Perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau Dari Status Ibu Dan Urutan Kelahiran

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Kemandirian manusia Indonesia sangat diperlukan dalam menghadapi

kecenderungan perubahan sosial dalam masyarakat. Masyarakat masa depan

menuntut manusia lebih bersikap terbuka tanpa kehilangan makna hidup yang hakiki

yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sikap mandiri inilah yang harus

menjadi arah utama bagi peningkatan kualitas manusia menjelang era tinggal landas.

Menurut Widodo (2000) bahwa kemadirian pada remaja adalah suatu sifat yang ada

pada diri remaja yang memungkinkan remaja bertindak bebas, remaja mampu

melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan atas dorongan diri

sendiri, mengejar prestasi dengan penuh ketekunan, serta keinginan untuk

mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak

original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi masalah yang dihadapi sendiri

tanpa bantuan orang lain.

Kemandirian remaja terjadi atau terbentuk karena individu di masa remaja

akan berusaha melepaskan diri dari orang tuanya, melepaskan diri dalam arti tidak

akan meminta bantuan kepada orang tuanya untuk memecahkan masalah yang sedang

dihadapi dan remaja yang terbiasa ditinggal kedua orang tuanya bekerja juga akan

lebih mandiri dalam segala hal dibanding remaja yang selalu berada disamping

ibunya (Hindriyani, 1996). Perilaku mandiri merupakan kekuatan internal individu

1



2




yang diperoleh melalui proses individualisasi. Yang dimaksud proses individualisasi

di sini adalah proses realisasi kedirian, proses menuju kesempurnaan.

Pembentukan perilaku mandiri pada masa remaja merupakan perkembangan

perilaku dari masa-masa sebelumnya, dimulai dengan berkembangnya suatu

dorongan ke arah aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, maka remaja mulai

menyusun pola perkembangan kepribadian dengan mulai melepaskan diri dari

pengaruh orang tua. Remaja SMU mulai menginginkan kebebasan dalam berbagai

aspek, termasuk kebebasan dalam kemandiriannya. Pencapaian perilaku ini sering

tercermin dalam sikap yang semakin percaya kepada diri sendiri, timbulnya keinginan

untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan memunculkan kreativitas di berbagai

bidang. Selain itu ia tidak ingin diawasi lagi dalam menentukan arah perbuatan yang

ingin dilakukan dan bersedia untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah

dilakukannya (Driyakarya, 1990).

Menurut Masrun dkk (1986) kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor internal adalah urutan kelahiran,

sedangkan salah satu faktor eksternal yaitu kebudayaan. Kebudayaan yang ada di

negara satu dengan yang lain adalah berbeda, misalnya remaja-remaja Swiss

cenderung lebih tergantung pada keputusan orang dewasa sedangkan remaja-remaja

Amerika lebih awal dalam mengalihkan ketergantungan terhadap orangtua kepada

teman-teman sebaya. Demikian pula remaja-remaja Indonesia, norma-norma

masyarakatnya masih menghendaki agar sikap mandiri seseorang disertai pula dengan

sikap hormat dan menjaga jarak antara orang muda dengan orang-orang yang lebih



3




tua (Monks, 1989). Gunarsa (1995) menyatakan bahwa dalam perkembangannya,

seorang remaja tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungannya di mana salah satu

lingkungan remaja tersebut adalah keluarga termasuk di dalamnya adalah ayah dan

ibu, karena ibulah yang senantiasa dekat dengan remaja ketika masih kecil.

Perubahan peran dalam keluarga terjadi juga karena perbedaan kepentingan

antara ayah dan ibu. Pada keluarga non tradisional sudah ada keyakinan kuat akan

kemampuan seorang ayah (pria) dalam mengasuh anak. Lebih 80% kaum ayah dan

90% kaum ibu percaya bahwa ayah mempunyai kemampuan dalam mendidik anak

dan mengasuh anak meskipun ada sebagian besar yang merasa bahwa kemampuan

ayah ini masih belum sebanding dengan kemampuan seorang ibu. Gambaran ini

berlainan dengan keluarga tradisional yang hanya 49% kaum ayah dan 65% kaum ibu

berkeyakinan demikian. Perubahan keyakinan ini merupakan satu jawaban yang tidak

mempersoalkan peran jenis kelamin dalam mengasuh anak, meski sebagian

mengatakan perubahan peran ini semata-mata untuk membuktikan suatu keyakinan

bahwa ayah mampu beralih peran dengan ibu, tetapi sesungguhnya alasan yang

mendasar adalah faktor ekonomi (Dagun, 1992)

Penerapan perilaku ibu terhadap anak-anak terjadi bila keduanya ada interaksi

yang berjalan dengan baik. Adanya interaksi ini menimbulkan suatu pemahaman

terhadap perilaku model dalam hal ini sosok ibu yang bekerja. Ibu sebagai model

akan berfungsi dalam pembentukan kemandirian remaja SMU. Oleh karena itu

semakin positif persepsi remaja terhadap karir ibunya maka akan semakin memberi



4




banyak kesempatan pada remaja untuk belajar dan mengembangkan potensi yang

masih duduk dibangku SMU ini untuk membentuk kemandirian.

Wanita yang tidak bekerja akan mempunyai wawasan yang kurang luas

terhadap diri dan lingkungan jika dibandingkan dengan wanita yang bekerja

(Hoffman dalam Eny, 1992). Dalam mendidik anakpun akan kurang pengalaman

yang ada di luar lingkungan rumah tanggganya, sehingga wawasan yang ada pada

anaknya akan cenderung lebih besar dari pada wawasan yang ada di dalam dirinya.

Ibu yang bekerja adalah ibu rumah tangga yang berstatus sebagai wanita

karier yaitu wanita yang sudah menikah atau selalu berumah tangga yang bekerja di

luar untuk mendapatkan penghasilan sebagai mata pencaharian tetap, dimana

pekerjaannya tersebut berjangka panjang, menuntut perhatian dan prestasi serta

penampilan yang utuh dari wanita tersebut. Jadi disamping melakukan tugasnya

dalam rumah tangga, ibu rumah tangga berperan juga sebagai wanita karier, dapat

dirafsirkan juga se bagai wanita yang bekerja diluar rumah untuk mendapatkan gaji

dan pekerjaan tersebut merupakan bagian hidup yang amat berarti. Dalam

menghadapi permasalahan yang kompleks ada sebagain ibu yang bekerja yang

berhasil mengatasinya, namun ada yang gagal dalam menyelesaikannya. Bahkan ada

pula yang berhasil mengatasinya namun disaat lain ia mengalami suatu kegagalan

(Iriansyah, 1996).

Seorang anak akan menginginkan adanya kesempatan yang banyak untuk

memperoleh pengaruh, tuntunan, bimbingan untuk membentuk kepribadiannya.

Tetapi munculnya persamaan hak antara pria dan wanita menyebabkan banyak wanita



5




menuntut dan berusaha merealisir haknya, yang mengakibatkan anak-anak mereka

menjadi korban. Dari situlah muncul konflik dalam diri anak, di mana seorang ibu

yang berperan sebagai wanita karir dapat menghambat sikap sosial pada diri anak

tersebut.

Wanita yang aktif bekerja masih dapat menjalankan tugas sebagai istri dan

berfungsi sebagai ibu dalam hal mengasuh, merawat, mendidik dan mencurahkan

kasih sayang kepada anak maupun suami walaupun sepanjang waktu, semua itu dapat

dilakukannya sewaktu sudah pulang dari kantor yaitu pada sore dan malam hari.

Sedangkan pada siang harinya dapat dijadikan untuk mendidik anak untuk bersikap

mandiri, baik dalam perilaku maupun pemikirannya.

Dampak yang timbul seandainya ibu bekerja dan menjadi wanita karir antara

lain : anak (remaja) akan sibuk dengan kegiatannya sendiri dan ini dapat membuat

remaja menjadi mandiri, semua yag ingin dilakukannya dapat dilakukannya sendiri,

selain itu besa belajar dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada dirinya

sendiri, sehingga sedikit-sedikit tidak tergantung pada orang tuanya. Sebaliknya

apabila seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga biasa maka anak (remaja)

akan lebih banyak waktu atau kesempatan untuk dapat berhubungan atau

berkomunikasi setiap saat, tapi disisi lain anak akan berkembang menjadi remaja

yang selalu tergantung pada orang tuanya. Permasalahan yang pada dirinya selalu

dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan ibunya (Munandar, 1985).



6




Kemampuan ibu untuk berkarir dapat dijadikan model bagi anak dalam

ketekunan, motivasi untuk berprestasi. Figur ibu dapat dijadikan contoh bagi anak

untuk mencapai keberhasilan, ini mampu mendorong anak untuk selalu berprestasi

dan memupuk sikap kemandirian.

Peranan faktor urutan kelahiran dapat mempengaruhi kemandirian seseorang

yang berpangkal dari adanya kebutuhan manusia akan adanya perhatian dari

lingkungannya ketika seseorang masih remaja (Masrun, 1986). Johnson dan

Medinnus (dalam Widodo, 2000) mengatakan pada masa remaja perhatian dari

lingkungan ini terutama berasal dari orangtua. Setiap remaja dalam keluarga

mempunyai urutan yang berbeda-beda. Masing-masing urutan mempunyai

tanggungjawab dan konsekuensi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan karena

kebudayaan maupun sikap orangtua yang berbeda-beda. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Gerungan (1988) yang mengatakan bahwa dalam suatu keluarga terdapat

peranan-peranan tertentu yang mempengaruhi perkembangan seseorang salah satunya

adalah peranan seseorang sesuai dengan urutan kelahiran dalam keluarga.

Urutan kelahiran anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kemadirian

individu. Adler (dalam Mujiono, 2000) menjelaskan bahwa anak yang mempunyai

urutan kelahiran tertentu dalam keluarga cenderung berbeda kemandiriannya.

Perbedaan kesempatan dan perlakuan orangtua yang didasarkan pada urutan kelahiran

anak dalam keluarga akan menimbulkan pengaruh yang berbeda dalam sikap dan

tingkah lakunya.



7




Hurlock (1996) menyatakan bahwa anak sulung memiliki tangggungjawab,

wewenang, dan kepercayaan diri yang lebih besar di rumah sehingga cenderung

memiliki kemampuan pemimpin dan orangtua juga memiliki tuntutan yang lebih

tinggi terhadap anak sulung daripada anak bungsu. Hurlock (1996) menambahkan

bahwa anak yang menduduki posisi pertama atau sulung dalam keluarga cenderung

serius, ingin belajar dan mampu menyesuaikan maupun mengendalikan diri,

sedangkan anak bungsu cenderung tidak berprestasi tinggi, kurang bertanggungjawab

sehingga kurang bisa menjadi pemimpin.

Douvan dan Adelson (dalam Johnson dan Medinnus, 1974) menyatakan

bahwa anak sulung mempunyai ambisi dan dorongan yang lebih besar dibanding

adik-adiknya serta lebih berorientasi pada pencapaian prestasi. Adler (dalam

Mujiono, 2000) mengemukakan bahwa anak bungsu merupakan anak yang kurang

bisa menyesuaikan diri serta mengalami gangguan emosional. Pendapat itu didukung

oleh pendapat Gunarsa (2000) bahwa anak bungsu selalu mendapatkan perlindungan

yang berlebihan, hal ini dapat membuat anak bungsu merasa lemah dan kurang daya

juang.

Di sisi lain Leman (1999) menyatakan bahwa anak sulung cenderung senang

berprestasi, memiliki ciri khas pemimpin, senang belajar, dan perfeksionis. Anak

sulung bisa diandalkan tekun, teliti, serta dapat membuat daftar kehidupan sehari-

hari. Mereka tahu persis apa yang harus dilakukan dalam hidup ini. Sedangkan anak



8




bungsu menurut Leman (1999) cenderung suka bersenang-senang dan punya ciri khas

luwes, berinteraksi pada manusia, serta pencari perhatian.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat dibuat rumusan masalah :

“apakah ada perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari Status Ibu dan urutan

kelahiran?” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik

mengadakan penelitian dengan judul Perbedaan Kemandirian Remaja Ditinjau dari

Status Ibu dan Urutan Kelahiran.



B. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari status ibu dan

urutan kelahiran.

2. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari staus ibu.

3. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian remaja ditinjau dari urutan kelahiran.

4. Untuk mengetahui tingkat kemandirian pada remaja.




C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut