konsep Ilmu Mauhibah untuk menunjukkan pentingnya peranan dalam penafsiran al-Qur’an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah hubungan, korelasi yang terjadi antara dua pihak adalah interdepedensi. Pihak pertama mampu membaca dan memahami pihak kedua. Demikian pula pihak kedua, bisa dipahami oleh pihak pertama. Dalam hubungan subjek-objek, subjek dianggap berhasil berkorelasi jika mampu mencerna objek dengan baik. Sementara objek, berhasil tampil dalam bentuk yang understood bagi subjek.
Dalam wacana tafsir, subjek adalah mufassir dan objek adalah al-Qur’an. Hubungan interdepedensi antara keduanya dapat dianggap berhasil jika mufassir mampu membaca dan mencerna al-Qur’an dengan baik. Lebih lanjut, mufassir sebagai subjek memiliki peran yang lebih dominan dibanding al-Qur’an yang berposisi sebagai objek. Hal ini karena al-Qur’an diyakini sebagai objek yang telah siap dan mampu dipahami sebagaimana disinyalir oleh Q.S. al-Qamar 54 : 17/22/32/40, yaitu:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا اْلقـُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِر

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Menyadari hal ini para pakar tafsir memandang perlu menyediakan seperangkat pisau analisa standar yang musti dimiliki pengkaji-pengkaji al-Qur’an. Seseorang dianggap mampu berinteraksi dengan al-Qur’an secara baik apabila telah memiliki standar kelayakan tersebut. Tanpa memenuhinya, interaksi antar kedua pihak masih diragukan akurasinya, dan hubungan interdepedensi ideal belum terwujud.
Berkaitan dengan hal ini al-Suyu>t}I> menyebutkan lima belas disiplin yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, yaitu :1) Bahasa., 2) Nahwu., 3) al-Tas{ri>f., 4) al-Isytiqa>q., 5) al-Ma‘a>ni>., 6) al-Baya>n., 7) al-Badi>‘., 8) Ilmu Qira’ah., 9) Us{u>l al-Di>n., 10) Ushul Fiqh., 11) Asba>b al-Nuzu>l., 12) Na>sikh-Mansu>kh., 13) Fiqh., 14) Keterangan-keterangan (H{adi>s\-h}adi>s [Ah}a>di>s\]\) yang menjelaskan mujmal-mubayyan ayat., dan 15) Ilmu Mauhibah. Hal yang hampir sama dipaparkan oleh al-Zarqa>ni> dan al-Z|ahabi>.
Jika diamati lebih lanjut, sebenarnya terdapat dua arus utama dalam kelima belas disiplin keilmuan yang menjadi standar kelayakan mufassir di atas, yakni arus keilmuan kasbi> dan arus keilmuan wahbi>. Arus keilmuan kasbi> adalah kelompok disiplin ilmu yang penggaliannya melalui maksimalisasi potensi indra dan daya pikir manusia, yakni akal atau nalar. Sedangkan arus keilmuan wahbi> adalah kelompok disiplin keilmuan yang penggaliannya lebih melalui aplikasi pengetahuan sebagai sebuah tanggung jawab moral, zuhud, dan penjernihan hati. Dengan demikian kelompok kasbi> adalah keempat belas disiplin keilmuan pertama, sedang kelompok wahbi> adalah sisanya, yaitu Ilmu Mauhibah.
Dari fenomena dua arus utama inilah keinginan menyusun skripsi ini muncul. Selama ini dalam berbagai kesempatan perkuliahan, materi-materi Ulumul Qur’an yang notabene adalah pengetahuan pokok bagi mufassir hanya membahas keilmuan-keilmuan yang tergolong kasbi>. Di samping itu, beberapa buku mengenai Ulumul Qur’an juga tidak menyertakan bahasan tentang ilmu ini. Ilmu Mauhibah yang menjadi wakil satu-satunya arus wahbi> belum pernah disinggung. Padahal, jika diteliti, arus ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ada sebuah ayat al-Qur’an, seperti yang diuraikan al-Zarqa>ni>, yang secara tegas memvonis ‘keliru’ (karena dibelokkan oleh Allah) penafsiran seorang ‘mufassir’ yang di hatinya masih menyisakan rasa sombong, yakni:
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut