Abstraksi:
Remaja merupakan kelompok yang paling peka secara emosional, lekas mengalami depresi dan mudah dipengaruhi. Agar diakui sebagai manusia yang telah dewasa, remaja bergaul dan melakukan hubungan seks. Berdasarkan survei awal di lokasi penelitian, didapatkan keterangan bahwa masih ada beberapa siswa yang hamil di luar nikah. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan pada remaja tentang seks bebas sangat penting karena dapat memberikan pengetahuan yang benar untuk menghadapi masa depannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap Perubahan pengetahuan remaja di Madrasah Aliyah Wilayah Kecamatan Mlonggo Kabupaten XXX. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan rancangan Untreated Control Group with Pretest and Postest. Subjek penelitian terdiri dari 60 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok (eksperimen dan kontrol) dan dilakukan pengukuran yaitu pretest dan postest. Data diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok eksperimen dengan kontrol setelah dilakukan uji statistik. Analisis sampel t-test didapatkan adanya peningkatan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan hasil pengetahuan 0,001 (< 0,05). Hal ini membuktikan penerimaan hipotesis lebih baik atau meningkat dengan pengetahuan sebelum pendidikan kesehatan mean 24.70 dan sesudah pendidikan kesehatan mean 30.43 dengan demikian mempunyai korelasi yang bermakna setelah menerima pendidikan kesehatan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perubahan pengetahuan remaja di Madrasah Aliyah Wilayah Kecamatan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dampak pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang cepat ternyata mengakibatkan degradasi kualitas spritual pada hampir semua kelompok masyarakat. Konsep pola hidup yang serba materialistik telah mengakibatkan turunnya rasa kesetiakawanan sosial. Pola hidup materialistik juga memengaruhi pola didik terhadap anak yang lebih menekankan pada pemanjaan dalam masalah kebendaan sehingga aspek pembinaan spiritual cenderung diabaikan (Suara karya Online, 2005).
Hal tersebut menjadi lebih parah dengan berkembangnya kemajuan teknologi komuniksi, informasi, dan transportasi yang mempercepat proses globalisasi untuk memengaruhi nilai sosial budaya keluarga dengan nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan budaya kita akan mudah merk dan memengaruhi nilai budaya yang kita anut selama ini. Hal itu dikhawatirkan akan berdampak terhadap tumbuhnya generasi yang tidak memiliki semangat juang, ketahanan, dan kemandirian yang andal (Suara karya Online 2005).
Di antara persoalan yang banyak dihadapi para remaja adalah persoalan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi sehat yang bukan saja bebas dari penyakit atau kecatatan, namun lebih dari itu adalah sehat secara mental dan sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi (BKKBN, 2003). Angka hubungan seks sebelum nikah, kehamilan yang tidak diharapkan, angka pengguna narkoba, angka pengidap PMS/ HIV-AIDS, serta ks-ks aborsi di kalangan remaja menunjukkan gejala yang cukup mengkhawatirkan (Suara karya Online, 2005) Memang, masa pancaroba bagi remaja disebut-sebut sebagai periode yang susah-susah gampang bagi orangtua untuk menanganinya. Kebanyakan orangtua mengakui bahwa memberi bekal untuk remaja putri agar mereka mampu menghadapi berbagai gejolak kehidupan sebenarnya tidaklah mudah. Meski orangtua sudah bersusah payah menyediakan berbagai fasilitas, termk pendidikan yang terbaik untuk anak putri mereka, namun toh orangtua takkan sanggup menghindari godaan dunia yang semakin menghadang kehidupan remaja sekarang ini (Dianawati, 2003) Menurut Sapaire (2005) perkembangan teknologi komunikasi yang menyebar berbagai informasi dan hiburan budaya pop, kini semakin deras dan takkan mungkin bisa dibendung hanya dengan mengurung anak di rumah atau dengan menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah. Sesuai dengan perkembangannya, anak-anak putri masa kini tak mungkin dipingit seperti cerita novel "Siti Nurbaya", karena kehidupan menuntut mereka untuk tampil lebih luwes dan lebih bergaul dengan dunia luar. Dengan demikian, berbagai acara darmawisata, diskotek, nonton, ikut klub olahraga, sudah menjadi bagian acara rutin remaja (Suara karya Online,2005).
Hampir semua remaja di belahan dunia mana pun sekarang ini berada dalam situasi yang penuh godaan dengan semakin banyaknya hiburan di media yang menyesatkan. Dengan informasi yang terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, mereka sudah dihadapkan pada berbagai godaan seperti film-film Barat yang menawarkan nilai- nilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya Timur (Suara karya Online, 2005).
Menurut Saparie (2005), berbagai data empiris yang ada, sebenarnya anak-anak remaja putri itu sangat membutuhkan pendidikan seks yang benar. Diakui, sebagian besar masyarakat memang masih meragukan manfaat pendidikan seks itu bagi remaja putri, namun dengan melihat semakin membangkaknya jumlah remaja yang hamil di berbagai belahan dunia, maka pandangan yang masih ragu-ragu itu agaknya perlu segera menyadarinya.
Menurut Saparie (2005), sekitar 60 persen kelahiran anak di kalangan remaja di dunia adalah kehamilan yang tak diharapkan. Satu di antara remaja usia 19 tahun tidak mempunyai akses untuk mendapat kontrasepsi. Oleh sebab itu hanya dengan pendidikanlah untuk dapat menyelamatkan para remaja putri. "Masih di negara berkembang, banyak wanita sudah mempunyai anak pertama pada usia di bawah 18 tahun, sementara wanita-wanita di desa-desa sebagian tidak menyukai kontrasepsi, dan hampir semuanya terpaksa melahirkan dan menemui risiko kehamilan yang cukup gawat,".
Harus diakui, kelompok yang rentan terhadap pengabaian hak-hak kesehatan reproduksi adalah remaja. Mereka adalah korban diam, yang seringkali dihakimi secara tidak adil. Padahal usia remaja adalah usia di mana organ reproduksi rentan terhadap infeksi saluran reproduksi, kehamilan, dan penggunaan obat-obatan. Di mana mereka mendapat hak atas informasi, hak atas pemberdayaan, hak atas pelayanan kesehatan reproduksi, jika mereka membutuhkan kejelasan, atau bahkan menderita infeksi, hamil, mengalami pelecehan dan atau kekerasan seksual. Jika menghitung kuantitas penduduk remaja, jumlahnya tidak dapat diremehkan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia, jumlah dan persentase penduduk Indonesia golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk young people) adalah 64 juta atau sekitar 31 persen dari total seluruh populasi, sedangkan khusus untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolescence), berjumlah 44 juta atau 21 persen. Aset yang potensial ini bukanlah prioritas indikator kesehatan yang penting bagi pemerintah, karena tidak satu pun program pemerintah yang memiliki daya penegakan terukur dalam mencapai target kuantitas dan kualitas kesehatan reproduksi remaja. (Suara Karya Online, 2005) Departemen Kesehatan telah membuat visi tentang Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja pada tahun 1993, dengan indikator keluaran berupa angka kehamilan remaja, angka kematian bayi dari remaja akibat kehamilan di luar nikah, angka kematian remaja akibat hamil di luar nikah, angka kejadian abortus remaja dan angka kejadian penyakit menular seksual (PMS) remaja di fasilitas kesehatan; semua angka-angka ini tidak tampak di dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, yang diterbitkan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2001. Bagaimana hendak membuat program yang terintegrasi, jika pemerintah belum menyatakan "ini penting" demi mencapai kualitas sumber daya manusia Indonesia yang utuh (Sapaire, 2005).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) belum lama ini melakukan penelitian persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi remaja SMU se-DKI Jakarta. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive random, berdasarkan lima wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini melibatkan 500 responden dengan usia responden 15-19 tahun, terdiri dari 59 persen pria dan 41 persen perempuan (Suara karya Online, 2005).
Karakteristik responden terbesar adalah usia 17 tahun (36 persen), kelas 3 (50,6 persen), berasal dari SMU swasta (65 persen) dan uang jajan lebih dari Rp 150.000/bulan sebesar 62 persen. Dari hasil penelitian, diketahui 37 persen responden wanita tidak mengetahui fungsi organ reproduksi pria, 36 persen responden pria tidak mengetahui fungsi organ reproduksi wanita, dan sebesar 34 persen tidak mengetahui apa itu penyakit menular seksual (PMS) (Suara karya Online, 2005).
Sumber informasi seks yang utama bagi remaja SMU ini adalah TV dan majalah (39 persen). Sementara itu, informasi yang paling diinginkan remaja SMU tersebut adalah informasi mengenai PMS, termk HIV/ AIDS kemudian baru mengenai struktur biologis organ reproduksi. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa perilaku seksual responden yang pernah melakukan sanggama sebesar 4,2 persen, dengan wilayah terbesar di Jakarta Timur, yaitu sebesar tujuh persen. Angka yang cukup kecil ini terjadi karena 50 persen dari siswa SMU swasta yang menjadi responden adalah SMU yang bercorak agama (Suara Karya online, 2005) Sesuai dengan komitmen yang dibuat pemerintah pada International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo tahun 1994, antara lain pemenuhan kebutuhan remaja melalui program yang tepat termk pendidikan dan konseling, perlindungan remaja terhadap kekerasan, hubungan seksual yang aman, pelayanan KB, kesehatan reproduksi, PMS, prevensi HIV/AIDS, program prevensi dan perawatan pelecehan seksual remaja (Saparie,2005).
Menurut Saparie (2005) pemenuhan komitmen ini tidak berjalan sistematis dan menyeluruh, mengingat belum ada kebijakan yang memiliki daya penegakan hukum dan pelaksanaan yang terukur untuk mengintegrasikan hak remaja dalam memperoleh informasi, konseling, dan pelayanan kesehatan reproduksi. Selain itu, komitmen ini seharusnya tidak hanya melibatkan Departemen Kesehatan, tetapi juga Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pelibatan Depdiknas penting artinya, karena dengan mknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah, remaja mendapat akses yang terprogram secara bertahap dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan mknya metode pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan guru, akan sangat penting artinya untuk mendapatkan guru yang benar-benar bisa memahami dan menyampaikan informasi seksual dan kesehatan reproduksi kepada remaja.
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja, Indonesia Sehat tahun 2010 memiliki target menurunkan prevalensi permasalahan remaja secara umum termk anemia pada remaja, dan target agar remaja mendapat akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah. Jika target ini hendak dipenuhi, tentu segala mekanisme pelaksanaan dan persiapan lintas sektoral perlu segera dilakukan. Jangan sampai target ini hanya menjadi hiasan semata, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Termk juga ketika korban remaja terus bertambah; diam-diam, tanpa terukur, tanpa terperhatikan karena instrumen pengukuran dan perlindungan legalnya saja tidak ada (Suara karya Online,2005).
Menurut Saparie (2005), Perilaku remaja sekarang sudah amat mengkhawatirkan, hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya ks-ks seperti aborsi, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan infeksi menular seksual (IMS) termk HIV/AIDS. Data dari WHO menunjukkan, kurang dari 111 juta ks infeksi menular seksual diderita oleh kelompok usia di bawah 25 tahun. Kaum muda dan remaja memang sangat berisiko tinggi terhadap PMS termk HIV/AIDS, karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan pencegahannya. Setiap lima menit remaja atau kaum muda di bawah usia 25 tahun terinfeksi HIV dan setiap menitnya 10 wanita usia 15-19 tahun melakukan aborsi tidak aman.
Hasil sebuah studi menyatakan bahwa lebih dari 500 juta usia 10-14 tahun hidup di negara berkembang, dan rata-rata pernah melakukan hubungan suami-isteri pertama kali di bawah usia 15 tahun. Kurang lebih 60 persen kehamilan yang terjadi pada remaja di negara berkembang adalah tidak dikehendaki dan 15 juta remaja pernah melahirkan (Suara karya Online, 2005).
Di Indonesia ks-ks tersebut diperparah dengan kurang adanya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja terutama di tiap sekolah, lemahnya kerjasama lintas sektor dan kecenderungan menganggap LSM pesaing sekaligus musuh pemerintah menjadi hambatan penyelenggaraan program tersebut.
Kita akui memang norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi berbasis sekolah. Semisal masih banyaknya pendapat, permasalahan seks itu tabu untuk dibicarakan kepada mereka yang belum menikah, dengan pendidikan seks justru akan meningkatkan ks-ks seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, dan HIV/AIDS (Suara karya Online, 2005).
Pendidikan reproduksi sehat bagi remaja diberikan dalam keluarga dengan tujuan agar dapat mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015. hal ini dicapai dengan jalan meningkatkan pengetahuan, kesadaran sikap dan perilaku remaja serta orang tua agar peduli dan bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga. Langkah yang perlu diambil adalah memberikan pelayanan kepada remaja yang memiliki permasalahan khusus (BKKBN, 2003).
Puskesmas Mlonggo merupakan salah satu puskesmas di Kecamatan Mlonggo Kabupaten XXX. Pada wilayah tesebut berdiri institusi pendidikan; 15 SMP dan 5 SLTA baik swasta maupun Negeri. Sebagian institusi pernah diberikan pendidikan reproduksi diantaranya Madrasah Aliyah Mathalibul Huda dengan 627 siswa, terdiri dari 380 perempuan dan 247 laki-laki, ini merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan dalam meningkatkan pendidikan reproduksi sehat dikalangan remaja.
Tetapi hasil pendidikan reproduksi tersebut belum mempunyai dampak yang sesuai dengan yang diharapkan, karena ditemukan ks siswa hamil diluar nikah. Hal tersebut menjadi pokok pemikiran penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi terhadap perubahan pengetahuan remaja dan dampak seks bebas terhadap kesehatan.