BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia dilahirkan dengan kodratnya untuk hidup bersama dengan lawan jenis untuk membentuk suatu ikatan keluarga yang kekal dan bahagia. Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia yang merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Menurut kodrat alam, manusia ada di mana-mana dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama dan hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-kurangnya kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun ibu dan bayinya. Dalam sejarah perkembangannya, manusia tidak dapat hidup sendiri, terpisah dari kelompok masyarakat lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanya untuk sementara waktu. Menurut C.S.T. Kansil (1989:30), masyarakat diartikan sebagai persatuan manusia yang timbul kodratnya. Masyarakat terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan bahwa sesorang dan yang lainnya saling kenal mengenal dan pengaruh-mempengaruhi.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi), seorang ahli fakir Yunani kuno ,menyatakan dalam ajarannya :
“bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lainnya, maka manusia disebut sebagai mahluk sosial” (C.S.T.Kansil,1989:29).
Masyarakat terbentuk atas suatu tatanan norma-norma dan sistem-sistem kemasyarakatan yang hidup saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Norma–norma tersebut terbagi menjadi 2 (dua), yakni norma yang tidak tertulis dan tertulis. Norma tidak tertulis adalah norma yang hidup dalam masyarakat tertentu serta ditaati oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu pula. Dalam kehidupan bermasyarakat juga dikenal norma yang tertulis yang disebut dengan “Hukum”. Wirjono Prodjodikoro (2003:15), memberikan definisi tentang hukum yakni :
“Rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota-anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam masyarakat”.
Setiap anggota masyarakat tentu mempunyai berbagai kepentingan yang beraneka ragam. Disamping ada kepentingan yang sama juga terdapat perbedaan kepentingan yang tidak jarang dapat menimbulkan bentrokan antara yang satu dan yang lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka terjadi guncangan dalam masyarakat. Untuk itu, hukum bertujuan mengadakan suatu imbangan di antara berbagai kepentingan tersebut. Keseimbangan kehidupan dalam masyarakat dapat terjadi apabila hukum yang mengaturnya dapat dilaksanakan, dihormati, dan tidak dilanggar. Sehingga apabila sebagian norma (baik tertulis maupun tidak tertulis) tersebut sampai dilanggar oleh sebagian kecil anggota masyarakat, maka dapat dipastikan akan menimbulkan gejolak-gejolak dalam masyarakat. Misalnya Kumpul kebo (samen leven;conjugal union;living in non-matrimonial union;cohabitation) yang merupakan suatu fenomena yang nyata ada di dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah menjadi suatu hal yang biasa dilakukan di masyarakat, dengan anggapan hal tersebut adalah suatu bagian dari kehidupan modern. Berbagai alasan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku telah kumpul kebo misalnya karena alasan keterbatasan biaya, tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua ataupun hanya untuk memenuhi kesenangan batiniah semata maka kumpul kebo pun rela untuk dilakukan (pengakuan pasangan kumpul kebo di Jakarta,disiarkan oleh sebuah statsiun TV swasta “Lativi”, Tujuh Hari Menuju Taubat,pada tanggal 08 September 2007 jam 21.00 Wib). Fenomena ini (kumpul kebo) juga marak terjadi di kalangan para selebriti. Model iklan dan bintang sinetron Steve Emmanuel dan pasangan kumpul kebonya Andi Soraya, yang secara terang-terangan mengakui telah kumpul kebo dan mempunyai seorang anak dari hasil perbuatannya tersebut. Mereka mengungkapkan bahwa ini (kumpul kebo) merupakan ranah privat yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak seharusnya diurusi oleh negara (Majalah Gatra,Edisi 47, beredar Jum’at 03 Oktober 2003). Walaupun demikian, kumpul kebo dipandang sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai perbuatan tercela dan termasuk suatu kejahatan terhadap kesusilaan. Namun dalam Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, yang berasal dari Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) zaman Hindia-Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
KUHP yang sekarang berlaku bukanlah asli ciptaan bangsa Indonesia. KUHP ini lahir dan telah berlaku sejak 1 Januari 1918. Berdasarkan Pasal II Aturan peralihan dari UUD 1945 Jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 Jo. Pasal 142 UUDS 1950, maka sampai kini masih diberlakukan KUHP yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918 tersebut, karena belum diadakan KUHP yang baru. Sebelum tanggal 1 Januari 1918 di Indonesia diberlakukan dua macam KUHP, yakni satu golongan untuk Indonesia (mulai 1 Januari 1873) dan satu untuk golongan Eropa (mulai 1 Januari 1867) yang merupakan satu copy (turunan) dari Code Penal Perancisyang dibuat pada zaman Napoleon tahun 1811. Sehingga KUHP untuk golongan Indonesia merupakan copy (turunan) dari KUHP golongan Eropa (1867).Perubahan yang penting dari KUHP ciptaan Hindia Belanda itu diadakan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Dengan KUHP tersebut berlakulah satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (C.S.T Kansil,1989:261).
KUHP yang sekarang berlaku tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan masyarakat Indonesia, maka diperlukan suatu langkah pembaharuan hukum pidana (Penal Reform) untuk dapat memberikan suatu rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Keinginan mempunyai sebuah hukum pidana nasional melalui mekanisme pembaharuan hukum pidana (didalamnya juga mencakup pengaturan tentang KUHP nasional) telah lama menjadi obsesi bangsa ini. Namun, keinginan yang obsesif itu, hendaknya tidak diletakkan dalam kesadaran sekedar untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht (produk hukum pidana kolonial Belanda). Tetapi lebih jauh dari itu, hendaknya dilandasi oleh suatu semangat untuk memiliki suatu tatanan hukum pidana nasional yang mampu mengakomodir berbagai jenis kejahatan dan pelanggaran yang terjadi serta dapat memberikan suatu rasa keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat, dengan tetap difungsikan dalam tatanan negara demokratis. Konteks atau “semangat zaman” inilah yang seharusnya dijawab dengan penyusunan suatu KUHP baru.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengajukan draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk diteruskan ke tangan Presiden. Pada Rapat Paripurna ke-13 DPR, 01 Februari 2005 yang membahas Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2005-2009. Menteri Hukum dan HAM pada saat itu, Hamid Awwaluddin (sekarang diganti oleh Andi Matalatta), menyatakan bahwa pemerintah akan memproritaskan pembahasan terhadap RUU KUHP pada tahun pertama program legislasi (tahun 2005) RUU ini sudah lama berada di tangan pemerintah tetapi masih tertunda-tunda untuk diajukan ke tangan DPR (http://www.prakarsa–rakyat.org, Ke Arah Mana Pembaharuan KUHP, diakses pada tanggal 20 Juli 2007). Kabar terakhir yang diperoleh melalui penjelasan Direktur Perancang Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham), Soeharyono di Jakarta bahwa pada tanggal 14 Agustus 2007 RUU KUHP yang terdiri dari 742 pasal telah sampai ke tangan Menteri Hukum dan HAM RI, Andi Matalattaa, untuk ditandatangani dan selanjutnya akan disampaikan kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk dipresentasikan, yang menurut surat yang dikirimkan ke Dephukham, bahwa pada akhir Agustus sudah disampaikan dan dipresentasikan kepada Presiden. Setelah naskah tersebut selesai diserahkan kepada Presiden, selanjutnya akan di bawa ke parlemen (DPR) untuk dibahas. Dari kabar tersebut didapat keterangan bahwa draft RUU KUHP yang terdiri dari 742 pasal tersebut merupakan draft terakhir (versi Januari 2007) yang akan diserahkan kepada Presiden. Dalam versi Januari 2007 tidak banyak perubahan mendasar dari RUU KUHP 2005 (http://hukum online.com.,Menteri Sudah Paraf Semua Lembar RUU KUHP,diakses 10 September 2007).
Naskah RUU KUHP yang hendak diajukan ke DPR, telah memiliki riwayat yang panjang dan telah mengalami berbagai macam perkembangan dalam penyusunan konsep KUHP nasional tersebut. Dalam merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah berusaha menyerap berbagai aspirasi yang bersifat multidimensional yang berasal dari berbagai instrumen dari masyarakat, akademisi maupun aspirasi internasional dengan melakukan pengkajian terhadap berbagai kecenderungan internasional dan berbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo saxon, Kontinental,Timur tengah,Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian selalu tidak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa.
Konsep (RUU) KUHP mengalami banyak perubahan mendasar. Seperti halnya konsep-konsep RUU KUHP sebelumnya pembagian substansi KUHP yang baru dibagi menjadi 2 (dua) buku, yakni Buku I tentang Ketentuan Umum memberi penjelasan tentang filosofi baru dari undang-undang ini. Selain memperhatikan hak-hak korban, tujuan dan pedoman pemidanaan lebih jelas, buku kesatu inilah yang melandasi Buku II tentang Tindak Pidana. Dalam KUHP sebelumnya dikenal Buku I mengatur tentang Ketentuan Umum, Buku II mengatur tentang Kejahatan, Buku III tentang Pelanggaran. Selain perubahan pembagian subtansi, perubahan lain yang dirasa sebagai suatu langkah maju adalah pencantuman beberapa perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana kemudian dijadikan tindak pidana, atau lazim disebut kriminalisasi. Perbuatan kumpul kebo menjadi salah satu perbuatan yang dikriminalisasikan ke dalam Konsep (RUU) KUHP sebagai bentuk perluasan dari delik kesusilaan dalam KUHP yang saat ini masih berlaku.
Perbuatan kumpul kebo dijadikan tindak pidana sejak Konsep Tahun 1977 yang disusun oleh Tim Basaruddin (dikenal dengan Konsep BAS) sampai konsep terakhir (Tahun 2000). Dalam konsep 2000 edisi 2002, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 422 dan dalam konsep 2004 dirumuskan dalam Pasal 486 yang berbunyi :
“setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak kategori III” (denda golongan III sebesar Rp.30.000.000,-).
Pasal-pasal kesusilaan dalam RUU KUHP yang selesai dibahas pada tahun 2004 (Konsep 2005) berbeda dengan yang dibahas pada tahun 1999-2000. Dalam draft yang baru, penambahan yang cukup menonjol adalah soal pornografi dan pornoaksi. Dalam draft yang lama, yang diatur dalam pasal ini antara lain soal penyiaran tulisan, benda, atau gambar yang melanggar kesusilaan; menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan; mempertunjukkan tulisan atau gambar yang membangkitkan birahi; mempertontonkan sarana pencegahan kehamilan atau menggugurkan kandungan; dan perzinahan. Sementara itu , dalam draft yang baru pasal-pasal ditambah dengan soal pornografi dan pornoaksi. Misalnya, ancaman pidana untuk orang yang membuat tulisan, suara, atau film yang mengekspoitasi daya tarik bagian tubuh tertentu, ketelanjangan, goyang erotis, aktivitas orang berciuman bibir, atau melakukan gerakan masturbasi (masturbasi menurut Kamus Kedokteran Dorland, halaman 1297, berasal dari bahasa Inggris, masturbation artinya perangsangan genital oleh diri sendiri untuk kepuasan seksual). Termasuk pula yang menyiarkan dapat dikenakan ancaman pidana. Dalam pasal pornoaksi, yang diatur adalah soal ancaman pidana bagi orang dewasa yang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, telanjang, berciuman bibir, menari atau bergoyang erotis, melakukan masturbasi dan sejenisnya yang dilakukan di muka umum. Orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks juga dikenakan pidana dan penontonnya pun dikenakan ancaman pidana. Terdapat juga pasal yang baru diatur yakni mengenai kumpul kebo atau orang yang hidup bersama tanpa ada suatu ikatan perkawinan yang sah. Dalam draft RUU KUHP yang lama, delik kumpul kebo adalah suatu delik aduan (dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan), tetapi dalam draft RUU KUHP yang baru (Konsep 2005), kumpul kebo dijadikan delik biasa (Koran Tempo, Selasa 05 April 2005).
Pencantuman kumpul kebo yang dikriminalisasikan sebagai suatu delik menjadikan berbagai pendapat mengalir terhadap upaya kriminalisasi kumpul kebo ke dalam Konsep (RUU) KUHP. Sehubungan dengan dimasukkannya kumpul kebo ke dalam Konsep (RUU) KUHP, akhir–akhir ini muncul beberapa pendapat yang pro dan kontra yang justru menimbulkan konfik horizontal. Kritik dari pandangan kontra antara lain dinyatakan oleh Gayus Lumbuun, yang menyatakan bahwamasalah kesusilaan memang tidak pernah dipersoalkan oleh negara, karena memang negara tidak berhak untuk mengatur masalah tersebut. Banyak negara menegaskan bahwa masalah kesusilaan tidak pernah dipersoalkan karena memang negara tidak berhak untuk mengurusi masalah moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya kumpul kebo berarti dalam hal ini pemerintah telah memasuki ranah kehidupan seks pribadi (http://www.Hukum online.com, Apa Kabar KUHP Baru ?, diakses 20 Juli 2007). Sementara itu Andi Hamzah dan J.E. Sahetapy, sebenarnya juga telah menentang pasal tersebut. Mereka berpendapat bahwa satu aturan tidak bisa diterapkan di semua daerah. Kumpul kebo di pulau Jawa jelas dilarang, tetapi di Bali, Mentawai dan Minahasa, sampai kepala desanya pun melakukan kumpul kebo (http://www.Hukumonline.com.,Tentang KUHP Baru?, diakses pada tanggal 25 Juli 2007). Beberapa tindak pidana yang baru dirumuskan terlihat sudah terlalu jauh, yang berada di domain civil liberties (kebebasan rakyat), seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan privat lainnya. Selain itu terlihat, perumusan tindak pidana yang baru telah mencampuradukkan antara moralitas, dosa, adab dan kesopanan, dengan norma hukum, akibatnya hampir-hampir semua perbuatan dimasukkan ke dalam perbuatan pidana. Kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan tersebut bisa jadi akan merampas kebebasan fundamental atau civil liberties yang dijamin konstitusi. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa kalau revisi RUU KUHP lolos (yang antara lain menjadikan kumpul kebo sebagai suatu tindak pidana), maka akan membuka pintu bagi terciptanya konflik horizontal. Namun di pihak lain, ada yang mendukung dimasukkannya kumpul kebo sebagai suatu delik dalam Konsep (RUU) KUHP, dengan alasan bahwa kumpul kebo adalah suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial, tetapi tidak ada aturannya dan belum terjamah oleh hukum. Oleh Karena itu wajar apabila kemudian dikodifikasikan dalam sebuah peraturan yang konkret dengan cara mengkriminalisasikannya sebagai suatu perbuatan pidana. Rencana pemberlakuan kumpul kebo sebagai suatu delik masih belum terbukti akan menimbulkan konlfik horizontal. Selama ini di kampung–kampung pun berlaku norma yang menolak pelanggaran moral seperti itu sehingga pelakunya acap kali digerebek petugas hansip dan warga masyarakat yang merasa terganggu (Barda Nawawi Arief, 94:2005).
Kumpul kebo belum diatur dalam KUHP yang saat ini berlaku. Namun kumpul kebo oleh sebagian hukum adat yang hidup dan berkembang di Indonesia dianggap sebagai suatu kejahatan kesusilaan. Oleh karena itu, perancang undang-undang mulai memasukkan hukum adat (gewoonrecht) atau hukum yang berlaku di dalam masyarakat ke dalam RUU KUHP. Dengan memasukkan ketentuan tersebut maka asas legalitas (principle of legality) dapat dikesampingkan. Artinya Pasal 1 Ayat (1) KUHP tidak berlaku secara absolut, tetapi dapat diterobos dengan berlakunya hukum adat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) RUU KUHP yang berbunyi :
“ Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka hukum adat tetap diakui keberadaannya dan berlaku efektif di dalam masyarakat. Namun, untuk perbuatan kumpul kebo masih dibutuhkan suatu pengaturan lebih jelas lagi berkaitan dengan keberlakuan Pasal 1 Ayat (3) RUU KUHP tersebut, karena kumpul kebo di suatu daerah ada yang memperbolehkan ada pula yang tidak memperbolehkan.
Kriminalisasi kumpul kebo dalam RUU KUHP muncul sebagai akibat dari kenyataan hidup bermasyarakat yang memang menghendaki hal tersebut. Masyarakat juga sering tidak bisa berbuat apa-apa ketika menjumpai praktek kumpul kebo. Tidak heran jika banyak terjadi main hakim sendiri di masyarakat. Pelaku perzinaan ditelanjangi dan diarak karena mereka tahu, hukum tidak bisa menjangkau kejahatan seperti itu.
Kumpul kebo merupakan suatu perbuatan yang memiliki ruang lingkup lebih luas daripada zinah (adultery) atau perbuatan cabul lainnya. Perbuatan cabul, pergaulan seks bebas antara remaja di rumah kontrakan atau dengan dasar suka sama suka yang oleh KUHP yang saat ini berlaku belum diatur (I Ketut Artadi,2003:179).
Kasus–kasus pergaulan bebas di kalangan masyarakat (khususnya yang dilakukan oleh para remaja) secara terselubung hampir dapat dirasakan bersama sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesopanan yang hidup di masyarakat. Tetapi hal yang justru dirasakan sebagai suatu pelanggaran terhadap suatu norma di masyarakat, masih sulit sekali dijangkau oleh KUHP yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat fenomena kumpul kebo dan membahasnya dalam bentuk skripsi. Karena disadari ataupun tidak, perbuatan kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tanpa ada aturan hukum yang dapat mencegah dan menanggulanginya. Maka penulis mengangkat berbagai permasalahan yang timbul di atas menjadi sebuah karya ilmiah atau skripsi dengan judul “KRIMINALISASI KUMPUL KEBO (SAMEN LEVEN) MENURUT RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA”.