(014) PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEJAK BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55 TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu.

Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas, memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 55 tahun 1993).

Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920 nomor 574).

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :

(1) Kepentingan bangsa dan Negara;

(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan

(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).

Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4) huruf b).

Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15 tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.

Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.

Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi[1] (Pasal 5(1)).

Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu: (1) dilakukan oleh pemerintah; (2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.

Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal 23).

Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 24).

Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.

Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut dilaksanakan dalam praktek.

Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten Sleman sebagai lokasi penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman bahwa di Kabupaten Sleman telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman."

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?

c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.

c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria.

2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

E. Tinjauan Pustaka

Tanah merupakan modal dasar pembangunan.

"Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan".[2]

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik untuk kepentingan unum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk diletakkan pembangunan itu.

Kini pembangunan terus meningkat dan persediaan tanahpun semakin sulit (terbatas).

Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan.

Kondisi seperti ini diperlukan upaya dan pengaturan yang bijaksana guna menghindari konflik-konflik yang lebih meresahkan masyarakat banyak.

Agar kepentingan umun tidak terhambat dalam arti dapat dilaksanakan dan kepentingan perorangan pun tidak diabaikan maka diperlukan adanya musyawarah antara masing-masing pihak untuk melaksanakan kepentingan umum.

Pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan jika ada tanah yang telah tersedia.

Untuk itu perlu melakukan pengadaan tanah (penganbilan) tanah hak masyarakat.

Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini sudah dilakukan sejak dahulu (zaman Hindia Belanda) yang dikenal dengan Onteigenings Ordonnantie (Stb 1920 nomor 574) dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Bijblad nomor 11372 yo 12746 mengatur mengenai aparat pembebasan dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan.

Tetapi peraturan warisan Hindia Belanda tersebut telah dicabut masing-masing dengan UU no 20/1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya dan Permendagri nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

Sejak berlakunya undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disebut UUPA, memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan pembebasan (pengadaan) tanah atau pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum.

Dalam Pasal 18 UUPA menentukan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan Pasal 18 UUPA ini dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. Di dalam Pasal 1 menentukan bahwa :

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat nencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan kepentingan umum pencabutan hak-hak atas tanah dapat dilakukan tetapi pemberian ganti kerugian juga harus diberikan kepada bekas pemilik tanah.

Selanjutnya Sudargo Gautama mengatakan bahwa :

Pencabutan hak-hak atas tanah dimungkinkan tetapi ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi terlebih dahulu.

Salah satu syarat yang terpenting adalah bahwa perlu diadakan penggantian kerugian.[3]

Undang-undang nomor 20 tahun 1961 ini mengatur dua hal yaitu:

1. Mengenai kepentingan umum

2. Mengenai pencabutan hak atas tanah.

Kegiatan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum selalu mendesak, maka pengadaan/pengambilan tanah hak masyarakat ini harus dilakukan guna pembangunan kepentingan umum.

Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa :

Kepentingan pembangunan yang dengan memanfaatkan tanah-tanah hak perseorangan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara keseluruhan dalam hal ini kepentingan pembangunan itu ditujukan untuk mewujudkan kepentingan umun.[4]

Kepentingan umum sering dipermasalahkan di masa lalu karena hal itu dapat diperalat oleh pihak tertentu untuk kepentingan yang bukan termasuk kepentingan umum.

Ini disebabkan karena rumusan pengertian kepentingan umum yang diatur dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 itu terlalu luas. Seperti dalam Pasal 1 memberi pengertian kepentingan umum yaitu :

1. Kepentingan bangsa dan negara

2. Kepentingan bersana dari rakyat

3. Kepentingan pembangunan.

Pengertian ini tanpa ada batas yang jelas dan terperinci dengan demikian kepentingan umum dapat ditafsir secara lain.

Dalam penjelasan umum angka 4 huruf b pun dijelaskan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta, asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum.

Inpres nomor 9 Tahun 1973 serta lampirannya dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) memberikan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan makna kepentingan umum secara luas dan menanbah daftar bidang kegiatan yang bersifat kepentingan umum, tetapi masih dapat memberi peluang untuk dapat diinterpretasikan secara lain lagi.

Kemudian dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. Ketentuan ini pun tidak memberikan suatu pengertian kepentingan umum secara jelas tetapi hanya secara luas, bahkan Permendagri ini selain digunakan untuk pengadaan tanah bagi kepentingan pemerintah, juga dapat digunakan oleh pihak swasta berdasarkan Permendagri nomor 2 tahun 1976.

Sejalan dengan itu proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak selamanya berjalan lancar, karena pemberian ganti kerugian kadang-kadang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Lebih lanjut menurut Boedi Harsono, bahwa :

Mengenai besarnya ganti kerugian yang harus ditetapkan atas dasar persetujuan bersama, ada suatu azas yang bersifat universal, yaitu, bahwa dengan penyerahan tanahnya bekas yang empunya tanah kedudukan ekonomi dan sosial tidak boleh menjadi mundur.[5]

kebutuhan akan tanah pun terus meningkat, padahal persediaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan semakin terbatas.

Oleh karena terbatasnya persediaan tanah dan banyak hambatan yang dialami dalam proses perolehan tanah yang telah dihaki oleh masyarakat untuk kepentingan umum, pemerintah terus berupaya menyempurnakan perangkat peraturan perundang-undangan untuk dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah.

Pada tanggal 17 Juni 1993 telah dikeluarkan Keppres nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Keppres tersebut mengatur mengenai hal-hal pokok yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, baik mengenai pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun bentuk dan cara penetapan besarnya ganti kerugian.

Dalam Keppres tersebut kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum ”dibatasi”[6] pada tiga kriteria atau unsur yaitu:

1. Pembangunan harus dilakukan oleh Pemerintah.

2. Pembangunan harus dimiliki oleh Pemerintah.

3. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah (Pasal 9). Ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan diberikan juga untuk :

1. Hak atas tanah.

2. Bangunan.

3. Tanaman.

4. Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Demikian juga ganti kerugian disebutkan dalam pasal 13 dapat berupa :

a. Uang.

b. Tanah pengganti.

c. Pemukiman kembali.

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian a, b, dan c, dan

e. atau bentuk lain yang disepakati para pihak.

Selain itu dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 6 ayat (1), dan Panitia Pengadaan tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II (Pasal 6 ayat (2))

F. Batasan Istilah

1. Pengadaan Tanah.

Istilah pengadaan tanah berarti mengadakan atau menyediakan tanah. Dalam pasal 1 ayat (1), Keppres nomor 55 tahun 1993 menentukan bahwa : yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

2. Pembangunan.

Yang dimaksud dengan pembangunan adalah proses perubahan atau kegiatan membangun dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik.

3. Kepentingan Umum.

Pengertian kepentingan umum sebagaimana tersebut dalam Keppres nomor 55 tahun 1993 pasal 1 ayat (3) bahwa : yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan tiga kriteria kepentingan umum yaitu kegiatan pembangunan yang, 1. dilakukan oleh pemerintah, 2. dimiliki oleh pemerintah, dan 3. tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Dengan pengertian/batasan istilah tersebut di atas telah menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum adalah kegiatan mengadakan/menyediakan tanah untuk membangun kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

G. Cara Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala-gejala lainya.”[7]

Untuk mengetahui tentang gejala di lapangan dengan didasari judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian penyusun menggunakan metode kualitatif , Soekanto (dengan mengutip W.I. Thomas dan F. Znaniecki) :

“Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”.[8]

1. Lokasi Penelitian dan Responden.

a. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Pakem , Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Dua Kecamatan tersebut dijadikan satu lokasi/proyek yang mana pada lokasi tersebut terdapat/diadakan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum dimaksud. Pada dua Kecamatan itu hanya dijadikan satu lokasi karena lokasi yang terkena kegiatan pembangunan sarana kepentingan umum dimaksud merupakan satu kesatuan yang terletak pada batas wilayah dua Kecamatan tersebut.

b. Responden.

Responden dalan penelitian ini adalah para pemilik tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jumlah responden yang diambil sebagai sampel penelitian adalah 23 orang yang terdiri dari Kecamatan Ngaglik 20 orang, Kecamatan Pakem 3 orang. Karena jumlah responden relatif sedikit maka diambil semuanya sebagai sampel.

Selain itu untuk melengkapi data responden diperlukan pula informasi dari nara sumber yaitu: Panitia Pengadaan Tanah khususnya : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman. Camat/Kepala Wilayah dari Kecamatan letak lokasi sampel.

Kepala Desa/Kelurahan dari Desa/Kelurahan letak lokasi sampel.

Kepala Dinas/Instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

2. Alat Pengumpulan Data.

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data. Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, sedangkan data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, hasil-hasil penelitian terdahulu, surat-surat dan atau warkah-warkah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.

a. Data Primer :

Untuk memperoleh data, dilakukan dengan mempergunakan alat sebagai berikut :

1. Kuesioner yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka dan tertutup atau kombinasi keduanya, yang ditujukan kepada responden.

2. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab/wawancara dengan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

b. Data Sekunder :

Berupa arsip dan warkah-warkah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman dengan Studi Dokumen.

3. Analisis Data.

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif berdasarkan metode berpikir dedukatif dan induktif. Metode dedukatif ialah suatu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan metode induktif ialah suatu cara berpikir yang diawali dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum.


[1] Maria SW. Sumardjono, Tinjauan Yuridis Keppres No. 55/1993 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan BPN, Jakarta, 1994, hal. 2

[2] Pertanahan Dalam Pembangunan Indonesia, Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1982, hal. 165

[3] Sudargo Gautana, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 120-121.

[4] Maria S.W. Sumardjono, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan, Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, hal. 1.

[5] Boedi Harsono, ukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid 1, Djambatan, 1994, hal. 262.

[6] Maria S.W. Sumardjono, Anatomi Keppres No. 55 Tahun 1993, SKH Kompas, 24 Juli 1993, Hal. 4

[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10

[8] Ibid, hal. 250


dapatkan file lengkapnya

klik disini

Sponsor

Pengikut