BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Kemajuan zaman telah membawa dunia ini pada era globalisasi, yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat. Seiring perkembangan teknologi ini terjadi pula perkembangan di banyak bidang salah satunya di bidang transaksi perdagangan yang selanjutnya disebut Electronic Commerce (e-commerce) . Kalau dahulu dikenal adanya perjanjian yang berwujud selembar kertas maka saat ini media internet mulai banyak dimanfaatkan orang untuk melakukan perdagangan.
Alasan digunakannya jaringan internet oleh konsumen saat ini sebagai media dalam transaksi e-commerce antara lain :
1. Internet merupakan jaringan publik yang sangat besar (huge/widespread network) sehingga memiliki kemudahan untuk diakses, murah, dan cepat.
2. Internet menggunakan elektronik data sebagai media penyampaian pesan/ data sehingga dapat dilakukan pengiriman dan penerimaan informasi secara mudah dan ringkas, baik dalam bentuk data elektronik analog maupun digital.
Di Indonesia, fenomena e-commerce sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http://www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama meskipun tidak begitu populer. Kemudian mulailah bermunculan berbagai situs yang melakukan transaksi e-commerce. Namun sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi. Namun mulai tahun 1999 sampai 2006 transaksi e-commerce kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meskipun masih terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.
Namun karena menggunakan jaringan publik, maka masalah keamanan menjadi suatu hal yang amat rentan dan sangat perlu dicermati. Hal ini memunculkan polemik dalam masyarakat, sebab di satu sisi transaksi e-commerce mendatangkan keuntungan, tetapi di sisi lain juga memiliki kelemahan dari segi keamanan karena penggunaan jaringan publik dan transaksinya bersifat tidak langsung (faceless nature).
Keuntungan yang diperoleh konsumen melalui transaksi e-commerce antara lain dapat memperoleh informasi tentang produk-produk yang ditawarkan dengan lebih cepat, dapat menghemat waktu dalam memilih produk yang diinginkan dan sesuai dengan kemampuan karena biasanya produk yang ditawarkan itu disertakan pula secara lengkap merek dan harganya.
Di samping itu, menurut Atip Latifulhayat, beberapa karakteristik khas e-commerce menempatkan konsumen pada posisi yang dirugikan seperti:
1. perusahaan di internet (the internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu negara tertentu, sehingga hal ini akan menyulitkan konsumen untuk mengembalikan produk yang tidak sesuai dengan pesanan;
2. konsumen sulit memperoleh jaminan umtuk mendapatkan “Local follow up service or repair” (service lokal atau perbaikan);
3. produk yang dibeli konsumen berkemungkinan tidak sesuai dengan persyaratan lokal (local requirement).
Transaksi e-commerce berbeda dengan transaksi perniagaan konvensional yang diatur dalam KUH Perdata yang bersifat langsung (face to face), sebab transaksi e-commerce berlangsung di dunia maya (cyberspace), tidak mempertemukan secara langsung pembeli dengan penjual serta barang yang ditawarkan (faceless nature). Hal ini akan mendatangkan kerugian bagi pihak konsumen karena konsumen tidak mengetahui secara langsung kualitas produk yang ditawarkan. Di samping itu, ada kendala dalam hal sistem pembayarannya dan kendala mengenai ketidaktepatan pengiriman produk.
Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dan pelaku usaha telah diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1999 (yang selanjutnya disebut UUPK 1999). Tetapi, UUPK 1999 yang berlaku sejak April 1999 itu hanya mengatur hak dan kewajiban konsumen yang masih terbatas pada perdagangan yang dilakukan secara konvensional. Sedangkan mengenai hak dan kewajiban konsumen dalam transaksi online belum secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut.
Peran pemerintah seyogyanya harus memberikan pengawasan dengan jalan melakukan/mewajibkan diadakannya suatu pendaftaran terhadap segala kegiatan yang menyangkut kepentingan umum di dalam lalu lintas elektronik tersebut, termasuk pendaftaran atas usaha-usaha elektronik (e-business) yang berupa Virtual Shops ataupun Virtual Services lainnya. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang mengatur bahwa “setiap perusahaan wajib daftar dalam daftar perusahaan”. Badrulzaman mengatakan bahwa tujuan utama dari pendaftaran ini adalah sebagai sumber informasi resmi untuk semua pihak.
Diharapkan dengan adanya pendaftaran usahanya oleh pihak perusahaan akan membantu konsumen untuk terhindar dari aksi penipuan oleh perusahaan fiktif, sehingga konsumen tidak khawatir dan merasa aman dalam melakukan transaksi perdagangan baik secara konvensional maupun melalui media elektronik
(e-commerce).
Pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek untuk pengembangan e-commerce. Namun kendala yang dihadapi dalam pengembangan ini antara lain keterbatasan infra struktur, belum adanya undang-undang khusus yang mengatur transaksi e-commerce, masih kurangnya jaminan terhadap keamanan transaksi, dan kurangnya sumber daya manusia yang bisa diupayakan secara bersamaan dengan upaya pengembangan pranata e-commerce.
Kondisi sebagaimana disebutkan di atas harus dicermati untuk mencegah kerugian di pihak konsumen, karena ternyata saat ini masih ada kasus di bidang e-commece mengenai perlindungan terhadap konsumen masih sangat kurang dan banyak terjadi. Sebagai contoh kasus jual beli mobil Lambourghini yang pernah terjadi di Kota Medan. Korban dalam kasus ini adalah seorang warga negara Kuwait keturunan Libya bernama Eliass Youssef Ah Habr yang tinggal di Bandung. Ia sering membuka internet dan tertarik dengan penawaran mobil Lambourghini di bawah harga pasar. Kemudian korban dan tersangka berhubungan melalui internet dan telephone. Dalam kesepakatan yang dibuat korban dengan penjual, korban harus mengirimkan uang melalui rekening tersangka sebesar U$ 55.000,00 pada Februari 2005. Setelah pembayaran dilakukan, ternyata mobil tidak dikirimkan dan alamat yang diberikan tersangka ternyata alamat palsu. Korban kemudian melaporkan ke Poltabes Medan
Dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut dengan penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus di Indonesia, dikenal dua forum yaitu Litigasi dan Non Litigasi. Forum Litigasi melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi yakni mengedepankan konsep dengan jalan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak. Di Indonesia telah ada pengaturan mengenai cara tersebut yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam kaitannya dengan masalah transaksi elektronik ini sendiri jalur pengadilan masih terkendala pada ketentuan mengenai alat bukti yang diakui masih terbatas pada ketentuan Pasal 184 KUHAP saja. Alat bukti elektronik belum diakui dewasa ini. Sedangkan untuk forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan, penyelesaian sengketa transaksi elektronik juga mempunyai kelemahan, yaitu mengenai pilihan hukum sebab terdapat adanya perbedaan sistem hukum. Jika digunakan Lembaga Arbitrase maka harusnya mencakup proses adjukasi berupa Arbitrase Virtual. Karena itu, UU No. 30 Tahun 1999 itu tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa di dunia maya.
Masalah-masalah yang penting untuk diteliti lebih lanjut adalah:
1. Bagaimanakah mekanisme transaksi elektronik (e-commerce) yang berlangsung saat ini?
2. Sejauhmana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Indonesia telah mengakomodasikan transaksi elektronik (e-commerce)?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang diatur dalam perlindungan konsumen dikaitkan dengan RUU Informasi dan Transaksi Elektronik?
B. Ruang Lingkup dan Tujuan Penulisan
Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian Hukum Bisnis. Sedangkan fokus penelitian adalah pada aspek hukum perlindungan konsumen dikaitkan dengan transaksi elektronik (e-commerce) melalui media internet. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: