BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akar konflik Arab-Israel dapat dilacak ke masa lebih dari seabad silam ketika bangsa Yahudi, yang putus asa dengan prospek integrasi ke dalam masyarakat Eropa, mulai berimigrasi ke Palestina pada tahun 1882 M / 1299 H. Motifnya bukanlah sebagai hasrat individu yang ingin berdoa dan meninggal di Jerusalem, melainkan sebagai bagian dari suatu gerakan politik. Pada tahun 1897 M / 1314 H, kecenderungan politik ini semakin dikukuhkan dengan diselenggarakannya Kongres Zionis Pertama, yang menyerukan dibentuknya sebuah tanah air Yahudi di Palestina sehingga melahirkan gerakan nasional Yahudi modern, yaitu Zionisme.1) Namun, tanah itu – menurut orang Yahudi adalah milik mereka berdasarkan kehendak Tuhan dan hak historis – telah dihuni oleh bangsa Palestina yang tinggal di sana selama berabad-abad meskipun baru belakangan ini saja tampil sebagai sebuah entitas politik.2)
Kedatangan kaum imigran Yahudi mula-mula tidak mendapat tantangan dari penduduk setempat. Beberapa dasawarsa kemudian, gerakan Zionisme mulai dipandang sebagai ancaman, baik oleh penduduk asli Palestina, maupun bangsa Arab lainnya. Momen sangat menentukan dalam hubungan antara kedua gerakan nasional itu, bangsa Arab dan Palestina di satu sisi, dan Zionisme di sisi lain, adalah lahirnya Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 M (17 Muharram 1336 H) , yang di dalamnya, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour,3) menjanjikan sebuah tanah air bagi Bangsa Israel di Palestina, dengan jaminan bahwa pemerintah Inggris akan berusaha keras untuk memberi kemudahan guna mencapai tujuan ini.4)
Tindakan pemerintah Inggris ini, yang memperoleh kekuasaan mandat di Palestina pada tahun 1920 M / 1339 H setelah perang Dunia I, menimbulkan kemarahan bangsa Palestina dan menimbulkan kekerasan yang terus berlanjut hingga sekarang ini. Bangsa Palestina semakin terasing oleh imigrasi besar-besaran kaum Zionis ke Palestina, yang meningkatkan jumlah orang Yahudi dari 24 ribu pada tahun 1881 M / 1329 H (5 persen dari seluruh populasi), menjadi 85 ribu pada tahun 1914 M / 1333 H (24 persen). Gelombang imigrasi semakin gencar setelah lahirnya Deklarasi Balfour dan Nazisme di Jerman pada 1933 M / 1352 H, yang menambah jumlah imigran Yahudi menjadi 368.845 antara tahun 1921 M / 1340 H dan 1945 M / 1364 H. Di Jerusalem saja, kota penting di Palestina, baik bagi bangsa Arab maupun bangsa Yahudi (seperti juga bagi kaum Muslim dan Kristen), jumlah orang Yahudi meningkat dari 53 ribu menjadi 70 ribu dalam waktu empat tahun, sejak tahun 1931 M / 1350 H hingga tahun 1935 M / 1354 H.5)
Selama akhir 1920-an dan awal 1930-an, muncul seruan jihad dari beberapa kelompok – terutama Imam Haifa, Syaikh ‘Izzuddin al-Qassâm (1882 – 1935 M / 1299 – 1354 H), dan para pengikutnya. Selama pemberontakan tahun 1936-1939 M / 1354 – 1357 H, para otoritas religius Muslim dari Irak, Suriah, dan bahkan India serta negeri lainnya mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa jihad demi Palestina adalah wajib.6)
Pada tahun 1936 M / 1355 H Syaikh Izzuddin al-Qassâm gugur syahid. Seluruh lapisan rakyat Palestina berkabung. Penguburan jenazahnya diselenggarakan dalam bentuk upacara resmi kenegaraan. Tetapi syahidnya Syaikh al-Qassâm tidak membuat surut perjuangan rakyat Palestina, malah sebaliknya, memberi inspirasi kepada mereka untuk terus melanjutkan gerakan jihadnya. Maka, pada tahun itu pula terjadi gerakan perlawanan terbesar rakyat Palestina, yang dikategorikan sebagai perlawanan terlama dan terlengkap dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina. Pada tahun itu terjadi demonstrasi dan bentrokan dengan Zionis di seluruh pelosok kota-kota besar dan perkampungan Palestina tanpa terkecuali. Perlawanan itu kemudian memadukan antara kekuatan gerakan sosial dan kekuatan persenjataan gerakan jihad yang ada. Dari sanalah, inspirasi sayap militer HAMAS 7) dibentuk dengan nama Izzuddîn al-Qassâm.8)
Setelah melakukan perlawanan yang gigih terhadap Israel dengan menggunakan berbagai cara dan sarana yang seadanya seperti batu, pisau dan senjata rampasan, sejak tahun 1987 M / 1407 H hingga tahun 1992 M / 1412 H, maka pada tahun 1992 perjuangan dan perlawanan rakyat Palestina mulai berkembang lebih keras lagi yaitu dengan menggunakan bom mobil. Pelopornya adalah seorang pakar bom bernama Yahya Ayash. Ayash, seorang mahasiswa lulusan studi elektronika Universitas Beirzeit itu merakit bom melalui bahan-bahan kimia yang diperoleh di tokoh obat dan apotik-apotik di Palestina. Peristiwa serangan bom pertama terjadi melalui bom mobil di Romat Efal, wilayah yang dikuasai oleh Israel. Sejumlah aksi-aksi menggunakan bom mobil setelah itu mulai bergulir dan membuat Israel ternyata tak mampu melacak adanya bom mobil yang masuk ke wilayah mereka.
Setelah aksi bom mobil kemudian berlanjut dengan aksi-aksi bom syahid. Para pejuang Palestina membawa bom dalam tas atau tubuhnya, dan meledak di tengah kemunitas ramai orang-orang Zionis. Tokoh pertama sebagai pioner manusia bom syahid bernama Zekarena. Julukan yang diberikan untuknya adalah Ukâsyah istisyhâdiyyîn. Ukâsyah adalah nama sahabat Rasulullah yang pertama kali diberi jaminan masuk surga oleh Rasulullah SAW. Aksi Zekarena terjadi pada bulan Mei 1994 M / Zulqa’dah 1414 H yang meledakkan sebuah bus berisi penduduk dan tentara Israel yang tengah menuju ke arah Avola. Delapan orang Israel tewas dalam serangan ini. Hanya selang bebarapa hari setelah aksi ini, meledak lagi sebuah bom syahid di sebuah bis di Al- Khadera. Pelakunya bernama Ammar Amarena, pejuang yang juga merupakan hasil kaderisasi Yahya Ayash. Akibatnya, 5 orang Israel tewas. Semenjak itu, bahkan aksi-aksi bom syahid9) diikuti pula oleh elemen pergerakan lain di Palestina.