BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan manusia untuk berkomunikasi, diibaratkan seperti fungsi aliran darah yang mengalir di tubuh mereka. Dengan kata lain, manusia tidak akan mampu menghindari kebutuhan berkomunikasi. Hal ini diperkuat dengan banyaknya literatur Islam, yang menginformasikan kepada umatnya seputar ketidak mampuan manusia guna menghindari kebutuhan berkomunikasi. Hal ini dibuktikan dengan sejarah Nabi Adam as, kepada siapa ia hendak menyampaikan perasan dan pikirannya, oleh sebab itu Allah SWT, menciptakan Hawa sebagai pasangan Adam agar tersalurkannya perasaan dan pikirannya.
Salah satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk selain manusia adalah. kemampuan berkomunikasi, baik secara intrapersonal, interpersonal, maupun berkomunikasi dengan masyarakat luas. Seiring dengan perkembangan zaman, manusia tidak henti-hentinya menciptakan sarana demi sarana untuk mempermudah aktivitas mereka dalam berkomunikasi. Upaya-upaya manusia untuk mewujudkan keinginannya, pada kenyataannya memang terbukti kebenarannya. Banyak literatur sejarah, yang Menyebutkan beberapa peninggalan-peninggalan manusia purba seperti, simbol-simbol dan tulisan-tulisan yang beraneka ragam bentuknya. Berikut penjelasan mengenai bahasa dan cara berkomunikasi yang berlaku pada masyarakat tersebut. Sehingga pada akhirnya usaha dan perhatian manusia di bidang komunikasi telah berhasil menduduki puncak kesuksesan yang patut dibanggakan di Abad ke-21 ini.
Di samping itu, ditemukan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi tidak terbatas pada sesama manusia saja, melainkan, juga berkomunikasi dengan suatu Dzat yang dianggap sebagai Tuhan, Dewa, atau benda-benda yang diyakini mempunyai kekuatan magis. Keinginan manusia untuk berkumunikasi dengan Tuhan, Dewa, atau benda-benda magis ini, pada dasarnya timbul dari lubuk hati manusia dengan tujuan untuk meraih kenikmatan- kenikmatan di luar nilai-nilai materi. Kendati demikian, cara dan bentuk manusia ketika merealisasikan keyakinannya pada Tuhan, Dewa, atau benda-benda magis lainnya, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan dan keragaman knowledge, attitude , dan performance yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat bersangkutan. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan penafsiran dan keyakinan pada tiap-tiap masyarakat, ketika meyakini suatu Dzat yang mereka anggap sebagai Tuhan, Dewa, atau benda-benda magis.
Pernyataan di atas sangat erat dengan pendapat Auguste Comte yang mengatakan bahwa timbulnya perbedaan keyakinan manusia disebabkan adanya tahapan-tahapan teologis yang mempengaruhi bentuk dan cara berpikir manusia. Tahapan pertama disebut dengan tahapan fetiyisme dan animisme. Kedua bentuk berfikir ini, hanya menggambarkan bagaimana manusia menghayati alam semesta dalam individualitas dan partikularitasnya. Manusia purba tidak mengenal konsep-konsep abstrak: benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep-konsep umum, tetapi sesuatu yang individual dan singular. Misalnya, pohon beringin yang berada di depan keraton Yogyakarta, tidak dimengerti sebagai bagian dari satu spesies pohon beringin pada umumnya, tetapi dipahaminya sebagai pohon beringin yang mempunyai nilai khas dan sakral, yang lain daripada pohon-pohon lainnya.
Kemudian, terdapat cara berpikir lain yang lebih maju yang disebut dengan tahapan politeisme, dimana manusia telah mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep sebuah yang lebih universal. Pengelompokan ini didasarkan pada kesamaan-kesamaan di antara mereka. Pada tahapan ini, cara berpikir manusia tidak lagi meyakini bahwa tiap-tiap benda, tiap-tiap pohon, tiap-tiap desa memiliki roh, tetapi lebih universal dari itu, bahwa Dewi Sri-lah yang menghuni dan memelihara seluruh sawah dan ladang di semua desa manapun.
Pada tahapan ketiga, manusia telah menunjukkan cara berpikir yang lebih berkualitas jika dibandingkan dengan dua cara berpikir yang telah dijelaskan di atas. Pada tahapan ini, manusia tidak lagi meyakini adanya banyak roh pada tiap-tiap benda dan kejadian-kejadian, melainkan hanya menyakini adanya satu roh saja, yakni Tuhan. Tuhan dipandang sebagai satu-satunya Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari satu kekuatan tunggal yang bersifat rohaniah, yaitu Tuhan.
Sementara Islam, menolak keanekaragaman penyebab terjadinya perbedaan keyakinan manusia sebagaimana yang telah diutarakan Comte pada penjelasan diatas. Penolakan Islam, beranjak dari bukti-bukti yang tidak dapat diganggu-gugat keabsahannya dalam menjelaskan fenomena-fenomena mengenai kecenderungan manusia untuk menghamba pada Tuhan Yang Esa. Kecenderungan ini, secara tidak langsung menafikan adanya tahapan-tahapan teologis yang mempengaruhi manusia untuk menghamba kepada Tuhan, Dewa, atau benda-benda magis di sepanjang sejarah perkembangan pola pikir dan sikap keberagamaan manusia.
Alih-alih manusia menghamba pada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT, telah termaktub dalam kitab Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Terlebih lagi Al-Qur’an, secara khusus membahas lebih luas tentang kecenderungan manusia untuk menghamba pada Allah SWT semata-mata. Al-Qur'an menyebut kecenderungan ini dengan sebutan “fitrah” yang melekat pada setiap diri manusia. Dengan bahasa lain, fitrah merupakan semacam perangkat-perangkat khusus yang hanya diciptakan bagi manusia, untuk menangkap signal-signal ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, ditanamkannya fitrah pada diri manusia, berfungsi sebagai sarana yang selalu mengantarkan manusia pada kebenaran yang tidak bertentangan dengan moral dan akal manusia. Sehingga dengan fitrahnya manusia menyadari bahwa keberadaan dirinya dan alam di sekitarnya menimbulkan ketundukan dan kepatuhan pada kekuatan yang menciptakan diri dan alam semesta. Dari sini, kita bisa melihat bahwa, salah satu nilai yang tampak dari fitrah manusia yaitu, keinginan untuk menghamba kepada Tuhan Yang Esa.
Pada tataran ini, bentuk dan cara manusia dalam merealisasikan keinginannya bukan lagi pada dewa-dewa, patung-patung, atau benda-benda magis yang jelas tampak kekurangan dan kelemahannya untuk dijadikan sebagai tujuan dari penghambaan. Sebagai gantinya, manusia merealisasikan keinginan dan kecenderungan penghambaan tersebut kepada Tuhan yang memang layak dan patut di sembah berdasarkan fitrahnya. Hal ini telah ditegaskan di dalam ayat Al-Qur'an yang berbunyi: