Evaluasi Kemampuan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Membiayai Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah KabupatenKota)

BAB I

PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tuntutan reformasi disegala bidang yang didukung oleh seluruh

masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah, membawa

dampak terhadap hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Otonomi yang

luas serta perimbangan keuangan yang adil, proporsional dan transparan antar

tingkat pemerintah menjadi salah satu tuntutan daerah dan masyarakat. Oleh

karena itu, MPR sebagai wakil rakyat menjawab tuntutan tersebut dengan

menghasilkan beberapa ketetapan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Salah

satu ketetapan MPR dimaksud adalah ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998

tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber

Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Berdasarkan ketetapan MPR tersebut pemerintah telah mengeluarkan satu paket

kebijakan tentang otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang otonomi daerah yang dimulai

sejak tanggal 1 Januari 2001 yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan

Undang-Undang No. 25 tahun 1999, yang dititikberatkan pada daerah

kabupaten/kota membawa konsekuensi bahwa daerah harus mampu melaksanakan

otonomi daerah.



1








Menurut Undang-Undang No.22 tahun 1999, Otonomi daerah adalah

kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan hal tersebut

peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan

kemandirian yang selalu didambakan pemerintah daerah. Terlepas dari perdebatan

mengenai ketidaksiapan pemerintah daerah di berbagai bidang untuk

melaksanakan kedua Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diyakini

merupakan jalan yang terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah,

menggantikan konsep pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap

sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin membesarnya

ketimpangan antar daerah.

Didalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen dasar yang

diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Keempat elemen

dasar tersebut menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Anita Wulandari,

2001:17), adalah desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi

administratif dan desentralisasi ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi

kewajiban daerah untuk mengelolanya secara efisien dan efektif, sehingga dengan

demikian akan terjadi kemampuan atau kemandirian suatu daerah untuk

melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan

oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut adalah desentralisasi

fiskal (fiscal decentralization) yang merupakan komponen utama dari

desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini menandai



2








dimulainya sebuah babak baru dalam pembangunan daerah. Pembangunan

ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan

masyarakatnya mengelola sumber daya atau segenap potensi yang dimiliki untuk

mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.

Menurut Abdul Halim (2000:35), dikeluarkannya kedua Undang-Undang

tersebut telah membuka jalan bagi pelaksanaan reformasi sektor publik di

Indonesia. Dimensi reformasi tersebut tidak saja sekedar perubahan format

lembaga, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk

mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis,

efisien, efektif, transparan, dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi benar-benar

tercapai.

Sampai saat ini didalam membiayai kegiatan pemerintah dan

pembangunan di kabupaten atau kota tersebut sebagian besar masih tergantung

pada penerimaan yang berasal dari bantuan pemerintah pusat. Dengan adanya

otonomi daerah, setiap daerah dituntut untuk lebih mampu dalam membiayai

sendiri pemerintahan dan pembangunan melalui sumber-sumber keuangan daerah

sendiri (pendapatan asli daerah/PAD) yang dimiliki secara optimal.

Masalah kemampuan keuangan daerah merupakan suatu dilema bagi

daerah otonom. Disatu pihak, dengan prinsip otonomi daerah, undang-undang

mewajibkan daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri,

baik urusan rutin maupun tugas dalam pembangunan daerah. Tetapi dilain pihak

pembiayaan urusan rutin rumah tangga daerah otonom harus dibantu oleh

pemerintah pusat. Potensi yang dimiliki pemerintah daerah sangat menentukan



3








dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan

rumah tangganya. Sekarang banyak ditemukan antara beban tugas yang harus

dikerjakan tidak seimbang atau konsisten dengan kondisi serta situasi keuangan

daerah itu sendiri. Kewajiban otonomi tersebut membutuhkan biaya yang

seharusnya disediakan sendiri oleh daerah dari sumber keuangan yang telah

dilimpahkan oleh pemerintah pusat dan sumber lain yang ada di daerah.

Salah satu ciri utama daerah mampu melaksanakan otonomi (dalam

Yuliati, 2001:22), adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat

ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin kecil

dan diharapkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian

terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu faktor yang sangat penting

dalam melaksanakan roda pemerintahan di suatu daerah yang berdasar pada

prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggungjawab. Peranan pendapatan asli

daerah (PAD) dalam keuangan daerah menjadi salah satu tolok ukur dalam

pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh

dan menghimpun pendapatan asli daerah (PAD) maka akan semakin besar pula

tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan otonomi daerah.

Berbagai penelitian sebelumnya di antaranya penelitian yang dilakukan

oleh Anita Wulandari (2001:17), yang berjudul kemampuan keuangan daerah

studi kasus kota Jambi, menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah,



4








kota Jambi dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah

yang dapat dilihat dari rendahnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).

Widodo (2001-259), dengan penelitiannya yang berjudul analisis rasio keuangan

APBD kabupaten Boyolali menyebutkan bahwa kemandirian pemerintah daerah

kabupaten Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan

tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih

relatif rendah dan bahkan cenderung turun. Penelitian yang dilakukan oleh

Kifliansyah (2001:319) yang berjudul analisa realisasi anggaran pendapatan dan

belanja daerah (APBD), menyebutkan bahwa kemampuan pendapatan asli daerah

(PAD) kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam menopang kemampuan pembiayaan

pengeluaran masih rendah dan masih didominasi oleh dana alokasi umum (DAU)

dan dana alokasi khusus (DAK).

Sudah empat tahun otonomi daerah telah dilaksanakan. Dari segi kesiapan

finansial, pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah ada beberapa daerah yang

merasa belum siap, tetapi ada sebagian yang merasa sudah siap untuk

melaksanakan otonomi daerah. Sehingga antara daerah yang satu dengan daerah

yang lain akan terjadi perbedaan, terutama dalam hal kemampuan keuangan

daerah.

Berdasar pada beberapa uraian dan penelitian sebelumnya, penulis

menjadikan kondisi tersebut sebagai bahan penelitian. Judul skripsi yang penulis

ajukan adalah "EVALUASI KEMAMPUAN KEUANGAN PEMERINTAH

DAERAH DALAM RANGKA MEMBIAYAI PENYELENGGARAAN

OTONOMI DAERAH."



5








B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasar latar belakang diatas maka perumusan masalah pada penelitian

ini adalah bagaimana kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam membiayai

penyelenggaraan otonomi daerah apabila ditinjau melalui analisis rasio anggaran

pendapatan dan belanja daerah (APBD).


C. PEMBATASAN MASALAH

Pembatasan masalah perlu dilakukan di dalam penelitian. Dalam

penelitian ini hanya membatasi pada masalah kemampuan keuangan daerah di

lima daerah karesidenan Surakarta (Boyolali, Klaten, Wonogiri, Sukoharjo, dan

Surakarta) melalui analisis rasio APBD (kemandirian, derajat desentralisasi fiskal,

kemampuan pembiayaan pengeluaran, dan pertumbuhan) tahun anggaran 2001-

2004 dalam rangka membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.


D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut