunakan dalam memandang sesuatu. Ia juga berarti prespektif, teori dan paradigma[52] Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan psikologi Islam, artinya mengkaji problem jiwa manusia dari sumber ajaran Islam, karena pada dasarnya psikologi Islam menepatkan istilah jiwa dengan nafs, qalb, roh dan aql. Nafs (jiwa) ini merupakan zat dalam keseluruhan yang lebih menyatakan unsur penggerak atau aktivitas biologis ketimbang kesadaran dalam berfikir. Dengan demikian nafs (jiwa) mirip kepada pengertian umum dan bukan menunjuk pemikiran secara khusus. Dengan demikian pengertian jiwa dalam psikologi Islam meliputi keempat unsur tersebut, yaitu nafs, qalb, roh, dan aql.

Dengan demikian kalau melihat psikoproblem dengan pendekatan psikologi Islam maka akan mudah menjadikan shalat sebagai mediatornya dalam terapi psikoproblem.


[1] Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), hlm. 935

[2] Ibid, hlm. 704

[3] Ibid, hlm. 701

[4] Pada dasarnya Psikologi Islami menempatkan istilah jiwa dengan nafs, qalb, roh dan aql. Jadi jiwa dalam psikologi islami meliputi keempat unsur tersebut

[5] Lihat Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991)

[6]Misa Abdu, Menjernihkan Batin dengan Shalat Khusyu’, Terj: Jujuk Najibah Ardianingsih, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm17

[7]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 62

[8] Ibid, hlm. 65

[9] Misa Abdu , loc. Cit

[10] Departemen Pendidikan & Kebudayaan, op. Cit, hlm. 437

[11] Misa Abdu, op. Cit, hlm. 18

[12] A. Syafi’i MK, Pengantar Shalat yang Khusyu’, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 2

[13] Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM Press, 2001), hlm. 3

[14] Sebagaimana yang diungkap oleh Siti Nurul Indiyati dalam Skripsinya: Integrasi Psikoterapi dan Ajaran Islam, pada halaman Abstraksinya

[15] Al-Qur’an al-Karim telah menerangkan kepada manusia bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat (51): 56 الا ليعبدون وماخلقت الجن و الانس

yang artinya: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

[16] Kepribadian yang normal dalam Islam adalah kepribadian yang memiliki keseimbangan antara tubuh dan jiwa; didalamnya telah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan tubuh dan jiwa. Sesungguhnya pribadi yang normal adalah yang memberikan perhatian pada tubuh, yang kesehatan dan potensinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam batas-batas yang ditentukan oleh syari’at. Dan pada waktu yang sama ia berpegang teguh dengan beriman kepada Allah, menunaikan ibadah-ibadahnya, melaksanakan segala apa yang diridlahi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjahui yang dimurkai-Nya. Selanjutnya lihat Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa Manusia: Dalam Sorotan al-Qur’an, Terj: Ibn Ibrahim, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001), hlm. 261

[17] Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nurul Indriyati dalam Skripsinya: Integrasi Psikoterapi dan Ajaran Islam, dari John F Dashiell “Psychology” dalam Bernand S (ayne Ced. In Chief), The Encyclopedia Americana, (New York: Americcana Corporation, 1974), hlm. 734

[18] Selanjutnya baca Gerald Corey: Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Terj: E. Koeswara, (Bandung: PT. Eresco, 1995)

[19] Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), hlm. 75

[20] Gerald Corey, op. Cit, hlm. 45

[21] Lebih lanjut bisa dibaca Gerald Corey, op.Cit, hlm. 90-116, John. F. Dashiell, op.Cit, hlm. 736

[22] Siti Nurul Hidayat, loc. Cit

[23] Zakiah Daradjat, loc. Cit

[24] Gerald Corey, op. Cit, hlm. 9 & 196

[25] Muhammad ‘Utsman Najati menyebutnya sebagai kepribadian normal (matang).. individu yang selalu mengikuti keinginan-keinginan dan syahwat adalah individu yang tidak normal, baik secara badani maupun rohnya. Al-Qur’an al-Karim menunjukkan urgensi realisasi keseimbangan ini pada manusia melalui firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Qashash (28): 77

وابتغ فيما اتك الله الدار الاخراة ولا تنس نصيبك من الدنيا......

yang artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kalian (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kalian melupakan bagian kalian dari (kenikmatan) duniawi…

[26] Basis kehidupan manusia adalah spiritualitasnya. Peristiwa perjanjian primordial antara manusia dengan Allah di zaman Azali menunjukkan betapa masalah hubungan atau keterkaitan antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai khaliq sangat penting adanya. Bagaimana perjanjian itu dapat kita simak dalam al-Qur’an al-Karim Surat al-A’raaf (7): 172

واذاخذربك من بني ادم من ظهورهم ذريتهم واشهدهم علىانفسهم الست بربكم قالوابل شهدنا ان تقولوا يوم القيمة اناكنا عن هذاغفلين

yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) tak tahu apa-apa tentang hal itu.”

[27] Imam santoso, Psikoproblem (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)

[28] Imam Santoso, op. Cit, hlm. 1

[29] Sebagaimana firman Allah dalam surat Yunus (10): 57

يايهاالناس قدجاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لمافىالصدور وهدى ورحمة للمؤ منين

yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuhan bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bag orang-orang yang beriman.” Lihat juga QS. Al-Isra’ (17): 9 & 82, QS. Fushshilat (41): 44, QS. Al-Jatsiyah (45): 20

[30] Muhammad ‘Utsman Najati, op. Cit, hlm. 289

[31] Zakiah Daradjat, Psikoterapi Islami,(Jakarta: Bulan Bintang, 2002), hlm. 25

[32] Yang selanjutnya oleh penyusun mengangkat shalat sebagai media terapi dalam mengatasi permasalahan psikologis sehari-hari manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah (2): 45 & 153

َواسْتَعِيْنوا با لصبر َوالصلوةِ وانها لكبيرة الا عل الخشعينَ

يآايهاالذين امنوااستعينو ا با لصبر والصلوة ان الله مع الصبرين

yang artinya: “dan mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat, dan sesungguhnya yang demikian itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” “wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar .

QS. al-Mu’minun (23): 1-2

قد افلح المؤ منون * الذين هم في صلو تهم خا شعون

yang artinya: “ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.”

[33] Zakiah Daradjat: op. Cit, hlm. 141

[34] Casmini, “Keistimewaan Shalat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama”,dalam Jurnal Hisbah Vol.1 Nomor 1, ( Yogyakarta: Jurusan BPI Fakultas Dakwah IAIN SUKA Yogyakarta, 2002), hlm. 88

[35] Dalam hal ini Allah menggunakan term aqaama-yuqiimu yang berarti mendirikan bukan term ‘amila-ya’malu yang berarti melaksanakan. Dengan menggunakan kata mendirikan diharapkan shalat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Al-‘Ankabut (29): 45

اتل مااوحي اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر والله يعلم ما تصنعو نَ

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Qur’an dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Menurut al-Imam Ibnu Katsir (Tafsir Ibn Katsir I: 42) dalam tafsirnya diwaktu menerangkan arti mendirikan shalat dengan mengemukakan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in. berkata Ibnu Abrar r.a.” mendirikan shalat ialah mengerjakan segala fardhu-fardhunya (rukun-rukunnya).” Diterangkan oleh adl-Dlahhak bahwa ibn Abbas r.a. berkata: “mendirikan shalat ialah menyempurnakan ruku’, sujud, tilawah, (bacaan), khusyu’ dan menghadapi shalat dengan sesempurna-sempurnanya. Kata Qatadah mendirikan shalat ialah tetap memelihara waktu-waktunya, wudlunya, ruku’nya dan sujudnya.

Menurut Al-Qurtubiy (sebagaimana yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 159) aqimu bukan terambil dari kata qama yang berarti “berdiri” tetapi kata itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah tersebut berarti “ melaksanakannya dengan baik, khusyu’ dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya.”

[36] HR. al-Bukhari, dikutip dari Misa Abdu , op. Cit, hlm. 50

[37] Misa Abdu, op. Cit, hlm. vi

[38] Zakiah Daradjat, Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, (Bandung: Rosdakarya Offset, 1990), hlm.7

[39] Latipun, op. Cit, hlm. 4

[40] Gerald Corey, op. Cit. hlm. 7

[41] Ibid. hlm.7

[42] Dikutip dan dirangkum dari Gerald Corey, op. Cit. hlm. 7-9 & 359-361

[43] M. ‘Utsman Najati, al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Terj: Ahmad Rofi’i Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 287

[44] Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 96

[45] syeh Mustafa Masyhur, Berjumpa Allah Lewat Shalat, Perj: Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.18

[46] Zakiah Daradjat, op.Cit, hlm. 21

[47] al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 7, 18, 171, 231 lihat juga QS. Al-Ma’arij(70): 19-22

ان الانسا ن خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير منوعاً

Artinya: “ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.”

Q. S. al’Ankabut (29): 45

اتل مااوحي اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر والله يعلم ما تصنعو ن

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

[48] Taliziduhu Ndraha, Disain Riset dan Teknik Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 22

[49] Surahman Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 258

[50] Sutrisno Hadi, Metodologi Risearch (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hlm. 42

[51] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 200), hlm. 163 . Barelson mendefinisikan sebagaimana yang dikutip oleh Soejono dalam Metodologi Penelitian, kajian isi sebagai teknik penelitian bertujuan untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi.

[52] Waryono Abdul Ghofur, “Model Penelitian Pustaka” dalam semiloka Mencari Arah dan Model Penelitian Jurusan BPI, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm. 10

Sponsor

Pengikut