(005) PESAN-PESAN DAKWAH DALAM NOVEL KASIDAH LERENG BUKIT KARYA ACHMAD MUNIF


PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul

1. Pesan-Pesan Dakwah

Pesan-pesan dakwah adalah pernyataan-pernyataan yang terdapat dan bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah atau sumber lain yang merupakan interpretasi dari kedua sumber tersebut yang berupa ajaran Islam.[1]

Dalam konteks penelitian ini pesan-pesan dakwah yang dimaksud adalah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif mengandung ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang bertema keimanan, hukum Islam dan akhlak yang bertujuan amar ma’ruf nahi munkar

2. Novel Kasidah Lereng Bukit

Novel adalah salah satu bentuk karya sastra, lebih luas dari cerpen atau cerita pendek lebih sempit dari roman. Karangan ini menceritakan peristiwa tertentu dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Keluarbiasaannya terletak pada konflik, pertikaian yang meninggalkan pergolakan jiwa tokoh-tokohnya, sehingga tidak jarang mampu mengubah jalan hidup dari tokoh-tokoh dalam novel tersebut.[2]

Novel “Kasidah Lereng Bukit” karya Achmad Munif berarti yang ada, yang terdapat atau yang muncul dalam novel yang berjudul "Kasidah Lereng Bukit" yang ditulis oleh sastrawan Islam yang bernama Achmad Munif.

Penegasan istilah dimuka dapat merumuskan maksud judul secara keseluruhan yaitu penelitian terhadap novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif yang di dalamnya tertuang pesan-pesan dakwah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang dibatasi pada tema keimanan dan akhlak yang bertujuan amar ma’ruf nahi munkar.

B. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama moral, agama yang mementingkan isi atau kualitas seseorang bukan penampilan saja serta membentuk jiwa manusia dengan nilai-nilai moral, bukan kerendahan. Salah satu nilai moral yang di ajarkan Islam ialah berdakwah dijalan Allah dengan bijaksana serta dengan ajaran yang baik.[3] Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:

أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هي أحسن, إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين.

Artinya; Serulah kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan nasehat baik dan bertukar pikiran dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan dialah yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. [4]

Dakwah merupakan konsep yang sepenuhnya mengandung pengertian menyeru kepada yang baik, yaitu baik menurut Islam. Pengertian dakwah sebagaimana dipahami dalam surat an-Nahl ayat 125 mempunyai makna yang luas dan mendalam, begitu juga pelbagai definisi yang telah dibaca tentang pengertian-pengertian dakwah. Jelas bahwa dakwah adalah tugas agama yang luhur dan mulia karena merupakan suatu upaya dan usaha merubah manusia dari suatu kondisi yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik.[5]

Kerja dakwah adalah kerja menggarami kehidupan manusia dengan nilai-nilai iman dan taqwa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kerja ini tidak akan pernah selesai selama kehidupan dunia masih berlangsung, selama itu umat berkewajiban menyampaikan pesan-pesan kenabian dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun coraknya. Isi pesan dakwah pada hakekatnya merupakan tuntunan abadi manusia sepanjang masa.[6]

Di tengah pembangunan masa kini yang banyak membawa perkembangan baru dalam bidang agama, sosial, sains dan teknologi akan membawa pengaruh semakin berkembangnya sifat-sifat konsumerisme, materialisme beserta pendangkalan rohani dan moral, dakwah senantiasa dituntut untuk terus berupaya merubah suatu kondisi negatif ke kondisi yang positif atau perubahan dari kondisi yang sudah positif menuju kondisi yang lebih positif lagi, tentu saja dengan penuh hikmah dan mau’idhoh hasanah.

Dalam konsep Islam, setiap muslim sesungguhnya adalah juru dakwah yang mengemban tugas untuk menjadi teladan moral ditengah masyarakat.[7] Tugas dakwah yang demikian berat dan luhur itu mencakup pada dua aspek yaitu Amar makruf (mengajak kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemunkaran). Jika seluruh muslim menyadari hal ini selayaknya krisis moral yang merebak dikalangan masyarakat sedikit demi sedikit akan tereliminasi.

Pesan-pesan yang disampaikan da’i kepada sasaran dakwah (mad’u) dapat disebarkan melalui media. Pada masa permulaan Islam, Rasulullah dan Sahabatnya menggunakan media oral dan kontak langsung.[8] Dengan kemajuan sains dan teknologi yang diperoleh pada saat ini, pesan-pesan dakwah yang disampaikan lewat media radio, televisi, film, surat kabar, teater, novel bahkan melalui jaringan internet. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 4:

وما أرسلنا من رسول الا بلسان قومه ليبين لهم .

Artinya: "Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka". [9]

Media tulis merupakan media yang tetap dibutuhkan pada saat ini dan masa yang akan datang, melalui media tulis da’i dapat menyebarkan pesan keagamaan dan melaksanakan islah atau perbaikan serta amar ma’ruf dan nahi munkar.

Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis.[10] Hubungannya dengan dakwah sastra dapat dijadikan media dakwah secara tertulis. Sastra disamping sebagai alat penyebaran ideologi, sastra juga dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya.[11] Pada akhirnya sastra yang baik adalah sastra yang religius.[12] Oleh karena itu novel sebagai dakwah Islam tidak hanya mengantarkan para pembaca kepada pemahaman yang terbatas pada bentuk ekspresi keagamaan yang formal yang berbau verbalisme saja, akan tetapi juga meliputi keseluruhan sikap dan upaya manusia mempertanyakan diri dan hakekat dirinya. Dengan demikian novel sebagai karya sastra merupakan media dakwah yang relevan untuk saat ini dimana manusia mulai banyak yang terkikis nilai-nilai kemanusiaan dan melupakan tuhannya.

Berbicara masalah dakwah Islam Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Konteks Berteologi di Indonesia mengatakan bahwa dakwah dalam Islam juga memajukan pentingnya informasi bagi kaum Muslimin. Setiap kaum Muslimin dan Muslimat berkewajiban menyampaikan informasi yang benar dan akurat, seperti sabda Nabi Saw (ballighuu ‘anni Walau aayah) sampaikan walaupun hanya satu ayat. Dakwah sebagai sarana untuk penyebaran informasi kebenaran tentu saja tidak terbatas pada medium lisan, tetapi juga medium tulisan dan medium-medium informasi lainnya.[13]

Medium tulisan merupakan salah satu metode dakwah yang sangat efisien di zaman sekarang ini, sehingga umat Islam tentunya harus mampu berdakwah lewat surat kabar, majalah, buku, jurnal, sastra dan lain-lain.

Keistimewaan dakwah bil-Qolam (media cetak, buku, jurnal dan sastra) adalah obyek dakwah dan cakupannya lebih banyak dan luas, karena pesan-pesan dakwah dan informasi Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh ratusan, ribuan bahkan ratusan ribu pembaca dalam waktu yang serempak dan bersamaan. Dakwah Bil-Qolam juga dapat mempengaruhi orang secara kuat.[14]

Suatu karya sastra tidak terlepas dari penciptanya dan pencipta (pengarang) karya sastra akan dipengaruhi oleh struktur sosial dimana ia berada.

Keberadaan suatu novel tidak bisa lepas dari latar belakang yang dimiliki pengarang menyangkut pendidikan, pengetahuan, pengalaman pribadi, agama dan lain-lain sehingga suatu karya sastra yang dihasilkannya memiliki khas tersendiri Achmad Munif mampu dengan akrab menyapa pembaca melalui tulisan-tulisannya, dalam karyanya penulis mampu mempermainkan emosi, menarik pembaca melalui tokoh cerita.

Kelebihan Achmad Munif mampu mengangkat realitas yang ada disekitarnya tanpa berpresensi menganggap diri sendiri sebagai “yang paling benar”. Realita kehidupan dalam novel “Kasidah Lereng Bukit” diangkat apa adanya, dibiarkan mengalir dengan segala pernik kehidupan dan watak manusia yang dilingkupi. Pertarungan antara nilai-nilai baik dan buruk, bermoral dan amoral, idealis dan pragmatis dianggap sebagai sebuah kenyataan, seperti dalam novel “ Kasidah Lereng Bukit”. Sentuhan kehidupan keluarga dan masyarakat digambarkan secara menarik melalui tokoh Pak Hadhori beserta keluarga dan Gus Mu’ali beserta keluarga.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan-permasalahan yang berguna sebagai pijakan penyusunan skripsi ini. Adapun perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Apa pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif.
  2. Bagaimana pesan-pesan dakwah disampaikan melalui integrasi unsur-unsur intrinsik cerita rekaan novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif.

2. Untuk mengetahui penyampaian pesan-pesan dakwah melalui unsur intrinsik cerita rekaan dalam novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif.


E. Kegunaan Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan informasi yang berminat mengadakan penelitian tentang pesan-pesan dakwah pada karya sastra yang berbentuk novel

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan keilmuan bagi pengembangan dakwah, terutama melalui novel dimasa yang akan mendatang.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah perpustakaan dakwah Islamiyah.

F. Kerangka Teoritik

Dalam penulisan ini kerangka teori yang akan dijadikan acuan meliputi:

1. Pesan-Pesan Dakwah

a. Pengertian Pesan

Menurut WJS. Purwadarminta, pesan adalah: pesan, suruhan (perintah, nasehat, permintaan, amanat) yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.[15] Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendi bahwa massage yaitu pesan yang merupkan seperangkat lambang bermakna yang dilambangkan oleh komunikator.[16] Pesan-pesan komunikator disampaikan melalui simbol-simbol yang bermakna kepada penerima pesan.

Menurut AW. Wijaya bahwa pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan seharusnya mempunyai inti (thema) sebagai pengarah di dalam usaha mencapai perubahan sikap dan tingkah laku komunikan.[17] Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar, namun yang perlu diperhatikan dan diarahkan adalah tujuan akhir dari proses komunikasi.

Pada hakekatnya, pesan-pesan yang disampaikan dalam proses dakwah bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Statement ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Toto Tasmara bahwa pesan dakwah adalah semua pernyataan yang bersumberkan al-Qur’an dan as-Sunnah baik tertulis atau lisan dengan pesan-pesan (risalah).[18]

b. Unsur-Unsur Pesan

Menurut Onong Uchjana Effendi, bahwa pesan komunikasi terdiri atas isi pesan (The Content of Massage) dan lambang (simbol).[19] Maksud dari pada isi pesan di sini adalah materi-materi yang disampaikan oleh komunikator (da’i) kepada masyarakat (komunikan) yang berupa bahasa. Isi pesan dalam skripsi ini tentu saja berupa pernyataan tertulis sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.

c. Pesan-pesan dakwah

Pesan-pesan dakwah adalah segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam yang ada dalam kitabullah maupun dalam sunnah Rasul-Nya. Pada dasarnya isi pesan dakwah adalah materi dakwah yang berisi ajaran Islam. Ajaran-ajaran Islam tersebut dibagi menjadi tiga yaitu: masalah keimanan, masalah hukum Islam dan masalah akhlak.

1) Masalah Keimanan (aqidah)

Aqidah dalam Islam beritikad batiniah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iman. Di bidang aqidah ini pembahasannya bukan saja tertuju pada masalah-masalah yang wajib diimani, akan tetapi materi dakwah juga meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya misalnya syirik atau menyekutukan Tuhan, ingkar dengan adanya Tuhan dan sebagainya. Dalam masalah aqidah ini antara lain penulis akan membahas mengenai persoalan sosial keagamaan yang merupakan setting sosiologis dari novel “Kasidah Lereng Bukit” antara lain tentang larangan percaya kepada dukun

Salah satu perbuatan yang membawa manusia syirik atau menyekutukan Allah adalah percaya kepada dukun. Allah SWT telah memperingatkan hambanya bahwa mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya adalah dosa yang paling besar walaupun secara kebetulan benar terjadi karena hal-hal tersebut adalah khusus ilmu Allah saja.[20]

2) Masalah Hukum Islam (syari'at)

Hukum-hukum ini merupakan peraturan-peraturan atau sistem yang disyari'atkan Allah SWT untuk umat manusia, baik secara terperinci maupun pokok-pokoknya saja.[21] Hukum-hukum ini dalam Islam meliputi ibadah, Hukum keluarga atau al-Ahwalusyakhsyiyah, hukum ekonomi atau al-Mu'amalatul maaliyah, hukum pidana dan hukum ketatanegaraan.[22] Dalam novel "Kasidah Lereng Bukit" masalah hukum Islam meliputi: Shalat

Shalat adalah ibadah yang ditetapkan Tuhan sebagai pengejawantahan atau aplikasi dari keyakinan. Karena itu shalat telah menjadi kebutuhan bukannya beban atau kewajiban. Manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran kepada Allah terutama pada saat cemas ketika berharap bukan bersandar pada makhluk karena bersandar kepada makhluk tidak akan membuahkan hasil yang maksimal.[23]

3) Masalah Akhlak

Masalah akhlak dalam aktifitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan keimanan dan keislaman, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurnaan keimanan dan keislaman. Sebab Rasulullah saw sendiri pernah bersabda yang artinya: “aku (Muhammad) diutus oleh Allah di dunia ini hanyalah untuk menyempurnakan akhlak”. (Hadits sohih) aplikasi akhlak dalam novel "Kasidah Lereng Bukit" meliputi :

1) Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

Keluarga merupakan amanah dan rahmat dari Allah yang diberikan kepada makhluknya. Akan tetapi menjaga keharmonisan dalam bahtera rumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani. Jika melihat perjalanan rumah tangga Rasulullah SAW dalam membina rumah tangga ada tiga hal yang dilakukan Rasulullah yaitu kesetiaan, kesabaran dan keadilan Rasulullah SAW.[24] Tiga hal itulah yang paling dominan dilakukan Rasulullah sebagai acuan keberhasilannya dalam mengarungi rumah tangga.

2) Mengucap Shalawat dan Salam

Shalawat dan salam disamping bukti penghormatan umat kepada Nabi juga untuk kebaikan umat itu sendiri. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada nabi, hal ini dianjurkan bukan karena Nabi membutuhkannya. Sebab tanpa do'a dari siapapun beliau pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia disisi Allah SWT

3) Zikir

Zikir adalah mengingat, yaitu mengingat Allah. Menjadikan Allah sebagai raja di hatinya.[25] Dalam kondisi dan situasi bagaimanapun manusia mengingat Tuhannya bukan hanya ketika shalat saja akan tetapi dimanapun ia berada ia selalu mengingat Tuhannya karena orang yang selalu berzikir di kala melakukan aktivitas, akan menimbulkan ketenangan dan keterikatan batin yang selalu bersandarkan pada kuasa Tuhannya. Keterlibatan Allah dijadikan sebagai penolong dan pelindung. Tuhan adalah satu dan manusia yang diciptakan terpadu dan menyatu baik dalam pikir maupun dalam zikir serta perilaku sehari-hari.[26]

4) Tobat

Orang yang taubat kepada Allah adalah orang yang kembali kepada jalan Allah. Kembali dari sifat tercela menuju sifat-sifat terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju perbuatan yang diredhai-Nya, kembali dari yang bertentangan menuju yang menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya dan kembali taat setelah menentang-Nya.[27]

5) Do'a dan Ikhtiar atau usaha

Do'a merupakan hal yang selalu dipanjatkan makhluk terhadap Tuhannya karena do'a adalah sarana untuk meraih suatu kebutuhan.[28] Akan tetapi dalam meraih suatu yang diinginkan bukan hanya sebatas do'a, tanpa ketabahan dalam usaha, belum menjadi jaminan terpenuhinya harapan oleh karena itu do'a dan usaha merupakan dua jalan yang bergandengan atau seiring untuk dijalankan

6) Tawadhu'

Tawadhu' adalah sifat rendah hati lawan dari sombong dan takabur.[29] Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, ia sadar bahwa apapun yang ia miliki di dunia ini adalah milik Allah, sementara orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan ia tidak sadar apa yang ia miliki merupakan titipan dari Allah dan suatu saat akan diminta pertanggung jawaban dari apa yang ia miliki.

7) Prasangka

Prasangka baik merupakan ajaran moral Islam yaitu meniadakan prasangka buruk terhadap siapapun.[30]

8) Menuntut Ilmu

Ilmu pengetahuan merupakan makanan rohani bagi manusia, disamping memikirkan keperluan jasmani, sebaiknya juga harus berpikir tentang makanan rohani dan spiritualnya.[31]Islam mewajibkan kepada umatnya baik pria maupun wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan. Nabi bersabda "menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim"

2. Tinjauan Novel Menurut Teori Sastra

a) Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa latin “novelus” yang diturunkan pula dari kata “novies” yang berarti baru. Di katakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis sastra yang lain seperti puisi, drama dan lain-lain, maka jenis novel ini muncul kemudian.[32]

Dalam buku “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English” sebagaimana dikutip oleh Henry Guntur Tarigan dalam buku Prinsip-prinsip Dasar Sastra, dapat kita peroleh keterangan bahwa novel adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.[33] Meskipun novel merupakan karya sastra yang imajinantif, rekaan atau khayalan harus berdasarkan kenyataan. Dalam cerita rekaan ini tentu saja bukan kenyataan yang dilihat saban hari. Jika sebuah karangan mengangkat begitu saja kenyataan sehari-hari atau pengalaman atau yang dialami, ia bukan sebuah cerita rekaan atau fiksi, namun bisa dikatakan sebuah laporan jurnalistik, deskriptif atau eksposisi ilmiah atau semacam fotografi. Rasa seni atau sense of art dari sang pengarang yang sebenarnya membuat sebuah kenyataan menjadi kisah yang menarik dalam fiksi.[34]

"Kenyataan" yang dilihat sehari menjadi berbeda dengan "kenyataan" yang ada dalam fiksi. Fiksi adalah sebuah ide atau gagasan, sementara kenyataan empiris adalah fakta fisik. "Kenyataan fungsional" tak dapat mengacu pada kenyataan empiris atau faktual. Nama, peristiwa, atau sebuah tempat kejadian dalam fiksi tidak dapat dianggap atau dijustifikasi dengan nama dan peristiwa di suatu tempat walau sama sekali serupa.[35]

b) Sastra Dalam Perspektif Islam

Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam bidang sastra terutama dalam sastra bahasa dan syair. Ditengah masyarakat seperti itulah Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk mengembangkan dakwah Islam. Oleh sebab itu Allah menurunkan Mukjizat kepada Nabi Muhammad sesuai dengan keadaan masyarakat yang akan dihadapi pada masa itu. Diantara Mukjizat yang terpenting adalah al-Qur’an. Jika dipandang dari sudut kesusastraan Arab al-Qur’an sangat indah gaya bahasanya.[36]

Nilai sastra yang dikandung al-Qur’an tidak lain dari pembawa kesempurnaannya. Tiap-tiap yang sempurna mengandung tiga nilai yaitu: benar, baik dan bagus, al-Qur’an adalah:

1) Benar sesuai dengan setiap perkara yang diberitakan-Nya dan petunjuk-Nya, suruhan dan larangan-Nya dengan fitrah manusia

2) Baik ternyata membawa manusia pada akhlak yang tinggi.

3) Bagus pada nilai sastranya.[37]

Nilai sastra yang terkandung dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an telah membukakan pintu dan jalan bagi kesenian. Agama Islam tidak memandang sebelah mata terhadap keindahan. Keindahan merupakan faktor utama dalam kesenian. Dalam Islam keindahan dan kesenian adalah lambang dari mahabbah atau kecintaan Muslim kepada Allah SWT.[38]

Ekspresi simbolis dari karya-karya Muslim seperti kesenian, kesusasteraan dan hasil budaya, hanya pada dasarnya juga mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai sentral Islam melalui prinsip Tazkiyah, yaitu usaha rasional manusia beriman yang orientasi filosofinya adalah pusat perhatian masyarakat atau humanisme teosentris atau pusat perhatian manusia untuk selalu membersihkan diri atau meningkatkan kualitas rohaninya secara terus menerus, seperti sastrawan terkenal Tofik Ismail karya sastranya merupakan “Sajadah panjang yang diarahkan kekuburannya”. Ini berarti penciptaan karya seni merupakan ekspresi yang tujuannya kepada Tuhan. Demikian juga halnya dengan sastrawan Almarhum Ahmad Sadali, karya lukisnya dianggap perwujudan takbir, tahmid dan rasa syukurnya kepada Tuhan.[39]

Agama Islam memberikan batasan terhadap seni yang diperbolehkan dan yang dilarang atau diharamkan. Sesuatu yang diharamkan dalam Islam, pada hakekatnya disebutkan oleh salah satu dari lima unsur penyebab yaitu: merusak agama, merusak jiwa, merusak kehormatan, merusak harta benda dan merusak keturunan.

Jika ditinjau dari penyebab haramnya sesuatu, apakah kesenian itu termasuk hukumnya haram atau tidak. Para ahli hukum memberikan pendapat sebagai berikut:

H.M Toha Yahya Umar Mengatakan bahwa :

Hukum seni musik, tari dan suara dalam Islam adalah mubah (boleh) selama tidak disertai dengan hal-hal haram. Dan jika disertai dengan hal-hal yang haram maka hukumnya menjadi haram.”[40]

Menurut Imam Malik:

Bahwa bernyanyi dengan Ma’azif (alat-alat musik) tidak haram.[41]

Sedangkan Abdullah Bin Nuh mengatakan :

Islam memang ada yang menghukumi kesenian tertentu bersifat haram, kesenian itu diharamkan apabila seni suara dan seni musik terikat pada al-Malahi (membuat orang lupa kepada Allah), al-Khamer (minum alkohol), al-Qoinat (penyanyi cabul), dan seni rupa (gambar, patung) yang ada hubungannya dengan jiwa kemusyrikan dan penyembahan berhala.[42]

Sidi Gazalba memberikan kesimpulan tentang konsep kesenian dalam Islam yaitu:

1) Naluri asasi manusia yang mengarah kepada keselamatan dan kesenangan.

2) Islam diturunkan untuk menumbuh dan memberi petunjuk kepada manusia, bagaimana menunjukkan selamat di dunia dan di akherat.

3) Kesenian adalah jawaban dari fitrah manusia yang memerlukan kesenangan, karena itu kesenian halal hukumnya bahkan dalam perkara tertentu dianjurkan karena seni lahir dari sisi terdalam manusia dan didorong oleh naluri manusia atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.[43]

4) Seni wajib mengandung pesan moral sehingga kesenangan yang diusahakan tidak merusak keselamatan.

5) Seni tidak boleh melewati batas, ia mesti takluk kepada agama.[44]

Pada prinsipnya pendapat-pendapat tersebut mengatakan bahwa kesenian termasuk sastra diperbolehkan jika tidak bertentangan dengan agama Islam.

c) Novel dalam Karya Sastra

Setiap novel atau karya sastra mempunyai dua segi, pertama: segi Ekstrinsik (extrinsic) yaitu hal yang mempengaruhi cipta sastra dari luar kedua: segi Intrinsik (intrinsic) yaitu hal-hal yang membangun cipta dari dalam. yang termasuk segi ekstrinsik cipta sastra yakni faktor-faktor sosiologi, ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang turut berperan dalam penciptaannya. Unsur ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan informasi bagi cipta dan tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti dan pengaruhnya, walaupun penting unsur-unsur ekstrinsik itu tidak menjadi dasar eksistensi sebuah karya sastra.[45]

Eksistensi cipta terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya, menurut M. Saleh Sa'ad, unsur-unsur intrinsik cipta sastra yaitu: faktor dalam yang aktif berperan sehingga memungkinkan sebuah karangan menjadi cipta rasa.[46]

Unsur-unsur intrinsik cerita rekaan adalah tema, tokoh dan perwatakan, alur atau plot, latar, teknik penceritaan dan diksi.

1) Tema

Menurut Boen S.Oemarjati, tema adalah persoalan yang telah berhasil menduduki tempat khas dalam pemikiran pengarang, dalam tema tersirat tujuan cerita. M. Sa'ad mengatakan tema adalah suatu yang menjadi persoalan bagi pengarang, didalamnya terbayang pandangan hidup dan cita pengarang. Persoalan inilah yang dihidangkan pengarang, kadang-kadang sering juga dengan pemecahannya sekaligus.[47]

Menurut Stanton dan Kenny tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.[48]

Tema sebuah cipta sastra biasanya tersembunyi, tersirat dalam seluruh cerita dalam semua unsurnya. Pengarang menggunakan dialog, jalan pikiran serta perasaan tokoh-tokohnya, kejadian-kejadian dan latar cerita untuk menyarankan dan mempertegas tema. Pembaca baru dapat merasakan dan mengetahui tema dengan penafsiran kesan yang timbul setelah pembaca cerita itu seluruhnya. Tetapi ada pula pengarang yang terang-terang menyampaikan tema cerita.[49]

Tema terbagi menjadi dua yaitu: tema pokok dan anak tema, tema utama atau mayor tema yaitu tema yang penting dan dominan yang merasuki seluruh cerita. Dan anak tema, tema bawahan atau minor tema yang berfungsi sebagai penyokong dan menonjolkan tema utama, menghidupkan suasana cerita atau dapat juga dijadikan sebagai latar belakang cerita. Tema bawah biasanya lebih dari satu, sedangkan tema utama tidak mungkin lebih dari satu.[50]

Untuk menentukan tema pokok dan tema bawahan harus ditentukan dulu tokoh utama dan tokoh pembantu, kemudian mencari dan menentukan masalah mana yang paling penting dan kuat yang dihadapi tokoh utama. Masalah itulah yang dinamakan tema utama atau pokok tema sedang tema lainnya termasuk tema bawah atau anak tema.[51]

2) Tokoh dan Perwatakan

Tokoh cerita (character), menurut Abraham adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditampilkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.[52]

Istilah tokoh menunjukkan pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan penokohan dan karakteristik sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones mengatakan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.[53]

Dari segi peranan ada tokoh peran, tokoh pembantu dan tokoh tambahan. Tokoh utama mungkin saja lebih dari satu tetapi mempunyai peran yang tidak sama, yang satu lebih penting dari yang lainnya. Tokoh utama yang paling penting dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat.[54]

Dani N. Tado menggunakan istilah protagonis yaitu peran atau pemain yang pertama (utama) yang mendukung ide prinsipil dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana dan maksud tertentu. Antagonis berarti peran lawan peran kedua yang biasanya menentang dan berusaha menggagalkan rencana dan keinginan pemain utama. Ada lagi istilah trigonis yaitu pemain ketiga biasanya menjadi tokoh penengah antara pemain utama dan kedua.[55]

3) Alur atau Plot

Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung dalam sebuah cerita berdasarkan sebab akibat. Hukum sebab akibat atau kausal merupakan unsur penting dalam sebuah alur, karena tanpa hubungan ini jalinan peristiwa tidak bisa dinamakan alur.

Alur memiliki elemen-elemen sebagai berikut

a) Pengenalan

b) Timbulnya konflik

c) Konflik memuncak

d) Klimak atau puncak

e) Pemecahan soal.[56]

Dari segi kualitas alur ada dua macam yaitu alur erat dimana hubungan antar peristiwa-peristiwa saling padu dan kompak, saling mengait dan mempengaruhi. Dan alur longgar atau renggang dimana hubungan antar peristiwa tidak begitu padu dan tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok cerita .[57]

Dari segi urutan pengisahan alur maju atau alur progresif, yaitu cerita dibuka dari awal cerita dan ditutup akhir cerita. Dan alur mundur atau alur regresif dimana cerita bukan dari awal peristiwa tetapi dari akhir peristiwa. Ada juga alur gabungan yang ceritanya dimulai dari pertengahan peristiwa.[58]

Dari segi tegangan ada empat yaitu (a) alur menanjak atau klimaks, cerita dimulai dari cerita biasa dan kemudian makin menonjol atau tegang. (b) alur menurun atau anti klimaks, yang dimulai dengan peristiwa yang paling tegang kemudian mengendor dan diakhiri dengan peristiwa yang biasa saja. (c) alur primidal, puncak klimaks tidak terdapat di awal atau di akhir cerita tetapi pada pertengahan.[59]

4) Latar atau Setting

MJ. Murphy berpendapat bahwa latar atau setting adalah latar belakang para tokoh atau pelaku. Dalam berapa cerita latar diutamakan, sedangkan dalam berapa yang lainnya kurang diutamakan. Latar dapat dikatakan dengan tempat dan waktu dimana para tokoh hidup dan bergerak. Kedua-duanya mempengaruhi watak atau kepribadian, tingkah laku dan cara berpikir para tokoh.[60]

Menurut Jakub Sumardjo, latar atau setting adalah tempat bermain sebuah cerita. Setting disini bukan hanya terbatas pada pengertian geografis tetapi juga antropologis. Dikalangan masyarakat mana, zaman apa, dalam suasana apa cerita itu berlangsung adalah setting.[61]

Ada dua jenis latar yaitu:

a) Latar netral (Neutral Setting) yang tidak memiliki dan tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol dalam latar, sifat yang terdapat dalam sebuah latar tersebut lebih bersifat umum.

b) Latar tripikal yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik menyangkut unsur tempat, waktu maupun sosial.[62]

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Unsur tempat menunjukkan pada lokasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi.[63] Latar waktu yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.[64] Sedangkan latar sosial menunjukkan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan pada karya fiksi mencakup kebiasaan hidup, cara berfikir, bersikap dan lain-lain.[65]

5) Teknik Penceritaan

Sebelum menulis pengarang terlebih dahulu siapa yang menjadi pusat cerita, siapa yang menjadi subyeknya. Menentukan pusat cerita atau pusat pengisahan berarti menentukan siapakah pertalian atau relasi antara pengarang dengan ceritanya. Relasi inilah menurut Rene Wellek yang menjadi masalah pokok dari pusat pengisahan.[66]

Ditinjau dari pusat pengisahan ada tiga macam metode cerita yaitu:

a) Sudut pandang pengisahan orang ketiga “dia” pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang personal ketiga gaya “dia”, "ia", "mereka" narator adalah seorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita yang menyebutkan nama atau kata gantinya: ia, dia, mereka.[67]

b) Sudut pandang personal pertama: “aku” dalam pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang personal pertama, (first person point of view), “aku” jadi gaya “aku” narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam sebuah cerita. Ia adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya (self consciousness), mengisahkan peristiwa dan tindakan yang, diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan serta sikap terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.[68]

c) Sudut pandang campuran “aku” dan “dia” pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang ditulisnya. Semuanya tergantung dari kemauan dan kreativitas pengarang.[69]

6) Diksi atau Pilihan Kata

Diksi berhubungan erat dengan unsur-unsur intrinsik lainnya, seperti tema atau isi, tokoh dan perwatakan, latar dan teknik penceritaan. Diksi ditentukan oleh isi atau tema yang akan disampaikan, diksi juga dipengaruhi dan ditentukan oleh tokoh dan perwatakan serta latar atau tempat terjadinya cerita juga sangat dipengaruhi oleh diksi dan ragam bahasa yang dipakai dalam cerita. Sedangkan dalam teknik penceritaan diksi dipengaruhi oleh metode cerita yang dipilih oleh pengarang dalam menyusun cerita. Selain itu, diksi turut menjadikan cerita menjadi hidup dan menarik.

Diksi bukan hanya pilihan kata, tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Dipihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deret kata, namun unsur kelebihan itu hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra ingin menyampaikan sesuatu atau mendialogkan sesuatu, hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra untuk mengembangkan fungsi utamanya: fungsi komunikatif.[70] Hanya saja bahasa yang digunakan sastrawan atau pengarang adalah bahasa tulisan yang diapresiasikan melalui karya sastra.

Sastra adalah seni kata, jadi seberapapun pentingnya motif dan niat baik penulis, kesungguhannya menyiapkan dan menggeluti bahan tulisan, keinginannya untuk ikut berbicara masalah-masalah masyarakatnya, tetap tidak bisa menggantikan kewajiban utama penulis untuk memiliki daya dobrak artikulatif atau alat ucap dan memaksimalkan (penggunaan) bahasanya. Penulis yang baik harus terus berproses mengembangkan dirinya menjadi "tukang" yang semakin lihai mengartikulasikan hal-hal yang ingin ia ungkapkan melalui tindakan berbahasa (tulis). Di tangan penulis yang baik, bahasa menjadi alat ungkap yang luar biasa, alat ekspresi yang kuat, lentur dan indah.[71]

d) Novel Sebagai Media Dakwah

Tinjauan atas dasar sudut komunikasi, teks-teks karya sastra baik berupa puisi, cerita pendek atau novel, merupakan satu bentuk pesan komunikasi karya sastra, layaknya semua bentuk komunikasi mengalami sebuah bentuk penulisan (encoding), pemuatan dalam buku, majalah atau surat kabar (media) dan akhirnya akan dibaca oleh khalayak (decoding). “pernyataan manusia” dalam karya sastra juga memperlihatkan adanya keinginan pengarang (komunikator) guna menyampaikan sesuatu kepada pembacanya (komunikan).[72]

Dakwah merupakan suatu proses komunikasi. Di dalam penyampaian pesan-pesan keagamaan oleh subyek dakwah kepada

obyek dakwah sering memerlukan suatu media. Dan seorang da’i yang berkecimpung di dunia sastra, dalam hal ini sastra yang berbentuk novel, dapat menggunakan novel sebagai media dakwah. Pesan-pesan keagamaan yang di kemas dalam bentuk yang menarik dan menyentuh perasaan pembaca, akan membuat kesan yang mendalam dihati pembaca dan tanpa terasa pembaca akan dibawa oleh pengarang kepada ide-ide keagamaan yang dikehendakinya. Menurut Horatius, karya sastra bersifat dulce et utile: menyenangkan dan bermanfaat. Novel yang baik akan membekali pembaca dengan suatu yang bermanfaat bagi kehidupan pembaca selanjutnya.[73]

Menurut Radhar Panca Dahana bahwa sebuah karya sastra apapun bentuknya menumpahkan pusat perhatiannya pada manusia, apapapun gaya bahasa, apapun jenisnya pada dasrnya sastra mengandung pesan atau ajaran keagamaan (homo religious).

Cerita rekaan berbentuk novel, identik dengan menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat dimanapun manusia berada boleh berimajinasi karena lapangan seni islami adala semua wujud. Menurut M Quraish Shihab jika hal tersebut diindahkan, maka pada saat itu pula seni telah mengayunkan langkah berfungsi sebagai sarana dakwah islamiah.[74]

G. Metode Penelitian

  1. Penentuan Subyek dan obyek penelitian

Dalam menentukan metode penelitian tentu saja harus menyesuaikan dengan obyek yang akan diteliti begitu juga dengan subyek penelitian. Penulisan skripsi ini adalah studi analisis literatur, menurut Hawkes dalam analisis karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentukannya. Dengan demikian, makna keseluruhan akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa karya sastra adalah sebuah karya yang utuh.[75]

Dalam menentukan metode penelitian disesuaikan dengan obyek dan tujuan penelitian adapun penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah novel "Kasidah Lereng Bukit" karya Achmad Munif

Melihat penelitian yang bersifat kualitatif (menerangkan) serta tujuan penelitian ini secara khusus dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang pesan-pesan dakwah yang terkandung dalam obyek penelitian. Maka dalam penulisan ini penulis menggunakan metode analisis deskriptif analisis yakni menuturkan, menafsirkan dan menganalisis sumber yang ada.[76]

  1. Metode Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data, dalam penelitian ini penulis menggunakan teknis sebagai berikut:

a. Metode interview

Metode Interview adalah metode pengumpulan data dengan komunikasi langsung antara peneliti atau penyelidik dengan subyek[77], atau sebuah dialog dengan berkomunikasi langsung dengan subyek penelitian ini dengan penulis buku "Kasidah Lereng bukit" Achmad Munif untuk memperoleh informasi. Bentuk interview yang penulis gunakan adalah interview bebas terpimpin.

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.[78] Sedangkan untuk melengkapi data dalam skripsi ini penulis menggunakan literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah buku-buku, surat kabar, dan lain-lain. Data tersebut digunakan sebagai pendukung data pokok.

c. Metode Analisis Data

Untuk menganalisa data yang di kumpul, penulis menggunakan analisis isi (content analisis), yaitu metode yang dapat dipergunakan untuk menganalisa bentuk-bentuk komunikasi seperti surat kabar, buku, puisi, lagu, cerita langit, lukisan, pidato, surat, peraturan undang-undang, musik teater dan sebagainya.[79]

Eriyanto mengatakan dalam bukunya Analisis Wacana Pengantar Analisis Media Bahwa salah satu karakteristik analisis isi kuantitatif, mengikuti Barelson adalah teknik untuk menguraikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif komunikasi.[80]

Akan tetapi dalam menganalisis sebuah media, karena novel adalah merupakan sebuah media, maka Eriyanto mengatakan akan lebih lengkap jika dipadukan dengan analisis wacana, untuk melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi, bahwa analisis wacana dalam analisisnya lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif, analisis wacana lebih memperhitungkan pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori seperti analisis isi. Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi dan penafsiran peneliti.[81]

Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1) mengidentifikasi data penelitian tentang bentuk dan strukturnya

2) mendeskripsikan ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data

3) menganalisa ciri-ciri atau komponen-komponen pesan yang terkandung dalam setiap data

4) menyusun klasifikasi keseluruhan hasil dari analisa itu, sehingga mendapatkan deskripsi tentang isi dan kecenderungan pesan serta unsur-unsur intrinsik novel sebagai pesan dakwah.[82]


[1] Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hlm. 43.

[2] Suparmi, Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Gama Exacta, 1988), hlm.77.

[3] Dr. Abdullah Syihata, Dakwah Islamiyah, (Jakarta: CV. Rasindo, 1986), hlm. 16.

[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1979), hlm. 421.

[5] H. Nasruddin Harahap, CS (ed.) Dakwah Pembangunan, (Yogyakarta: DPD. Golkar TK. 1 , 1992), hlm. 2.

[6] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, !994), hlm. 45.

[7] Drs. Hamdan Daulay, M.Si, Dakwah ditengah Persoalan Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2001), hlm. 79.

[8] Abdullah Syihayta, op. cit. hlm. 31.

[9] Departemen Agama RI. op. cit, hlm. 93.

[10] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 11.

[11] Sapardi Djoko Damono, Simposium Nasional Sastra Indonesia dan Seresehan Kesenian 1984, dalam Horison No.1 Th. XIX Januari 1985, hlm. 30.

[12] Y.B. Mangun Wijaya, Sastra dan Religiusitas, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 11.

[13] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 90-91.

[14] Asep Syamsul M. Ramli, Jurnalistik Praktis, (Bandung: PT Angkasa Pura I Bandar Udara Adi Sucifto Yogyakarta, Remaja Rosda Karya Offiset, 1997), hlm. 90-91.

[15] WJS. Purwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka 1976), hlm. 745.

[16] Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1992). Hlm.18.

[17] AW. Wijaya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1986), hlm.14.

[18] Toto Tasmara, op. cit. hlm. 43.

[19] Onong Uchjana Effendi, op. cit, hlm. 20.

[20] Syeikh Mohammad Bin Jameel Zeno, (Jakarta: Darul Haq, 1994), hlm. 40.

[21] Op. cit. h. Yunahar Ilyas, hlm. 11.

[22] Ibid, hlm. 13.

[23] M. Quraish Shihab, op.cit, hlm. 162.

[24] Muhammad Utsman Al-Kusyif, Penyelesaian Problema Rumah Tangga Secara Islami, (Maktabatul Qur'an-Kairo : CV Pustaka Mantiq, 1992), hlm. 22.

[25] Jalaluddin Rahmad, Mukhtar Ganda Atmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 141.

[26] HM. Amin Syukur, M.A, Dzikir Fungsional, dalam Suara Merdeka, Th-No. XLII/319. hlm. 31.

[27] Drs. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2001), hlm. 57.

[28] M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 149.

[29] Drs, H. Yunahar Ilyas, op. cit, hlm. 123.

[30] Drs. A. Ilyas ismail, pintu-pintu kebaikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 4.

[31] Alwi Shihab, Memilih Bersama Rasulullah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1998), hlm. 13.

[32] Henri Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), hlm. 164.

[33] Ibid.

[34] Radhar Panca Dahana, Kebenaran atau Dusta dalam Sastra, (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm.59.

[35] Ibid,, hlm. 61.

[36] C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 43.

[37] Sidi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: bulan Bintang, 1978), hlm. 303.

[38] Israr, op. cit

[39] Kunto Wijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 229-230.

[40] C. Israr, op. cit, hlml. 92.

[41] Ibid

[42] Ibid, hlm. 93.

[43] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 385.

[44] C. Israr, op, cit hlm. 94

[45] Frans Mido, Cerita Rekaan Dan Seluk Beluknya, (NTT: Nusa Indah, 1994), hlm. 14.

[46] Ibid, hlm. 15.

[47] Ibid, hlm. 17.

[48] Burhan Nur Giantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995), hlm. 67.

[49] Op. cit, hlm. 18.

[50] Ibid, hlm. 19.

[51] Ibid.

[52] Burhan Nur Giantoro, op.cit. hlm. 165.

[53] Ibid.

[54] Frans Mido, op. cit, hlm. 37.

[55] Ibid.

[56] Jaka Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 49.

[57] Ibid., hlm. 47.

[58] Ibid., hlm. 48-49.

[59] Ibid,, hlm. 50.

[60] Frans. Mido, hlm. 51.

[61] Ibid., hlm 52.

[62] Ibid., hlm. 22.

[63] Burhan Nur Giyantoro, hlm. 227.

[64] Ibid,, hlm. 230.

[65] Ibid., hlm. 233.

[66] Frans Mido, hlm. 65.

[67] Burhan Nur Guiyantoro, hlm. 256.

[68] Ibid., hlm. 262.

[69] Ibid., 266.

[70] Burhan Nur Giyantoro, op.cit, hlm. 272.

[71] Rahmad H Cahyono, Penulis dan Bahasa, (Kompas: Minggu, 21 Maret 2004), hlm. 17.

[72] Ready Susanto, "Sastra Buat Komunikasi, atau Komunikasi Melalui Sastra. Jayakarta, Sabtu, 16 November 1991, Tahun IV. Nomor 1150, hlm.4. Kolom 49.

[73] Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rakaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), hlm. 15.

[74] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 398

[75] Rahmat Djoko Pardopo, Beberapa Teori Sastra, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1995), hlm. 108.

[76] Winarno Surakhman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung:Tarsito, 1980), hlm. 139.

[77] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1990), hlm. 36.

[78] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bina Usaha, 1989), hlm. 62.

[79] Jalaludin Rahmad, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1984), hlm. 89.

[80] Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Media, LkiS, 2001 hlm. 335. Dikutip dari Denis MC Quail, Mass Communication Theory: An latriduction, Third Edition, London, Sage Publication, 1995, Hlm. 276-277.

[81] Ibid,, hlm. 377. Dikutif dari Denis MC Quail mengkategorisasikan kedua metode tersebut sebagai Brelsonian dan Bathesian. Analisis isi kuantitatif terutama didasarkan pada Roland Barthes yang meletakkan dasar-dasar pemaknaan dan penafsiran teks..

[82] Yudiono KS, Tela’ah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), hlm. 14.


dapatkan file lengkapnya

klik disini

Sponsor

Pengikut