(033) keterlibatan kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menurut sejarahnya adalah kombinasi dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Kombinasi tarekat ini dirintis oleh Ahmad Khatib Ibn ‘Abd Al-Ghaffar, seorang ulama dari Sambas Kalimantan Barat, pada pertengahan abad ke-19 di Mekkah.[1] Pada awal pengembangan tarekat, Syeikh Ahmad Sambas memperoleh pengikut terutama dari kalangan pelajar asal Nusantara yang menuntut ilmu agama di tanah suci. Kemudian atas dakwah mereka, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat tersebar di Nusantara dan memperoleh banyak pengikut khususnya di pulau Jawa.

Perkembangan tarekat itu di pulau Jawa berlangsung sejak tahun 1870, atas jasa Abdul Karim asal Banten. Dalam perkembangan selanjutnya hampir semua guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa menggabungkan silsilahnya kepada Abdul Karim, apalagi setelah ia menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[2]

Pada pertengahan abad ke-19, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkenalkan oleh Syeikh Abdul Karim kepada masyarakat Banten dan sekitarnya. Di bawah pengaruhnya tarekat ini menjadi populer di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di desa-desa (masyarakat petani).

Pada tahun 1800-an, Tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan agama yang paling dominan, pada permulaannya Terekat-tarekat itu hanya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan agama, akan tetapi secara berangsur-angsur berkembang menjadi badan politik keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik ekstrim. Mereka menolak proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembaga-lembaga tradisional, terhadap pengaruh dan campur tangan Belanda, didorong oleh kebencian terhadap orang asing, mereka menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda, dan terhadap sesama muslim yang bekerjasama dengan Belanda. Perkembangan proses kekerasan ini dapat ditafsirkan berdasarkan kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrim dan rangsangan spesifik yang terdapat di Banten.[3]

Pada abad ke-19 Masehi bagi sejarah Banten, merupakan fase bergolaknya rakyat Banten menghadapi penjajahan Belanda, meskipun sejak di awal abad ke-19 secara formal kesultanan Banten sudah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda,[4] namun ketidak-puasan rakyat Banten atas penindasan dan pemerasan kekayaan rakyat terus berlangsung. Kepemimpinan tidak ada di tangan sultan, tetapi diambil alih oleh ulama dan pemimpin rakyat.[5]

Eksploitasi kolonial yang terjadi pada abad ke-19 di Nusantara menciptakan kondisi yang bisa mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menimbulkan disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya.[6]

Dalam menghadapi penetrasi Barat yang mempunyai kekuatan disintegratif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara sendiri. Karena dalam sistem pemerintahan kolonial tidak terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas ataupun untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Hal ini terjadi di berbagai tempat di Banten. Dalam gerakan sosial yang marak di Banten ini peranan para ulama menduduki posisi sentral

Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir, bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme, menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19. Gerakan pemberontakan bukan hanya ditujukan kepada pemerintah kolonial, melainkan juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah. Seiring dengan semakin dalamnya kekuasaan kolonial, maka makin kelihatan pula bahwa kaum pamongpraja, yang terdiri dari para bupati dan aparatnya, hanya berperan sebagai perantara pemerintah kolonial dengan rakyat atau menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial belaka. Maka tidaklah mengherankan bila terjadi gerakan sosial, pamongpraja ikut menjadi sasaran.

Beberapa gerakan sosial terjadi di tanah partikelir.[7] Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, gerakan ini merupakan gejala historis masyarakat petani pribumi. Hampir semua gerakan sosial terjadi diakibatkan oleh tingginya pungutan pajak dan beratnya pekerjaan yang menekan petani. Berbeda dengan gerakan sosial lainnya, pergolakan di tanah partikelir lebih terarah pada rasa dendam tertentu. Sifat gerakan bersifat magico religious, seperti tercermin dari adanya harapan mellenaristis atau datangnya Ratu Adil.[8]

Hampir sepanjang abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20, fenomena ulama di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan munculnya berbagai gejala sosial, politik, dan keagamaan yang hadir terus menerus. Gejala-gejala itu meliputi bermacam-macam bentuk dan jenis, di antaranya mengalirnya arus demam kebangkitan kehidupan agama Islam.[9] Hal ini ditandai dengan meningkatnya berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan dari waktu ke waktu.

Kondisi semacam itu telah melahirkan perlawanan-perlawanan ulama dan santri yang ditujukan terhadap kekuasaan kolonial. Di antaranya adalah perlawanan kaum Paderi di Minangkabau (1825-1830). Perang Diponegoro (1825-1830), yang memperoleh dukungan luar biasa dari ulama Jawa beserta para santrinya.[10] Perlawanan rakyat Aceh (1837-1904).[11] Pada bagian lain di Jawa, yaitu Jawa Barat, terjadi pula beberapa perlawanan yang serupa. Pemberontakan sengit terjadi di daerah Banten, pemberontakan itu terjadi dari tahun (1839-1883),[12] merupakan pemberontakan ulama Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan kolonial Belanda. Dan perlawanan rakyat Banten yang berskala agak besar dan terorganisasi, misalnya perlawanan-perlawanan yang terjadi di Cikandi Udik tahun 1845,[13] dan perlawanan di Ciomas terjadi pada tahun (1886).

Peran ulama dalam kebanyakan perlawanan-perlawanan tersebut adalah sebagai penyangga kekuatan mental dan penggerak rakyat. Mereka terkadang juga memimpin langsung pertempuran, terutama di daerah-daerah yang kuat keislamannya.[14] Dalam perlawanan yang dipimpin oleh bangsawan muslim, ulama berperan sebagai penasehat dan pemberi landasan keyakinan untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Dengan demikian, para ulama sangat penting, sebab di samping persenjataan lahir, landasan kerohanian sangat diperlukan dalam pertempuran.

Proses kekuasaan dan kehadiran penjajah yang demikian menyengsarakan rakyat, menjadi modal kebencian orang Banten terhadap penjajah. Karena itu, tidaklah heran selama penjajah masih berada di Banten, selama itu pula rakyat Banten melakukan perlawanan. Di berbagai daerah banyak terjadi perlawanan secara sporadis, terselubung, bahkan terang-terangan, baik dalam skala besar maupun skala kecil.

Perlawanan yang berskala besar dan menegangkan pihak kolonial terjadi lagi di daerah Cilegon, pada bulan Juli 1888, yang terkait erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam pertempuran tersebut.

Faktor ekstern dari perlawanan tersebut adalah akibat penjajah sendiri yang dengan sewenang-wenang memaksa kehendak, merampas hak-hak rakyat, dan mengubah tatanan politik yang mengarah pada keuntungan penjajah.[15] Di samping itu, faktor yang ikut menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan, yaitu adanya disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa-penguasa asing. Dengan ambruknya Kesultanan Banten, sistem kontrol yang tradisional tidak dapat berfungsi lagi. Keadaan tidak menentu timbul di daerah-daerah yang menyebabkan munculnya unsur-unsur pembangkangan yang berulang-kali menimbulkan kerusuhan.

Adapun faktor internal dari perlawanan tersebut adalah memuncaknya keresahan sosial karena bertubi-tubi rakyat Banten ditimpa kesusahan. Pada tahun 1882, meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang membawa malapetaka penduduk[16] di kawasan pesisir barat Banten. Selain itu, pada tahun 1882-1884, keadaan rakyat Banten, khususnya di Serang dan Anyer ditimpa malapetaka kelaparan dan penyakit binatang ternak. Tahun-tahun berikutnya, suasana sosial ekonomi dan politik semakin mencekik rakyat.[17]

Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya mempunyai dampak yang sangat luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial-politik dan kehidupan keagamaan, dalam kondisi demikian, ada di antara mereka yang lain lebih percaya ke takhayul, namun banyak pula di antara mereka mengikuti ajaran tarekat yakni ajaran yang menitik-beratkan pada penghayatan nilai-nilai batiniah (spiritual), guna mendapatkan ketenangan dan ketabahan batin dari pahitnya penjajah Belanda.

Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai motivasi pengikut tarekat yang sebagian besar terlibat dalam sebuah pemberontakan rakyat Banten, pada masa kolonial Belanda.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, masalah yang akan dibahas akan dibatasi seputar keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten tahun 1888. Kajian keterlibatan pengikut tarekat ini difokuskan pada permasalahan yang meliputi kondisi Banten menjelang pemberontakan, asal usul dan perkembangan tarekat, bentuk-bentuk keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten.

Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, maka akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi Banten menjelang pemberontakan rakyat 1888 ?

2. Bagaimanakah perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad XIX ?

3. Mengapa kaum tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat dalam pemberontakan rakyat di Banten ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan menjelang meletusnya pemberontakan rakyat Banten.

2. Mengetahui sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19.

3. Untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian tentang keterlibatan pengikut tarekat dalam sebuah pemberontakan, dan juga untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya kajian tentang sejarah sosial.

D. Tinjauan Pustaka

Studi tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Adapun studi yang lebih memperhatikan aspek-aspek sosiologis dari gerakan kaum sufi, tampaknya baru dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, di dalam karyanya “Pemberontakan Petani Banten 1888”, memfokuskan pembahasannya mengenai gerakan sosial dalam pengertian yang umum,[18] tetapi jelas bahwa guru tarekat atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hampir seluruh serangkaian pemberontakan di Banten. Kartodirdjo menunjukkan peran-peran sosial mereka yang hanya berlangsung dalam peristiwa sejarah abad XIX, melalui jaringan sosial tarekat Qadiriyah dan dengan ajaran-ajaran mereka yang lebih bersifat mesianik. Padahal menurut prediksi penulis yang terlibat dalam pemberontakan di Banten itu bukanlah tarekat Qadiriyah, melainkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ajarannya berbeda dengan Qadiriyah saja, dan ajarannya tidak selamanya bermuatan nilai-nilai mesianik. Namun begitu, keluasan metodologi dan kekayaan faktual dalam buku tersebut dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan gerakan sosial kaum tarekat. Meskipun kajian buku tersebut tidak menggambarkan secara luas sejarah perkembangan tarekat, dan faktor yang menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut berbeda dengan persepsi penulis, namun buku tersebut adalah buku pertama tentang gerakan sosial kaum sufi. Yang membuat perbedaan skripsi ini dengan buku tersebut adalah bahwa skripsi ini menekankan kepada tarekat dan memberikan penjelasan secara mendetail tentang tarekat dan tokoh tarekat yang terlibat, yang mana dalam karya Sartono tidak dilukiskan secara jelas, dan dia tidak melihat dari segi agama, melainkan lebih ke sosial.

Martin Van Bruinessen, dalam“Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia”, (1992). Sudah menyajikan deskripsi tentang masalah politik dan tarekat, dia telah menyajikan data yang cukup komplit tentang keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah,[19] dalam persoalan-persoalan politik di Indonesia, pada zaman kolonial maupun zaman kemerdekaan. Van Bruinessen telah mendeskripsikan, secara historis, geografis dan sosiologis, keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dalam politik yang kemudian melahirkan berdirinya Partai Politik Tarekat Islam (PPTI). Partai ini telah membawa Dr. H. Jalal Al-Din, pendiri tarekat tersebut, menjadi anggota DPR Pusat pada zaman Orde Lama. Sedangkan guru-guru tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah melibatkan diri dalam beberapa pemberontakan terutama di Banten dan di Lombok. Hanya saja, Martin sedikit menggambarkan keterlibatan guru tarekat di Banten, ia hanya menggambarkan satu guru tarekat yaitu Abdul Karim yang diduga kuat memiliki peranan besar dalam pemberontakan Banten, menurut sumber-sumber Belanda.

Dalam bukunya yang lain, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, (1995).[20] Secara spesifik Van Bruinessen (1995) juga telah membahas keterlibatan beberapa guru tarekat dalam kegiatan politik di Indonesia. Ia juga menunjukkan keterlibatan guru-guru tarekat dalam masyarakat Madura dalam partai politik terbesar pada zaman Orde Baru (Golkar) sehingga melahirkan konflik dan perpecahan internal kelompok tarekat. Dalam buku ini, sedikit Van Bruinessen menyoroti tentang Qadhi, Tarekat serta struktur Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman Kesultanan, yang dibahas dalam bab II. Walaupun karya Van Bruinessen ini mempunyai lingkup yang terbatas, kehadirannya sangat berarti bagi studi lanjut tentang Naqsyabandiyah.

Berbeda survei yang dilakukan Van Bruinessen. Mahmud Sujuthi dalam “Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang”, (2001). Mengkaji tarekat Rejoso dan cabang-cabang yang berasal dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam konteks struktur dan sejarah politik,[21] yang begitu besar pengaruhnya, baik terhadap orang Madura maupun etnis Jawa. Mahmud melihat tarekat dalam pertarungannya melawan kekuasaan yang menganut model produksi kapitalis. Dari studi yang dilakukan terhadap salah satu tarekat muktabar, yaitu tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, bahwa tarekat bukanlah fenomena tunggal. Dalam kajian ini, ia mengambil subyek hubungan agama, negara dan masyarakat dengan fokus politik tarekat.

Penulis lain, Zulkifli Zul Harmi, “Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren”. (2003),[22] buku ini menawarkan sebuah tinjauan singkat yang istimewa tentang sepak terjang Sufisme di Jawa dan sebagian didasarkan atas pengalaman pribadi penulis tentang pendidikan pesantren di Jawa. Buku ini memberikan suatu pemahaman dasar tentang ciri-ciri utama pesantren dan gabungan makna Tasawuf-Tarekat di Indonesia. Studi banding yang dilakukan Zulkifli atas dua pesantren yang terpenting di Jawa, yaitu Pesantren Tebuireng di Jawa Timur dan Pesantren Suryalaya di Jawa Barat, dengan memfokuskan pada posisi intelektual para pendirinya dan peranan yang diberikan kepada Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di masing-masing institusi, Zulkifli hanya menyinggung sepintas tentang tokoh tarekat yang terlibat dalam pemberontakan rakyat Banten, yaitu Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki, sebagai pengganti KH. Abdul Karim yang memainkan peranan signifikan dalam penyebaran tarekat sufi, hanya dalam satu paragraf kecil. Dan kajian yang diteliti Zulkifli sangat berbeda dengan penulis. Objek kajian yang diteliti difokuskan pada tarekat yang sama, di tempat yang berbeda pada abad XIX.

Dudung Abdurrahman dalam tesis berjudul, “Gerakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya dalam Perubahan Sosial di Tasikmalaya 1905-1992”.[23] Dalam tesis ini dijelaskan tentang gerakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah selama perkembangannya pada abad XX, terutama yang berlangsung melalui pusat pengembangannya di Suryalaya Tasikmalaya. Selain itu, juga dijelaskan tentang posisi tarekat Suryalaya dalam bidang pendidikan, bidang inabah, dan reformasi dakwah. Bidang-bidang tersebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada abad XIX di Banten belum disentuh sama-sekali, maka dari itu, penelitian ini berbeda dengan tesis tersebut, meskipun objek penelitiannya sama yaitu mengangkat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tetapi waktu dan tempatnya tidak sama. Penulis mengarahkan objek penelitian ini pada abad XIX dan tepatnya di Banten.

Berbeda dengan studi-studi di atas, studi ini secara teoritis menjelaskan pola-pola hubungan antara sufisme dan politik berdasarkan data yang sudah dikumpulkan dalam sumber-sumber tertulis. Studi ini mengambil sekop wilayah Banten. Dengan demikian, penelitian ini memiliki signifikansi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar bagi studi Islam dan masyarakat Indonesia.

E. Landasan Teori

Apabila diperhatikan dari segi perkembangan sejarahnya, bahwa gerakan tasawuf sudah menjadi budaya orang Islam. Walaupun sebenarnya faktor yang mendorong lahirnya tasawuf ini bersumber dari Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.

Sehubungan dengan judul skripsi tentang gerakan kaum tarekat, maka konsep tasawuf perlu diketengahkan. Tasawuf adalah kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa kepada kegiatan-kegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan berhubungan dengan wujud Tuhan yang mutlak (Al-Haq).[24] Hubungan manusia dan Tuhan digambarkan sebagai hubungan yang menunjukkan dekatnya Tuhan dan manusia, bahkan manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Cara yang efektif untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui tarekat.

Berkenaan dengan tarekat itu sendiri, sejarah banyak mencatat bahwa tarekat merupakan bagian keagamaan Islam yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tarekat merupakan media yang penting untuk dakwah dan pembinaan agama Islam. Dalam pengertiannya secara bahasa, tarekat adalah jalan, yaitu berasal dari bahasa Arab, “thariqah”, dan seringkali diartikan sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan yang dimaksud adalah cara atau metode para sufi, sehingga pada umumnya tarekat disebut sebagai sistem latihan meditasi dan amalan, baik zikir maupun wirid, yang dihubungkan dengan sejumlah guru sufi.[25] atau lebih lengkap di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. Perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan tradisional).[26] Pada masa-masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka, dan beberapa dari murid ini akan menjadi guru pula. Seorang pengikut tarekat akan mendapat kemajuan dengan melalui sederet ijazah berdasarkan tingkat pengetahuannya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat, dari pengikut biasa (mansub) hingga murid, selanjutnya hingga pembantu syeikh atau khalifahnya, dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).

Istilah pemberontakan petani (Peasants’ Revolt) dalam penelitian ini, memerlukan sedikit penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata.[27] Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota ningrat atau orang-orang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat. Pemimpin-pemimpinnya merupakan satu golongan elit pedesaan, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalan-ramalan dan visi sejarah yang turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Dalam banyak hal, pemuka-pemuka agamalah (Ulama) yang telah memberikan bentuk yang populer kepada ramalan-ramalan dan menerjemahkan ke dalam perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasi berada di tangan kaum elit agama yang terdiri dari ulama, haji, dan guru tarekat.

Pemberontakan yang terjadi di Banten ditokohi oleh para ulama. Untuk itu, konsep ulama diperlukan dalam penelitian ini. “Ulama” di sini dikembangkan berdasarkan kategorisasi sosial yang berlaku pada zamannya. Sebagaimana dikatakan oleh Robert van Niel, bahwa ulama di Jawa pada masa kolonial Belanda terkelompok di dalam golongan “Ulama Tradisi” yang memperoleh perlindungan penguasa pribumi di bawah kekuasaan penguasa kolonial, dan golongan ulama lainnya adalah mereka yang tidak terikat oleh penguasa dan seringkali menjadi penggerak massa dalam perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial.[28] Kedua golongan itu, dipertegas lagi perbedaannya dalam peristilahan G. F. Pijper, menjadi “Ulama Birokrat” dan “Ulama Bebas”. Menurut Adviseur Belanda ini, antara kedua kelompok Ulama tersebut sering terjadi persaingan serta perbedaan kecenderungan menghadapi Pemerintahan Kolonial.[29] Tanpa terikat dengan kategorisasi Ulama dari kedua ahli tersebut, konsep-konsep mereka di dalam penelitian ini dijadikan salah satu acuan.

Dalam pembahasan sejarah sebagai kisah yang tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian, tetapi bermaksud menerangkan faktor-faktor kausal maupun kondisional, masalah pendekatan sebagai bagian pokok ilmu sejarah harus diketengahkan. Penelitian ini termasuk dalam disiplin sejarah, sehingga pendekatan utama yang dipergunakan di dalam tema ini akan dikaji dengan pendekatan sejarah, pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang berkaitan erat dengan waktu dan tempat berlangsungnya gerakan pemberontakan yang dilakukan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Kemudian dapat menjelaskan asal-usul, dan segi-segi dinamika sosial serta struktur sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan.[30] Kemudian perubahan sosial yang terjadi menurut Sartono Kartodirdjo, dapat dilihat dari proses transformasi struktural, yaitu adanya proses integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi yang silih berganti. Dalam proses transformasi struktural yang terjadi mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas yang menjadi ikatan kolektif, dari ikatan komunal menjadi ikatan asosiasonal yang berupa organisasi komplek.[31] Gejala-gejala itulah yang terjadi dalam gerakan pemberontakan para pengikut tarekat di Banten yang menjadi objek skripsi ini.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan proses-proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu suatu proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis peninggalan masa lalu guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya serta melakukan sintesis terhadap data, agar menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya.[32]

Metode sejarah bertujuan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan objektif. Dalam hal ini penulis melakukan tahapan sebagai berikut:

Pertama, heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan sebuah penelitian. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber datanya adalah buku-buku dan artikel-artikel, baik buku-buku sejarah maupun artikel-artikel tentang pemberontakan dan tarekat yang berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis, di samping itu, jurnal-jurnal yang membahas tentang kajian ini, serta kamus-kamus sebagai sumber pembantu.

Kedua, verifikasi atau kritik sumber setelah pengumpulan data, baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik intern, dilakukan untuk meneliti kebenaran isi yang membahas tentang tarekat dalam suatu pemberontakan, apakah sesuai dengan permasalahan atau tidak sama sekali, apabila kritik intern sudah dilakukan maka dilanjutkan dengan kritik ektern yaitu untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah diselenggarakan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[33] Dalam hal ini, penulis menyelidiki bagaimana sumber data itu, baik gaya bahasanya maupun pembuatnya.

Ketiga, interpretasi atau penafsiran sejarah yang seringkali disebut juga dengan analisis sejarah, yang bertujuan untuk melakukan sintesa atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh.[34] Maka untuk itu digunakan metode analisis deduktif untuk memperoleh gambaran tentang pemberontakan rakyat Banten dan politik kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menjadi objek penelitian.

Langkah yang terakhir adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.[35] Peneliti berusaha menyajikannya secara sistematis agar mudah dimengerti.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam bab ini terdiri dari lima bab pembahasan. Meskipun dari setiap bab itu tidak mengikuti urutan-urutan kronologis, tetapi di antara bab-bab itu saling berkaitan. Dalam bab pertama atau pendahuluan, memuat latar belakang permasalahan, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai kondisi Banten menjelang pemberontakan 1888, yang meliputi kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan.

Bab ketiga akan menguraikan tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19, dalam bab ini akan dibagi pembahasannya mengenai asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan perkembangan di Banten, ajaran dan ritual tarekat, pengaruh Syeikh Abdul Karim bagi masyarakat Banten.

Bab keempat akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk keterlibatan kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten. Pada bab ini diawali dengan kaum tarekat dan protes sosial politik, kemudian diuraikan tentang kepemimpinan tarekat dalam pemberontakan, gerakan tarekat dalam peristiwa peristiwa geger Cilegon 1888.

Bab kelima atau terakhir merupakan penutup dari penelitian ini, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


[1] Lihat Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 52.

[2] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92.

[3] Ahmad Ibrahim, et. al., Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 225.

[4] Ketika pemerintahan Sultan Aliuddin berakhir, tahta telah beralih ke tangan Pangeran Muhidin. Pada saat itu pula, tanggal 31 Desember 1799, kompeni (VOC) dibubarkan. kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda, yang membentuk pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur jendral H.W. Daendels (1808-1811) adalah gubernur jendral yang pertama di Hindia Belanda. Ia mendarat di Anyar tanggal 1 Januari 1808. kemudian menuju Batavia, yang dijadikan ibu kota Hindia Belanda. Tanggal 14 Januari 1808 terima kekuasaan dari gubernur jendral VOC Wiese kepada H.W. Deandels dilakukan.

Dalam menjalankan tugas di Hindia Belanda, Deandels sangat memperhatikan urusan pemerintahan dan administrasi negara. Ia menjalankan pemerintahan yang bersifat sentralistis. Semua urusan pemerintahan, baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah diatur dari pusat dengan intruksi dari gubernur jendral. Hal itu dilakukan karena Deandels ingin menjalankan pemerintahan secara langsung (direct rule). Ia ingin memerintah rakyat pribumi secara langsung tanpa perantaraan sultan atau bupati.

Sejalan dengan hal tersebut, Deandels melakukan birokrasi di kalangan pemerintah tradisional, para sultan dan bupati dijadikan pegawai pemerintah yang menerima gaji, di bawah pengawasan prefek. Sistem pergantian sultan dan bupati secara turun temurun tidak diakui, dan diganti dengan sistem penunjukan. Kekuasaan mereka pun berangsur-angsur dihapuskan. Lihat, Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Ulama, Sultan, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 88-89.

[5] Halwany Michrob, et al, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit Saudara,1993), hlm. 137.

[6] Lihat, Djoko Surjo“Serba Keterikatan dan Pergolakan Sosial dalam Perspektif Sejarah”, hasil dari: Colloquium Persoalan Masa Kini dalam Perspektif Sejarah, diselenggarakan oleh LIPI-Jakarta, Pada tanggal 28-30 Maret 1985, hlm. 1.

[7] Tanah partikelir timbul sejak awal zaman VOC sampai perempatan pertama abad ke-19, sebagai akibat adanya praktek penjualan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Tanah-tanah tersebut berlokasi di sekitar Batavia dan Bogor, daerah Banten, Karawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Pada awal kekuasaan VOC, tanah tadi dihadiahkan kepada penanggung jawab keamanan dan ketentraman daerah di sekitar Batavia, sedangkan sebagian kecil ada yang diberikan kepada kepala-kepala pribumi. Sementara itu, tanah-tanah partikelir yang ada di daerah Bogor, menjadi milik pribadi para gubernur jendral yang berlangsung secara berturut-turut. Para penerima tanah tersebut kemudian bertindak sebagai tuan tanah yang memiliki hak untuk menguasai penggarap tanah dan menuntut penyerahan tenaga beserta hasil tanahnya, bahkan dapat minta apa saja yang dikehendaki. Tindakan pemerasan seperti inilah yang membangkitkan gerakan sosial di tanah partikelir. Lihat Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, hlm. 100.

[8] Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 30-40.

[9] Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 17.

[10] Perang Diponegoro atau dikenal dengan Perang Jawa ini, didukung oleh sedikitnya 186 agamawan. Di antara mereka yang loyal itu, 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 pegawai keagamaan, dan 4 guru agama dari Mataram, Kedu, dan Bagelan. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren’ Perhelatan Agama dan Tradisi’ (Yogyakarta: LKIS, 2004), hlm. 71. Lihat juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 17-31.

[11] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Nasional Indonesia dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Utama, 1999), hlm. 131-223.

[12] Pada tahun 1839-1846, Mas Jabeng melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama-sama Ratu Bagus Ali. Pada tahun 1850-1856, terjadi pemberontakan Haji Wakhia, pemberontakan ini dipimpin oleh seorang ulama yang kaya, bernama Haji Wakhia, dan didukung oleh para ulama Banten, yang mengobarkan semangat perang sabil melawan pemerintah kolonial. Setelah peristiwa ini, masih ada perlawanan-perlawanan lainnya seperti “Peristiwa Pungut (1862), “Kasus Kolelet”(1866), dan “Kasus Jayakusuma” (1868). Lihat Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, hlm. 187-193.

[13] Gerakan ini terjadi di perkebunan Cikandi Udik, Banten. Peristiwa ini diawali dengan usaha para petani merebut rumah tuan tanah, yang terjadi pada tanggal 13 desember 1845. akibat serbuan tersebut, tuan tanah P.J. Kamphuys beserta istri dan kelima anaknya terbunuh. Sebaliknya tempat tersebut dijadikan markas, dan dikibarkan bendera pemberontak. Mereka mengadakan upacara sebagai tanda kesetiaan kepada kerajaan Banten Lama. Lihat Ibid, hlm. 54.

[14] Latiful Khuluk, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 38.

[15] Herman Fauzi, Banten dalam Peralihan Sebuah Konstruksi Pemikiran tentang Paradigma Baru Pembangunan Daerah, (Tangerang, YASFI BKPPB, 2000), hlm. 29.

[16] Meletusnya Gunung Krakatau bila ditinjau dari korban manusia yang mati, di Banten lebih banyak menderita (21565 jiwa) di bandingkan dengan Lampung (12466 jiwa), sebab pantai Banten lebih padat penduduknya. Anyer sebagai kota pelabuhan dan pusat pemerintahan kolonial setempat hancur total, sehingga pusat Afdeeling Anyer dipindahkan ke Cilegon. Lihat Ibrahim Alfian, Djoko Suryo, et.al, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), hlm. 222.

[17] Hasan Ambary, Geger Cilegon 1888, Peran Pejuang Banten Melawan Penjajah,. (Serang, Panitia Hari Jadi ke-462 TK-II, 1999 ), hlm. 61.

[18] Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, terj. Hasan Basari, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: Penerbit PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984).

[19] Lihat catatan halaman no. 1 bagian pendahuluan ini.

[20] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995).

[21] Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, (Yogyakarta: Penerbit Galang Press, 2001).

[22] Zulkifli Zul Harmi, Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003).

[23] Dudung Abdurrahman, Gerakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya dalam Perubahan Sosial di Tasikmalaya 1905-1992, (Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996).

[24] Tim Penulis IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf (Medan, Tp, 1982), hlm. 6.

[25] Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, hlm. 15.

[26] Lihat Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 134.

[27] Pemberontakan Petani, www.goegle.com. Tanggal akses 25 April 2004

[28] Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, terj. Deliar Noer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 36.

[29] G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessy Agusdin, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 72.

[30] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Yasogama, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 23.

[31] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 161.

[32] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI-Press, 1985), hlm. 32.

[33] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 59.

[34] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. 102.

[35] Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, hlm. 67.

dapatkan file lengkapnya

klik disini


Sponsor

Pengikut