Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemahaman Pengelola Bisnis Eceran Besar Terhadap Perhitungan Laba Bersih

BAB I

PENDAHULUAN


Dunia bisnis modern dan liberalisasi perdagangan telah memasuki era

keemasan ditandai oleh maraknya dunia perdagangan dunia dengan

beranekaragam komoditi perdagangan. Adanya kemajuan diberbagai bidang

seperti ilmu pengetahuan, teknologi, telekomunikasi, teknologi informasi,

jaringan transportasi dan sektor-sektor kehidupan lainnya menyebabkan arus

informasi semakin mudah dan lancar, mengalir antar individu dan atau

kelompok dunia sudah terasa ibarat sebuah dusun global (global village),

batas-batas geografis maupun negara sudah tidak lagi signifikan. Hal ini

memungkinkan manusia untuk mencapai taraf hidup yang serba modern,

canggih, serta cepat dan multi dimensi. Akibatnya konsumen semakin terdidik

banyak menuntut dan memiliki posisi tawar menawar (bargaining positions)

yang semakin kuat.

Berkembangnya perekonomian global dapat dilihat dengan berbagai

karakteristik, seperti perdagangan barang jauh lebih pesat apabila

dibandingkan produksi dana. Selain itu, perpindahan modal (investasi

langsung asing) juga berkembang lebih cepat dari pada perdagangan barang;

semakin terbukanya, berbagai perekonomian nasional, seperti RRC negara-

negara di kawasan Eropa Timur dan Rusia; serta pemulihan ekonomi

1




2



berkembang yang sebelumnya terkena krisis ekonomi (terutama di kawasan

Asia), dilihat dari berbagai karakteristik di atas, maka kesiapan dunia usaha

dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat haruslah didukung oleh

adanya sumber-sumber informasi akuntansi yang dapat diandalkan, dimana

informasi keuangan menjadi dasar pengambilan keputusan operasional dan

strategi yang penting.

Sekarang ini masyarakat sudah tidak lagi memandang sebelah mata atau

beranggapan bahwa retail business hanya sekedar “berjualan barang

kelontong”, tetapi ia telah berkembang menjadi departemen store yang

berukuran besar. Hal tersebut merupakan proses perubahan retailing yang

selalu berkembang dari waktu ke waktu, yang semula bermula dari usaha

eceran kecil-kecilan. Maka diantara sekian banyak industri lainnya, industri

retailing (eceran) telah mencapai tingkatan yang sedemikian kompleks dan

dinamis. Manajemen eceran merupakan salah satu arena manajemen yang

rumit dan penuh tantangan.

Usaha eceran atau bisnis perdagangan eceran adalah usaha yang banyak

dilakukan orang yang memiliki modal. Hal itu merupakan tuntutan masyarakat

yang menginginkan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja,

khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan kebutuhan

lainnya serta sebagai media promosi bagi para pedagang dan pabrikan.

Persaingan bisnis retail kini semakin besar. Indikasinya, terlihat dari retail



3



yang didirikan dengan berbagai strategi yang dilakukan dengan tujuan untuk

memikat serta memberikan kemudahan bagi konsumen. Hal tersebut

dikarenakan kebutuhan dan keinginan mereka semakin berkembang dan

semakin kompleks. Menurut Gregorius Chandra (2001) mereka menuntut

enam hal sekaligus, yaitu:

1. Produk berkualitas tinggi (high quality)

2. Harga yang wajar (fair price)

3. Penyerahan produk yang cepat (fast delivery)

4. Layanan khusus (special service)

5. Produk yang memiliki tingkat fleksibilitas tinggi (high flexibility)

6. Akrab dengan pemakai (user friendly)

Peranan pengecer dalam aliran barang dan jasa dari produsen sampai

ke tangan konsumen menempati posisi yang sangat penting dalam arti

menempati ujung tombak utama kegiatan distribusi barang dan jasa karena

langsung berhadapan dengan konsumen. Mengacu pada pendapat (Philip

Kotler, 1994: 660), bahwa usaha eceran meliputi semua bentuk distribusi

barang dan jasa yang langsung ke tangan konsumen. Sesungguhnya bisnis

usaha meliputi ruang lingkup yang sangat luas karena kebutuhan manusia

yang selalu berkembang dan semakin kompleks.



4



Fakta yang ada tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan utama dari

perusahaan bisnis adalah perolehan laba (Cerepak dan Taylor, 1987:9). Selain

sebagai target utama laba juga prediktor yang akurat apakah usaha yang

dijalankan mampu bertahan dalam jangka panjang, layak untuk dipertahankan

dan juga sebagai bahan pertimbangan dalam meneliti dan menilai bidang

usaha yang dijalankan merupakan lahan terbaik untuk berwirausaha. Hal ini

terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati Winarsih (1998)

terhadap perusahaan kecil, disimpulkan bahwa pengendalian atas laba dapat

dipergunakan untuk pengangguran bagi perusahaan kecil yang baru berdiri

sehingga dengan modal yang terbatas dapat beroperasi dalam kapasitas penuh.

Laba bersih (net income) akan nampak pada laporan laba rugi yang

merupakan bagian dari laporan keuangan, selain neraca dan laporan perubahan

modal. Nilai perolehan laba bersih tidak akan lepas dari metode yang

digunakan dalam penilaian dan pengakuan atas pencatatan transaksi adalah

dengan dasar kas (cash basis) dan dasar akrual (accrual basis). Pemilihan

salah satu diantara kedua metode tersebut akan menimbulkan dampak yang

berbeda bagi bobot laporan keuangan yang dihasilkan. Dasar kas umumnya

digunakan bagi perusahaan kecil, perusahaan perorangan dan bagi profesi

tertentu. Sedangkan dasar akrual menggunakan dua prinsip akuntansi, yaitu

prinsip realisasi penerimaan dan prinsip mempertemukan. Pembahasan lebih

lanjut mengenai kedua metode tersebut akan disajikan pada bab berikutnya.



5



Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti Setyaningsih (1998)

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Laba dan arus kas merupakan prediktor yang signifikan untuk laba dan

arus kas mendatang.

2. Laba berpengaruh lebih besar dibandingkan dengan arus kas terhadap laba

mendatang.

3. Laba dan arus kas prediktor yang valid dan efisien untuk laba mendatang.

Perusahaan eceran yang terdapat di daerah Sragen pada umumnya

merupakan perusahaan kecil berbentuk perusahaan perseorangan di bawah

binaan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal

(Diperindagkop dan Pendal) Sragen menurut data yang diperoleh dari Kantor

Diperindagkop dan Pendal, perusahaan eceran di Daerah Sragen dikelola

langsung oleh pemiliknya, dan ada juga yang dipercayakan kepada orang lain,

dengan masa kerja, serta tingkat pendidikan.

Untuk daerah Sragen dengan dasar penggolongan Peraturan Daerah

Nomor 9 tahun 2003 tentang Ijin Usaha Industri, Ijin Usaha Perdagangan dan

Tanda Daftar Gudang ke dalam 3 kelompok, yaitu: perusahaan eceran kecil,

perusahaan eceran menengah, dan perusahaan eceran besar. Dasar yang

digunakan dalam melakukan pengelompokan adalah besarnya modal yang

diinvestasikan dalam mendirikan perusahaan eceran. Perusahaan dengan

modal antara Rp 0 – Rp 200 juta merupakan perusahaan eceran kecil.



6



Perusahaan eceran menengah dengan modal antara Rp 200 juta – Rp 500 juta.

Sedangkan perusahaan dalam kategori perusahaan eceran besar adalah yang

memiliki modal di atas Rp 500 juta.

Peranan pemerintah bagi dunia usaha eceran adalah sebagai pembina,

dalam arti membuat seperangkat peraturan untuk mengatur keberadaan usaha

eceran dalam rangka memajukan ke hadapan dunia usaha eceran. Sementara

bagi para pengecer sendiri juga perlu memahami segala seluk beluk usaha

eceran, sehingga investasi yang dilakukan tidak sia-sia.

Pemilihan daerah Sragen sebagai lokasi penelitian didasari oleh fakta

bahwa daerah Sragen yang merupakan kota kecil merupakan sebuah wilayah

yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya. Sragen relatif

lebih pesat dibandingkan daerah dati dua disekitarnya. Padahal sebenarnya

Sragen hanya terdiri dari 20 kecamatan ini, sama sekali tidak memiliki sumber

daya alam yang dapat dibanggakan. Kehidupan Kota Sragen sangat ditopang

limpahan rezeki dari dinamika pembangunan dan perkembangan ekonomi

daerah sekitarnya.

Kota Sragen dengan luas 54.632 yang berpenduduk 860.932 jiwa,

perdagangan tumbuh subur. Dimana terdapat 243 pengusaha eceran yang

melakukan kegiatan usaha di wilayah Kota Sragen dan tercatat di

Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen dengan menyerap tenaga kerja dari



7



berbagai latar belakang yang berbeda dari sisi pendidikan, pengalaman kerja

dan latar belakang ekonomi (BPS Sragen, 2003). Jumlah tersebut diperkirakan

hanyalah sekitar 35% dari seluruh pedagang eceran yang ada di Kota Solo.

Sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah pedagang eceran sesungguhnya

yang ada tetapi tidak tercatat di kantor Diperindagkop dan Pendal Kota Sragen

adalah lebih banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Sragen tahun

2003, dari sektor perdagangan dan jasa telah memberikan kontribusi terbesar

sebesar 35,05% terhadap Produk Domestik Regional Brutto (PDRB).

Sementara dari sektor pertanian 29,63%, sektor keuangan 10,90%, sektor

angkutan 10,60%, sektor industri 10,45%, sektor listrik dan air 1,68%, sektor

bangunan sebesar 1,65% dan terakhir dari sektor galian sebesar 0,06%. Maka,

dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terlihat bahwa

sektor perdagangan dan jasa menempati posisi penting perkembangan

ekonomi di Kota Sragen.

Obyek penelitian ini adalah perusahaan eceran dengan kategori besar,

dengan pertimbangan bahwa usaha eceran di Kota Sragen memiliki prospek

yang cerah dimasa yang akan datang sebagai “ujung tombak” perekonomian

Kota Sragen.



8



Dikarenakan Kota Sragen yang merupakan kota kecil adalah sebuah

wilayah yang unik. Dilihat dari dinamika pertumbuhan ekonominya Sragen

realatif lebih pesat dibandingkan dati dua disekitarnya.

Dengan prospek yang cerah dimasa yang akan datang, maka terbuka

peluang khususnya bagi perusahaan eceran untuk memperbesar dan

memperluas usahanya. Perluasan usaha dan penambahan modal mutlak

memerlukan bekal pemahaman yang memadai mengenai akuntansi yang baik

dan benar mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK).

Secara statistik telah dibuktikan oleh para peneliti terdahulu

sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa informasi akuntansi yang akurat

mengenai laba bermanfaat sebagai pertimbangan dalam pengambilan

keputusan oleh para analis, investor, dan manajemen untuk mengetahui

prospek kinerja suatu perusahaan satu tahun ke depan. Untuk itu dibutuhkan

penanganan yang baik dan benar didalam melakukan perhitungan laba, baik

mengenai tenaga operasional, sistem akuntansi yang dipakai, maupun metode

dan asumsi yang digunakan. Fakta menunjukkan bahwa sebelum semua

prinsip akuntansi diterapkan atau dipahami oleh penyusun laporan keuangan.

Berdasar berbagai ungkapan di atas dan penelitian sebelumnya yang

telah dilakukan oleh Muhammad Mustain (2000) tentang pemahaman para

pengelola bisnis eceran besar terhadap penghitungan laba bersih di daerah



9



Salatiga. Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu terdapat hubungan yang

signifikan antara status kepemilikan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,

latar belakang pendidikan, keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan

administrasi dan pembukuan, serta konsultasi ke Kantor Akuntan Publik

(KAP) dengan pemahaman pengelolaan bisnis eceran besar terhadap

penghitungan laba bersih. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian

sebelumnya adalah obyek yang diteliti dan tahun penelitian. Penelitian

sebelumnya di daerah Salatiga pada tahun 2000 sedangkan penelitian sekarang

di daerah kota Sragen pada tahun 2004. Maka penulis tertarik untuk

melakukan replikasi penelitian tersebut dengan judul “Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Pemahaman Pengelola Bisnis Eceran Besar Terhadap

Penghitungan Laba Bersih (Survey pada Perusahaan Eceran Besar di Daerah

Sragen”.




B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang penulis ajukan berdasarkan dari latar

belakang masalah penelitian di atas adalah “Faktor-faktor apakah yang

mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap

penghitungan laba bersih?”.








C. Tujuan Penelitian



10


Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

memperoleh bukti empiris terhadap pengaruh faktor-faktor yang

mempengaruhi pemahaman pengelola bisnis eceran besar terhadap

penghitungan laba bersih.




D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
File Selengkapnya.....

Sponsor

Pengikut