Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)

Abstraksi:
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Saat ini penyakit Tuberkulosis Paru masih dianggap menjadi masalah utama di negara berkembang seperti di Indonesia, hal ini karena berkaitan dengan perilaku, ekonomi dan tingkat sosial budaya masyarakatnya. Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Tuberkulosis. Setiap tahun ada sekitar 8 juta penderita baru TB dan hampir 3 juta orang yang meninggal di seluruh dunia akibat penyakit ini. Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian besar penderita TB adalah masyarakat miskin yang tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan sangat rendah. Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Surakarta.
Jenis penelitian yang digunakan adalah Observational dengan menggunakan desain penelitian Cross Sectional, menggunakan teknik Random Sampling. Sedangkan pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan Simple Random Sampling. Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Surakarta mulai tanggal 5 Juli sampai dengan 25 Juli 2005. Subyek penelitian sebanyak 68 orang responden. Dari hasil analisa statistik Spearman Rank didapatkan P < 0,05 dan harga r =0,013, sehingga dapat diketahui bahwa nilai r hitung lebih kecil dari r tabel (0,298 < 0,381) dan nilai P lebih kecil dari nilai alpa (0,013 < 0,05). Sehingga Ho ditolak jadi dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Surakarta


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk mewujudkan paradigma tersebut pemerintah telah mencanangkan visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesian di masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi- tingginya (Astuti, 2005).
Sampai saat ini penyakit infeksi masih dianggap menjadi masalah utama di negara ini karena berkaitan dengan perilaku, ekonomi dan tingkat sosial budaya masyarakatnya. Salah satu jenis penyakit infeksi yaitu Tuberkulosis Paru. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, yang sampai saat ini belum ada satu negara pun yang dinyatakan bebas Tuberkulosis, sehingga pada tahun 1992 WHO mencanangakan Tuberkulosis sebagai Global Emergency
(Aditama, 2001).
Dewasa ini sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi Tuberkulosis. Setiap tahun ada sekitar 8 juta penderita baru Tuberkulosis dan hampir 3 juta orang yang meninggal di seluruh dunia akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi Tuberkulosis setiap detik dan setiap 10 detik akan ada satu orangyang meninggal akibat Tuberkulosis di dunia. Tuberkulosis membunuh hampir dari satu juta wanita setahunnya, lebih tinggi dari kematian wanita akibat proses kehamilan dan persalinan dan Tuberkulosis membunuh 100.000 anak setiap tahunnya.
Laporan WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah penyumbang kasus terbesar ke tiga di dunia setelah India dan Cina. Setiap tahunnya jumlah penderita baru Tuberkulosis menular adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita baru adalah 583.000 orang setiap tahunnya. Diperkirakan, sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal setiap tahunnya akibat Tuberkulosis ini. WHO menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan Tuberkulosis tetap seperti sekarang ini maka jumlah kasus Tuberkulosis di dunia tahun 2020 akan meningkat menjadi 11 juta jiwa, artinya 200 juta kasus Tuberkulosis dalam dua dekade pertama abad 21 ini. Jumlah kasus Tuberkulosis akan terus meningkat, dari 8,8 juta kasus di tahun ini 1995 menjadi 10,2 juta kasus di tahun 2000 dan 11,9 juta kasus Tuberkulosis baru di tahun 2005 (Aditama, 2001).
Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, Tuberkulosis Paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan nomer satu dari golongan penyakit infeksi. Data Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru (P2 Tuberkulosis Paru) menunjukkan adanya peningkatan kasus Tuberkulosis Paru dari tahun ke tahun. Diperkirakan ada sekitar 450.000 orang penderita, Tuberkulosis Paru setiap tahun dan sebanyak itu pula yang tak terdiagnosa di masyarakat, sedangkan yang meninggal akibat Tuberkulosis Paru diperkirakan 175.000 orang setiap tahun (Gerdunas- Tuberkulosis, 1999).
Khususnya di propinsi Jawa Tengah, menurut Data Kanwil Depkes, pada tahun 2000, sedikitnya 40.300 orang dari 31 juta penduduk Jawa Tengah mengidap Tuberkulosis Paru menular, Sedangkan Kotamadia Surakarta dengan angka 47,7%, diurutan ke-3 setelah Demak 76,3%, Blora 53,6%. Angka tersebut didapatkan dari Rumus Prevalensi Rate 130 per 100.000, artinya setiap 100.000 penduduk ada 130 orang yang terkena Tuberkulosis .
Balai Pengobatan Pusat Paru-Paru (BP4) Surakarta merupakan tempat rujukan pusat penyakit paru-paru di kota Surakarta dan Sekitarnya. Dalam pelaksanaannya BP4 Surakarta mempunyai beberapa program. Salah satunya adalah pemberantasan penyakit menular / Tuberkulosis. Dari data pasien BP4 Surakarta pada tahun 2003 didapatkan data jumlah penderita Tuberkulosis Paru sebanyak 24.360 orang. Dengan perincian pasien dengan BTA positif sebanyak 3,485 orang atau 14,30% dan pasien dengan BTA negative sebanyak 20.875 orang atau 85,69% serta ditemukan pasien yang meninggal sebanyak 11 orang atau 0,04%.
Indikator untuk mengukur keberhasilan program penanggulangan Tuberkulosis adalah penemuan penderita baru Case Detection Rate dan angka keberhasilan pengobatan Succes Rate (SR). Target yang akan dicapai pada tahun 2005 adalah cakupan penemuan penderita baru sebesar 70% dan angka keberhasilan pengobatan sebesar 85% (Depkes RI, 2001).
Sejak 1995 pengobatan yang dilakukan menggunakan metode DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan Gerdunas-Tuberkulosis. Strategi DOTS terdiri dari lima komponen yaitu komitmen politis, diagnosa Tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak kopis, pengobatan dengan panduan obat anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung pengawas pengawas menelan obat (PMO), kesinambungan ketersediaan OAT serta pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan Tuberkulosis. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective (Depkes RI, 2001).
Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian besar penderita Tuberkulosis adalah masyarakat miskin yang tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan sangat rendah. Pengetahuan masyarakat di negara-negara miskin seperti Indonesia tentang Tuberkulosis Paru nampaknya kurang memadai, masih cukup banyak penderita beranggapan bahwa Tuberkulosis Paru disebabkan oleh keturunan serta mengira bahwa Tuberkulosis Paru disebarkan melalui makanan dan minuman. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Fahrudda (1999) yang meneliti tentang analisa faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan Tuberkulosis Paru dan efektifitas biayanya di Kotamadya Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan. Pada penderita dengan tingkat pengetahuan yang rendah tentang penyakit yang diderita lebih dari 2 kali beresiko mengalami kegagalan pengobatan.
Faktor lain yaitu pengawas minum obat, penyuluhan, jangkauan fasilitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit menular yang mengganggu Sumber Daya Manusia (SDM) dan umumnya menyerang kelompok masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah, dan sebagian besar kelompok usia kerja produktif dan berpendidikan rendah. Penyakit ini menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh yang lemah, diperkirakan seorang penderita Tuberkulosis aktif dapat menularkan basil kepada 10 orang disekitarnya (Depkes RI, 1999).
Berdasarkan keterangan dari petugas kesehatan di BP4 Surakarta, didapatkan gambaran umum tentang pengetahuan dan sikap penderita Tuberkulosis Paru di daerah surakarta rata-rata masih rendah. Hal ini ditandai kurangnya kesadaran penderita untuk menjaga lingkungan rumah, kebiasaan meludah disembarang tempat, kecenderungan pasien untuk menutup-nutupi penyakitnya, penderita merasa terisolir dari pergaulannya dan kecenderungan menutup diri. Banyak penderita yang menganggap bahwa Tuberkulosis ditularkan melalui makanan dan peralatan makan yang digunakan bersama. Bahkan ketika pasien datang untuk pertama kalinya di rumah sakit mereka tidak tau tentang penyakit yang dideritanya.
Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka peneliti akan melakukan penelitian tentang “Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Surakarta ”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka didapatkan perumusan masalah sebagai berikut : Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Surakarta.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Surakarta.
2. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
a. Mengetahui karakteristik pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru.
b. Mengetahui karakteristik sikap penderita Tuberkulosis Paru.
c. Mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat memberikan sumbangan, pemikiran dan acuan bagi ilmu pengetahuan secara umum.
2. Bagi Institusi Pelayanan
Dapat memberikan skontribusi untuk mengevaluasi program pengobatan penyakit Tuberkulosis Paru melalui upaya peningkatan pengetahuan dan sikap penderita Tuberkulosis Paru.
3. Bagi Penderita
Dengan mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru maka diharapkan sikap pasien Tuberkulosis Paru menjadi lebih kooperatif dan mendukung pengobatannya, sehingga dicapai angka kesembuhan yang tinggi.
4. Bagi Perawat
Sebagai tambahan reverensi kepustakaan untuk penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan ilmu keperawatan mengenai penanganan penderita Tuberkulosis Paru.

E. Keaslian Penelitian
Sepanjang peneliti telusuri bahwa penelitian mengenai Tuberkulosis Paru sudah banyak dilakukan. Diantaranya oleh Fadlul, M (2000) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan penderita penyakit Tuberkulosis setelah pengobatan jangka pendek (6 bulan) di Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitiannya Observational dengan menggunakan rancangan Case Control Study subyek yang diteliti adalah penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) dengan besar sample 100 penderita (50 kasus dan 50 pembanding) dimana hasil penelitian menggambarkan bahwa faktor resiko yang mempengaruhi kesembuhan adalah jarak rumah penderita
dengan Puskesmas, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) oleh petugas
Puskesmas, frekuensi pengambilan obat, dosis harian obat Anti Tuberkulosis
(OAT), pengawasan di rumah, frekuensi minum obat, penyakit yang menyertai dan gejala samping OAT.
Nugroho, A (2002) meneliti tentang pola perawatan penderita Tuberkulosis Paru di lingkungan keluarga selama pengobatan fase pendek (6 bulan) oleh Puskesmas di kota Yogyakarta. Di mana jenis penelitian diskriptif, dengan suatu pendekatan retrospektif dimana subyek penelitiannya penderita yang telah selesai menjalani pengobatan fase pendek. Hasil penelitian pola perawatan penderita Tuberkulosis Paru di lingkungan keluarga secara keseluruhan, yang menunjukkan kriteria baik adalah perawatan pada masalah psikososial dan pemantauan pengobatan penderita. Sementara untuk perawatan mengenai penataan lingkungan rumah, pemenuhan kebutuhan rasa nyaman, masalah pernafasan dan pemenuhan kebutuhan aktifitas istirahat masuk kriteria cukup baik.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan ini adalah pada jenis penelitian Observational Korelasi dengan rancangan Cross Sectional, lokasi yang berbeda dengan variabel yang berbeda, dimana variabel bebas adalah pengetahuan penderita Tuberkulosis Paru dan variabel terikat adalah sikap penderita Tuberkulosis Paru. Dari berbagai penelitian tentang Tuberkulosis Paru di BP4 Surakarta, belum ada penelitian tentang hubungan antara pengetahuan dengan sikap penderita Tuberkulosis Paru dalam menjalani program di BP4 Surakarta. File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut