Perlakuan BPHTB Terhadap Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Umum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotongroyongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan.
Pajak telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam penerimaan negara. Hal ini terlihat dalam Anggaran Perbelanjaan dan Belanja Negara tahun 2005 dimana penerimaan pajak mencapai 70 persen (70%) baik pajak dalam negeri maupun pajak perdagangan internasional (lihat lampiran 1). Peningkatan penerimaan dari sektor pajak ini tidak dapat dilepaskan dari upaya tax reform tahun 1984 yang kemudian dilanjutkan dengan tax reform di tahun 1994. Tax reform pertama telah meletakkan landasan bagi terbentuknya sistem perpajakan yang lebih menjamin pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhaan, penutupan peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang serta memberikan pengaruh positif di bidang ekonomi.
Tax reform yang kedua dilakukan untuk memberikan landasan hukum di bidang perpajakan yang disempurnakan agar mampu meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan tetap memperhatikan asas keadilan, kesederhanaan serta kepastian hukum, dan menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang dihadapi. Undang-undang pajak dibuat untuk menggali potensi pajak secara optimal. Salah satu pos penerimaan pajak yang baru dikeluarkan pada tahun 1997 adalah dikeluarkannya Undang-undang (UU) Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disingkat BPHTB) yang tertuang dalam UU No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dalam UU No. 20 tahun 2000.
Sejalan dengan tujuan dilakukannya reformasi perpajakan tahun 2000, prinsip kepastian hukum, keadilan dan netralitas mutlak diperhatikan dalam pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam rangka penerimaan negara, mendorong, kegiatan ekonomi, dan pemerataan dalam pembebanan pajak.
Dasar hukum utama yang melandasi BPHTB adalah pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial diantaranya memenuhi kebutuhan dasar sebagai tempat tinggal, lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan bagi pemiliknya. Disamping itu, dari segi fungsi ekonomi, bangunan dapat memberi manfaat ekonomi karena dianggap memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi pemiliknya. Dengan demikian, wajar bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Harta tetap dalam ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 No. 27.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sekarang biasa disebut Undang-undang Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku lagi, karena semua sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang tentang Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas tanah pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.
Berdasarkan pertimbangan hal tersebut diatas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diberlakukannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas sebuah peristiwa hukum berupa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, bukan tanah atau bangunannya itu sendiri. Hak atas tanah yang dimaksud hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimaksud dalam UU BPHTB meliputi pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Selain itu perolehan hak juga dapat terjadi oleh sebab pemberian hak baru karena kelanjutan hak maupun diluar pelepasan hak atas tanah dan atau bangunan.
Namun demikian, tidak semua objek berupa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan akan dikenai BPHTB. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 UU BPHTB, terdapat beberapa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak dikenai BPHTB. Objek pajak tidak kena pajak antara lain adalah hak perolehan yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; negara untuk pennyelenggaraan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri; orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; karena wakaf; karena warisan dan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pengalihan aset dan kewajiban seperti tanah dan bangunan dapat terjadi dalam hal perubahan bentuk perusahaan umum milik pemerintah menjadi perusahaan perseroan. Perusahaan umum (Perum) adalah perusahaan yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sedangkan Perusahaan Perseroan (PT) merupakan perusahaan yang berstatus seperti perusahaan swasta biasa, sehingga modalnya dapat dimiliki pemerintah sebagai pemegang saham dengan penyertaan modal tertentu dan dapat pula sahamnya dimiliki oleh masyarakat. Misi yang diemban oleh Persero berbeda dengan Perum, yaitu untuk mencari keuntungan sehingga segala kegiatan usahanya bersifat komersial . Perubahan ini dilaksanakan antara lain dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha perusahaan.

B. Pokok Permasalahan
Pengenaan BPHTB yang telah diberlakukan pada 1 Januari 1998 merupakan Undang-undang yang baru bagi perpajakan nasional pasca reformasi. Ekstensifikasi objek pajak BPHTB semakin meningkat, hal ini terlihat dengan diubahnya Undang-undang BPHTB Nomor 21 tahun 1997 dengan Undang-undang BPHTB Nomor 20 tahun 2000. Terdapat objek pajak BPHTB yang masih dianggap tidak sesuai dengan asas keadilan atas suatu perubahan bentuk usaha satu menjadi bentuk usaha lainnya yang mengakibatkan pengalihan hak atas tanah dan bangunan.
PT “XYZ” (Persero) Tbk telah mengalami perubahan bentuk usaha salah satunya adalah perubahan bentuk Perusahaan Umum (Perum) “XYZ” menjadi PT “XYZ” (Persero). Dalam perubahan bentuk usaha ini mengakibatkan terjadinya pengalihan asset dan kewajiban milik Perum “XYZ” kepada Persero “XYZ” seperti tanah dan bangunan. Pengalihan hak tanah dan bangunan ini memiliki aspek perpajakan antara lain BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).
Dengan demikian pokok permasalahan dalam skripsi ini yang akan dianalisis antara lain :
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut