Analisis Persepsi Akuntan Pendidik, Akuntan Publik Dan Mahasiswa Akuntansi Terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia

BAB I


PENDAHULUAN



Seiring dengan meningkatnya kompetisi dan globalisasi, setiap profesi

dituntut untuk bekerja secara profesional, yaitu dengan bertanggung jawab

untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang

dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi Undang-Undang dan

peraturan masyarakat (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997 dalam Ninuk

Retnowati, 2003:3). Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh

suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing

dalam dunia usaha sekarang ini dan masa mendatang dalam menghadapi

tantangan yang semakin berat.


Selain keahlian dan kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu profesi,

dalam menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi. Dengan

adanya etika profesi, maka tiap profesi memiliki aturan-aturan khusus yang

harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut. Etika profesi

diperlukan, agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak melanggar batas-

batas tertentu yang dapat merugikan suatu pribadi atau masyarakat luas. Etika

tersebut akan memberi batasan-batasan mengenai apa yang harus dilakukan,

dan apa yang harus dihindari oleh suatu profesi.






1




2




Etika profesi menjadi tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap suatu

profesi (Jusup, Al Haryono, 2001: 90). Apabila etika suatu profesi dilanggar,

maka harus ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

profesi tersebut. Jika tidak, maka akan mengakibatkan kepercayaan

masyarakat terhadap profesi tersebut akan berkurang. Sedangkan apabila suatu

profesi dijalankan berdasarkan etika profesi yang ada, maka hasilnya tidak

akan merugikan kepentingan umum dan akan meningkatkan kepercayaan

masyarakat terhadap profesi tersebut.

Etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang meliputi

kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu (Sihwahjoeni dan

Gudono, 2000). Oleh karena konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara

tertulis atau formal dan selanjutnya disebut dengan “kode etik”. Kode etik

profesi merupakan salah satu upaya dari suatu asosiasi profesi untuk menjaga

integritas profesi tersebut agar mampu menghadapi berbagai tekanan yang

dapat muncul dari dirinya sendiri maupun pihak eksternal.

Akuntan sebagai sebuah profesi telah memiliki seperangkat kode etik

tersendiri dalam menjalankan profesinya. Kode etik merupakan norma atau

aturan yang mengatur hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara

akuntan dengan sejawatnya, serta antara profesi dengan masyarakat. Dalam

pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia mengamanatkan bahwa

setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam

melaksanakan pekerjaanya (Mulyadi, 2002:59). Dengan mempertahankan

integritas, seorang akuntan akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi.



3




Sedangkan dengan mempertahankan objektivitas, seorang akuntan akan

bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh pihak tertentu ataupun tekanan

pribadinya (Khomsiyah dan Indriantoro, 1997, dalam Ninuk Retnowati,

2003:5).

Apabila bertindak sesuai dengan etika, maka kepercayaan masyarakat

terhadap profesi akuntan akan meningkat. Terlebih saat ini profesi akuntan

diperlukan oleh perusahaan, khususnya perusahaan yang akan masuk pasar

bursa efek wajib diaudit oleh akuntan publik. Untuk mendukung

profesionalisme akuntan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sejak tahun 1975

telah mengesahkan “Kode Etik Akuntan Indonesia” yang telah mengalami

revisi pada tahun 1986, tahun 1994 dan terakhir pada tahun 1998. Dalam

Mukadimah Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 1998 ditekankan pentingnya

prinsip etika bagi akuntan :


Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela. Dengan
menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga
disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan
peraturan. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Akuntan Indonesia
menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik,
pemakai jasa akuntan dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar
perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen
untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan
pribadi ( Jusup, Al Haryono, 2001: 90).

Namun kenyataannya, dalam praktek sehari-hari masih banyak terjadi

pelanggaran terhadap kode etik tersebut. Berbagai pelanggaran untuk

berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan terjadi baik di

luar negeri maupun di Indonesia. Di Indonesia sendiri pelanggaran kode etik



4




sering dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern, maupun akuntan

pemerintah. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat

ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam

laporan pertanggungjawaban pengurus IAI periode 1990-1994, menyebutkan

adanya 21 kasus pelanggaran yang melibatkan 53 KAP (Ludigdo dan

Machfoed, 1996:15 dalam Jaka dan Ninuk, 2003). Dari hasil BPKP terhadap

82 KAP dapat diketahui selama tahun 1994 sampai dengan tahun 1997

terdapat 91,81% KAP tidak memenuhi Standar Profesional Akuntan Publik,

82,39% tidak menerapkan Sistem Pengendalian Mutu, 9,93% tidak mematuhi

Kode Etik Akuntan, dan 5,26% tidak mematuhi perturan perundang-undangan.

Dan dari data terakhir (Media Akuntansi Edisi 27: 2002:5) terdapat 10 KAP

yang melakukan pelanggaran saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada

tahun 1998.

Kasus pelanggaran lainnya yang melanda perbankan Indonesia pada

tahun 2002-an. Banyak bank-bank yang dinyatakan sehat tanpa syarat oleh

akuntan publik atas laporan keuangan berdasar Standar Akuntansi Perbankan

Indonesia (SAPI), ternyata sebagian besar bank itu tidak sehat. Adanya

rekayasa laporan keuangan oleh akuntan intern yang banyak dilakukan oleh

sejumlah perusahaan go public. Menurut catatan Biro Riset Info-Bank (BIRI),

pada tahun 2002 ada 12 perusahaan go public tertangkap basah melakukan

praktek tersebut. Kasus terkhir yang masih menjadi pembicaraan hangat dalam

kasus PT Telkom dimana laporan keuangan PT Telkom yang diaudit oleh



5




KAP Eddy Pianto ditolak oleh US SEC (United States Securities and

Exchange Commision) untuk kinerja tahun 2002 (Jaka dan Ninuk, 2003).

Di Amerika Serikat juga banyak terjadi kasus pelanggaran terhadap

etika, seperti kasus runtuhnya perusahaan raksasa Enron Corporation yang

merupakan salah satu perusahaan terkemuka di Amerika Serikat telah

melibatkan KAP Arthur Andersen sebagai akuntan publik yang mengaudit

laporan keuangan perusahaan tersebut. Lima tahun terakhir perusahaan

tersebut telah diduga melebihkan neraca dan laporan keuangan. Skandal Enron

memunculkan banyak pertanyaan seputar peranan Arthur Andersen,

dikarenakan auditor bertaraf internasional ini telah memainkan dua posisi

strategis di perusahaan tersebut, sebagai auditor dan konsultan bisnis Enron.

Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan awal tahun ini kalangan auditor

(jasa akuntan publik) mengenai industri akunting dan potensi benturan

kepentingan yang dihadapi perusahaan tersebut dalam peranannya di

masyarakat (Media Akuntansi, 2002: 17-19).

Arthur Andersen secara nyata telah melakukan pelanggaran pada prinsip

kepentingan publik, dimana sebagai Kantor Akuntan Publik yang menerima

kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi justru melakukan kebohongan

publik dengan membiarkan laporan keuangan Enron terbit. Padahal dalam

kenyataannya Enron diduga melebih-lebihkan neraca dan laporan keuangan.

Selain itu Arthur Andersen juga melanggar prinsip integritas dan obyektivitas

dimana selain mengaudit laporan keuangan Enron mereka juga berperan

sebagai konsultan bisnis mereka. Arthur Andersen juga mendiskreditkan



6




profesi akuntan publik dengan menjalankan dua posisi tersebut, dan hal

tersebut jelas melanggar prinsip perilaku profesional.

Dengan adanya berbagai pelanggaran tersebut, maka jelas bahwa Kode

Etik Akuntan selama ini kurang dipatuhi. Hal tersebut akhirnya berdampak

pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan. Agar

kepercayaan masyarakat khususnya pengguna jasa akuntan meningkat, maka

seharusnya etika yang mengatur profesi akuntan sejak dini dipahami dan

dilaksanakan secara disiplin yaitu semenjak di bangku kuliah, sehingga Kode

Etik Akuntan yang ada benar-benar dipahami untuk dilaksanakan pada praktek

kerja nantinya.

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia telah

menguji secara empiris tentang persepsi etika diantara berbagai kelompok

akuntan Desriani (1983), Ludigdo dan Mas’ud Machfoed (1999), Retno

Wulandari dan Sri Sularso (2002) serta Jaka dan Ninuk (2003) menemukan

adanya perbedaan persepsi tentang etika yang signifikan diantara kelompok

akuntan. Sedangkan Sihwahjoeni dan Gudono (2002) tidak menemukan

adanya perbedaan persepsi tentang etika, antara kelompok akuntan tersebut

mempunyai persepsi yang sama tentang kode etik akuntan.

Adanya hasil penelitian yang belum konsisten, maka dalam penelitian ini

ingin menguji kembali persepsi akuntan pendidik selaku staf pengajar,

akuntan publik sebagai praktisi dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi

sebagai calon akuntan Indonesia terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan

Indonesia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya



7




dalam objek dan lingkup penelitian. Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini diambil dari Sihwahjoeni dan Gudono (2000) yang mengadopsi

dan memodifikasi dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia untuk profesi

akuntan secara umum, yang terdiri dari lima bab dan sebelas pasal, yang

meliputi kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan

kode etik, serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik. Selain Objek yang

berbeda, penelitian ini juga memperluas area survei di wilayah Surakarta dan

Yogyakarta.

Berdasarkan permasalahan yang ada tersebut maka menjadi latar

belakang untuk menyusun skripsi ini dengan judul “Analisis Persepsi Akuntan

Pendidik, Akuntan Publik dan Mahasiswa Akuntansi terhadap Kode Etik

Ikatan Akuntan Indonesia.”


B. Perumusan Masalah


Dengan mencermati kondisi saat ini, peran akuntan di mata masyarakat

seringkali dipandang negatif. Hal tersebut dikarenakan banyak kasus yang

merugikan masyarakat secara luas seperti kasus Enron yang terjadi di Amerika

dimana KAP Arthur Andersen yang ditunjuk sebagai auditor laporan

keuangan melakukan pelanggaran berupa ikut serta dalam memanipulasi

laporan keuangan Enron Corporation agar performa klien terlihat lebih bagus

di mata investor. Padahal apabila Kode Etik Akuntan yang mengatur

mengenai pelaksanaan profesi akuntan dilaksanakan dengan tulus dan niat

yang baik maka hal tersebut tidak seharusnya terjadi.



8




Studi tentang kode etik dan pendidikan etika merupakan hal yang

penting dalam rangka pengembangan dan peningkatan peran profesi akuntan,

terutama bila dikaitkan dengan rawannya profesi ini terhadap perilaku tidak

etis dalam bisnis (Ludigdo,1999, dalam Ninuk Retnowati, 2003). Penegakan

etika profesi harus dimulai melalui pemahaman dan penghayatan dengan

kesadaran penuh sedini mungkin, yaitu sejak bangku kuliah kepada

mahasiswa akuntansi sebagai calon sarjana akuntan, sehingga mereka dapat

mengembangkan perilaku etisnya guna memelihara integritas pribadinya dan

profesinya. Apabila pemahaman akan Kode Etik Akuntan tersebut tidak

dipahami dengan baik, maka dalam melakukan praktek kerja di masyarakat

akan terjadi banyak pelanggaran.


Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini, masalah yang

diangkat adalah apakah terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pendidik,

akuntan publik dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap Kode

Etik Ikatan Akuntan Indonesia dan faktor-faktornya yang meliputi

kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, pelaksanaan kode etik

serta penafsiran dan penyempurnaan kode etik ?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empiris apakah terdapat

perbedaan persepsi terhadap Kode Etik Akuntan antara akuntan pendidik,

akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi.








D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:



9


1. mendukung dan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu dan dapat

memberikan suatu bukti empiris mengenai persepsi akuntan pendidik,

akuntan publik, dan mahasiswa pendidikan profesi akuntansi terhadap

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.

2. memberikan masukan yang penting bagi pendidikan tinggi akuntansi di

Indonesia dalam upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Pendidikan

akuntansi sebenarnya tidak saja bertanggungjawab pada pengajaran ilmu

pengetahuan bisnis dan akuntansi kepada mahasiswanya, tetapi juga

bertanggungjawab mendidik mahasiswanya agar mempunyai kepribadian

yang utuh sebagai manusia. Hal ini selaras dengan tujuan Pendidikan

Nasional (Pasal 4 UU No.2 tahun 1989), yaitu untuk mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

3. bagi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan para kelompok akuntan yang

menjadi responden, untuk mengetahui seberapa jauh kode etik yang

diterapkan telah melembaga dalam diri masing-masing kelompok akuntan

tersebut, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat




10




memberikan citra profesi yang mapan dan kemahiran profesionalnya

dalam memberikan jasa kepada masyarakat yang semakin berarti.

4. memberikan tambahan pembahasan, wawasan, serta sebagai dasar untuk

penelitian selanjutnya mengenai masalah masukan Kode Etik Akuntan

guna penyempurnaan serta pelaksanaannya bagi seluruh akuntan di

Indonesia.


E. Sistematika penulisan

Sistematika dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab, yaitu :
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut