PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Konsumsi susu pada saat remaja terutama dimaksudkan untuk
memperkuat tulang sehingga tulang lebih padat, tidak rapuh dan tidak mudah terkena
risiko osteoporosis pada saat usia lanjut. Agar tulang menjadi kuat, diperlukan asupan zat
gizi yang cukup terutama kalsium. Kalsium merupakan zat utama yang diperlukan dalam
pembentukan tulang, dan zat gizi ini antara lain dapat diperoleh dari susu. Pada susu juga
terkandung zat-zat gizi yang berperan dalam pembentukan tulang seperti protein, fosfor,
vitamin D, vitamin C dan besi. Selain zat-zat gizi tersebut, susu juga masih mengandung
zat-zat gizi penting lainnya yang dapat meningkatkan status gizi.
Usia remaja merupakan masa yang penting dalam kelangsungan hidup manusia.
Masa ini merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai
dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat baik fisik maupun mental, aktivitas
yang makin meningkat serta sering disertai dengan perubahan pola konsumsi pangan.
Menurut WHO (1989) dalam Wall (1998), remaja adalah mereka yang berusia antara 10
hingga 24 tahun.
Untuk mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat, tubuh
memerlukan zat gizi yang lebih banyak dan lebih berkualitas, sehingga apabila tidak
diimbangi dengan pola konsumsi pangan yang sehat, masa remaja dapat menjadi masa
yang rawan gizi. Salah satu zat gizi yang diperlukan pada masa remaja ini adalah
kalsium. Menurut Khomsan (2004), retensi kalsium pada remaja pria tiga kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pada masa usia pra sekolah. Pada masa pra usia sekolah retensi
kalsium sebagai tulang adalah sebesar 100 mg/hari.
Pada usia remaja terjadi pembentukan jaringan tulang. Massa jaringan tulang
total pada tubuh 45% terbentuk pada saat remaja dan puncak kepadatan tulang dicapai
pada saat remaja akhir Masa pertumbuhan tulang sangat membutuhkan zat kalsium yang
terutama dapat diperoleh dari susu sebagai sumber utama kalsium (Matkovic et al.
1994). Selain itu, masa remaja dapat dianggap sebagai masa terakhir dalam perbaikan
gizi yang optimal, karena setelah melewati masa ini, perbaikan gizi sebagian besar hanya
bermanfaat untuk mempertahankan kebugaran tubuh.
Masa remaja merupakan masa puncak aktivitas. Pada masa ini umumnya sangat
sibuk dengan kegiatan baik yang bersifat kurikuler (kegiatan akademis) maupun kegiatan
non-kurikuler (di luar kegiatan akademis). Kegiatan kurikuler yang dilakukan antara lain
adalah kegiatan belajar, mengerjakan tugas-tugas dan lain-lainnya, sedangkan kegiatan
non-kurikuler seperti bermain, olah-raga serta kegiatan fisik lainnya. Pada umumnya
pada remaja pria porsinya lebih tinggi dibandingkan dengan remaja wanita. Kondisi
seperti ini tentunya sangat memerlukan asupan gizi yang tinggi dan berkualitas.
Susu merupakan sumber utama kalsium masyarakat di negara-negara Barat,
sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, susu masih dianggap sebagai
bahan pangan mahal, sehingga hanya mampu dijangkau oleh masyarakat golongan
ekonomi menengah ke atas. Menurut Khomsan (2006), di negara-negara Barat, kebiasaan
minum susu telah mendarah daging sejak anak masih kecil hingga dewasa, sedangkan di
negara-negara berkembang upaya penggalakan minum susu masih menghadapi kendala
status ekonomi penduduk yang umumnya rendah.
Susu yang biasa dikonsumsi dan diperdagangkan saat ini pada umumnya adalah
susu sapi. Susu tidak hanya dapat dikonsumsi dalam bentuk cair, bahan pangan ini juga
dapat diolah dan dikonsumsi dalam berbagai bentuk seperti yoghurt, yakult, keju,
mentega dan berbagai bentuk olahan susu bubuk dan susu kental manis. Pada
perkembangan selanjutnya, dengan tujuan meningkatkan kualitas susu (dan juga untuk
lebih menarik minat konsumen), bentuk olahan susu banyak yang diperkaya dengan zat
gizi tambahan, misalnya dengan zat gizi kalsium (yang dikenal sebagai susu high
calcium). Selain itu ada juga dengan cara mengurangi kadar lemak susu (low fat)
sehingga secara proporsional kandungan gizi lainnya termasuk kalsium menjadi lebih
tinggi (high calcium). Jenis susu ini biasanya terdapat dalam bentuk susu bubuk yang
pada pengolahannya memerlukan suhu sangat tinggi, sehingga dapat menurunkan
kandungan gizi susu. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas dan untuk
mempertahankan kandungan gizi pada susu bubuk, seringkali dilakukan melalui proses
pengayaan (enrichment) zat gizi.
Susu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis susu berkalsium tinggi
(high calcium) dan susu segar cair (fresh milk) komersial yang dikonsumsi sebagai
minuman. Susu ini belum diubah komposisi gizinya dan diolah dengan menggunakan
pemanasan melalui proses UHT (Ultra High Temperature). Melalui pemanasan dengan
metode UHT, pada umumnya bakteri akan mati, khususnya yang bersifat patogen
sehingga susu terlindung dari kerusakan akibat kontaminasi bakteri yang dapat merusak
susu dan menimbulkan penyakit. Susu UHT yang digunakan dipanaskan pada suhu 1400
C selama empat detik, selanjutnya dikemas dengan menggunakan wadah (dus) aseptik
multilapis, sehingga dapat terhindar dari kontaminan yang berasal dari luar wadah.
Menurut Brown (2000), susu jenis ini umumnya dipanaskan pada suhu 1380-1500 C
selama 2–6 detik dan dapat disimpan di dalam suhu ruang dengan waktu lebih dari 3
bulan.
Menurut Weaver (2000), perubahan pola konsumsi pangan yang menonjol pada
remaja adalah perubahan konsumsi minuman. Remaja, terutama remaja putra, cenderung
lebih suka mengonsumsi minuman yang sedang populer atau digemari di kalangan
remaja dengan kurang bahkan tanpa memperhatikan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Selanjutkan dikatakan bahwa sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahannya,
akan tetapi terdapat kecenderungan pada remaja untuk menggantikan susu sebagai
minuman utama dengan minuman ringan (soft drink). Volek et al. (2003), melaporkan
bahwa perubahan konsumsi minuman di kalangan remaja ini berkontribusi pada asupan
yang rendah gizi termasuk kalsium. Lebih dari separuh remaja (di Amerika)
mengonsumsi susu kurang dari sekali sehari, sedangkan yang dianjurkan adalah sebanyak
tiga kali sehari. Di Indonesia, menurut Khomsan (2004), konsumsi susu rata-rata hanya
sekitar 0,5 gelas per minggu setiap orang.
Seseorang yang mengonsumsi susu dalam jumlah yang rendah pada saat anakanak
dan remaja, memiliki risiko kurangnya kepadatan tulang dan terjadinya osteoporosis
pada saat dewasa dan lanjut usia (Kalkwarf et al. 2003). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Volek et al. (2003) dengan pemberian susu dan jus buah selama 12 minggu pada dua
kelompok remaja putra yang sedang mengikuti pelatihan olahraga, menunjukkan bahwa
pada kelompok yang diberi susu tercatat secara nyata memiliki asupan kalsium dan
kepadatan tulang yang lebih tinggi daripada kelompok yang diberi jus buah. Pada remaja
wanita, yang diteliti oleh Cadogan et al. (1997), menunjukkan bahwa pemberian
minuman susu juga secara nyata dapat meningkatkan kepadatan tulang, akan tetapi tidak
menambah berat badan atau lemak tubuh.
Di Indonesia, pada moto gizi empat sehat lima sempurna, susu terletak pada
urutan paling terakhir yaitu pada kelompok lima sempurna. Hal ini karena susu masih
dianggap barang mahal dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat banyak. Kondisi ini
dapat dilihat dari konsumsi susu yang masih rendah, yaitu hanya 5,10 kg/orang/tahun
(Khomsan 2004). Sementara itu, ukuran per saji untuk konsumsi susu sampai saat ini di
Indonesia belum baku. Ukuran per saji secara komersial yang ada saat ini adalah berkisar
antara 180 ml dan 250 ml. Di dalam anjuran jumlah per saji menurut kecukupan energi,
juga belum tercantum untuk kelompok umur 16-18 tahun dan 19-26 tahun untuk bahan
pangan susu (Depkes 2002).
Penelitian yang berhubungan dengan kepadatan tulang yang telah dilakukan
selama ini sebagian besar hanya terfokus pada wanita dan manula, sedangkan penelitian
kepadatan tulang pada pria, khususnya remaja pria, masih kurang. Penelitian kepadatan
tulang pada remaja pria seharusnya juga sama pentingnya seperti pada wanita. Walaupun
kejadian osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita, akan tetapi tingkat kematian
akibat patah tulang karena osteoporosis lebih tinggi terjadi pada pria dibandingkan
wanita. Menurut Campion dan Maricic (2003), tingkat kematian akibat patah tulang pada
pria mencapai 31%, sedangkan pada wanita hanya 17%. Selanjutnya, menurut Andersen
et al. (2000), prevalensi osteoporosis pada usia di bawah 50 tahun lebih tinggi terjadi
pada pria (14,3%) dibandingkan pada wanita (5,4%). Kondisi ini terutama karena pola
konsumsi pangan tidak sehat yang sering dilakukan oleh pria. Menurut analisis
Puslitbang Gizi dan Makanan, penderita osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan yaitu sebesar 19,7%. Kecenderungan osteoporosis ini enam kali
lebih tinggi dibandingkan dengan osteoporosis di negeri Belanda (Depkes 2004).
Penelitian yang terkait dengan kesehatan tulang yang dilakukan di Indonesia pada
umumnya bersifat retrospektif, sedangkan penelitian yang bersifat eksperimental,
khususnya yang menggunakan susu komersial untuk remaja pria, sejauh ini belum
ditemui. Selain itu, hasil-hasil penelitian tentang pengaruh konsumsi susu terhadap
kepadatan tulang masih bersifat kontroversi. Menurut Weinsier dan Krumdieck (2000),
dari sebanyak 57 studi, 53% menunjukkan tidak terdapat pengaruh antara konsumsi susu
terhadap kepadatan tulang, 42% menunjukkan pengaruh positif dan 5% menunjukkan
pengaruh negatif terhadap kepadatan tulang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini perlu dilakukan
khususnya untuk lebih jelas mengetahui pengaruh pemberian susu berkalsium tinggi
terhadap kepadatan tulang remaja pria. Dari penelitian ini diharapkan akan dapat
diketahui lebih jauh tentang masalah kepadatan tulang pada pria remaja dan hubungannya
dengan konsumsi susu.