Penundaan Eksekusi bagi Terpidana Mati Kasus Narkotika (syariah)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang kontroversial, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat sendiri tidak terkecuali di Indonesia, karena dirasa melanggar hak yang paling mendasar bagi manusia yaitu untuk hidup dan memperbaiki kehidupannya. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas umat Islam yang paling besar di dunia, mengakui bahwa hukuman mati layak diterapkan dalam sistem hukum nasional untuk sejumlah kejahatan tertentu yang mengganggu ketertiban umum, mengancam kehidupan manusia dan stabilitas negara. Umat Islam memandang perlu menerapkan hukuman mati dikarenakan Islam juga mengenal adanya hukuman mati, seperti qisas dan rajam.
Hukuman mati dalam hukum positif diberikan bagi kejahatan-kejahatan yang sifatnya memberatkan yang mengganggu stabilitas negara dan ketertiban dalam masyarakat. Maraknya aksi kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) saat ini telah menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Dua juta dari pecandu narkoba dan obat-obat berbahaya 90 persen adalah generasi muda, termasuk di dalamnya remaja yang baru menginjak dewasa (seperti SMP/SMU) dan mahasiswa.1 Untuk menghentikan kejahatan ini (narkoba) maka diperlukan suatu hukum yang benar-benar dapat membuat jera para pelakunya.
Suatu hal yang sangat pantas dan memerlukan dukungan dari seluruh pihak dan tidak perlu diperdebatkan lagi tentang penerapan hukuman mati, jika hukuman ini diberlakukan kepada para pengedar gelap narkoba, sebab para pengedar tersebut secara tidak langsung telah membunuh masyarakat akibat kejahatannya. Narkoba dijadikan sebagai alat penghancur yang dapat merusak moral dan masa depan bangsa terutama bagi generasi muda. Penerapan adanya pidana mati masih tercatat dalam Pasal 10 KUHP, tetapi kejahatan narkoba diatur tersendiri dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yakni Pasal 80-82 dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yakni Pasal 59 ayat (2). Seseorang yang memproduksi, mengolah, merakit dan menyediakan narkotika atau obat-obatan terlarang lainnya dikenakan pidana mati.
Kejahatan narkoba telah sangat meresahkan masyarakat, sebab dengan adanya pengedaran gelap narkoba akan berlanjut kepada tindakan-tindakan buruk lainnya. Narkoba tidak dapat membawa manfaat bagi manusia, yang ditimbulkan darinya hanyalah mafsadat (kerusakan), sebagaimana yang telah Allah swt firmankan:
يسئلونك عن الخمروالميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس واثمهما اكبر من نفعهما2
Aktor utama kejahatan narkoba adalah para pengedarnya, mereka meracuni bangsa dengan barang haram tersebut. Narkoba dijadikan alat penghancur bangsa diberikan kepada generasi muda yang menjadi penerus bangsa, karena negara ini berada di tangan generasi muda. Jika generasinya rusak maka rusaklah seluruh bangsa. Para pengedar tersebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang membuat kerusakan di muka bumi, maka hukuman mati merupakan hukuman yang pantas bagi mereka (para pengedar narkoba), berdasarkan perintah Allah swt:
انما جزاء الدين يحربون الله ورسوله ويسعون في الارض فساد أن يقتلوا3
Beberapa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan hukuman mati bagi para pengedar narkoba. Namun dalam kenyataannya, meskipun hukuman mati telah dijatuhkan kepada sejumlah terpidana kasus narkoba, akan tetapi eksekusinya tidak kunjung dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan Negeri. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Presiden Megawati telah menolak permohonan grasi 6 terpidana mati, 5 orang di antaranya adalah terpidana yang dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Terpidana mati tersebut adalah Namona Denis (Keppres No.10/G Tahun 2004), Indra Bahadur Tamang (Keppres No.11/G Tahun 2004), Hansen Anthony Nwaolisa (Keppres No.13/G Tahun 2004), Muhammad Abdul Hafeez (Keppres No.15/G Tahun 2004) dan Samuel Iwuchukwu Okoye (Keppres No.15/G Tahun 2004).4 Walaupun permohonan grasi kelima terpidana mati ini telah ditolak oleh Preseiden Megawati namun hingga saat ini pihak Kejaksaan Negeri Tangerang belum melakukan eksekusi.
Melihat dari kasus-kasus yang ada bahwasanya eksekusi hukuman mati banyak yang mengalami penundaan dan banyak pula yang akhirnya tidak dilaksanakan walaupun putusan hukuman mati telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat mengakibatkan asumsi bahwa hukuman mati yang ditetapkan sebagai hukum positif hanya sekadar kepura-puraan dan terkesan main-main sehingga menjadikan tidak adanya kepastian hukum sehingga hal ini menjadi pertanyaan bagi penyusun, entah berapa banyak lagi terpidana mati lainnya yang kasusnya mengambang menunggu tiba waktunya dieksekusi.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penyusun perlu mengadakan penelitian lapangan untuk mengetahui lebih rinci dan detail tentang apa yang menyebabkan tertundanya eksekusi hukuman mati. Untuk mengetahui hal ini maka penyusun berupaya mengadakan penelitian lapangan di mana obyeknya adalah Pengadilan Negeri Tangerang dalam kasus penundaan eksekusi bagi terpidana mati yang kebanyakan kasusnya adalah narkoba yang merupakan jenis kejahatan yang sangat memberatkan, selain mengingat PN Tangerang yang paling berani dalam memberikan vonis hukuman mati. Dalam catatan, 2 tahun terakhir sudah 16 orang yang divonis hukuman mati oleh PN Tangerang.5 Dari penelitian tersebut diharapkan dapat diketahui sejelas-jelasnya tentang penyebab tertundanya eksekusi bagi terpidana mati yang selanjutnya akan dituangkan dalam wujud karya ilmiah (skripsi) sebagai tugas akhir perkuliahan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang relevan untuk dikaji dan dibahas dalam wujud karya ilmiah. Pokok-pokok permasalah tersebut adalah sebagai berikut:
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut